Cukup Saya yang Terakhir.

on
9/03/2014



Apa yang sudah terjadi tak mampu lagi saya perbaiki. Mungkin mampu, namun menjadi tak sempurna.Cacat.Itulah yang saya rasakan saat ini.Nasi sudah menjadi bubur.Kenyataan pahit ini harus saya lalui.Vonis dokter beberapa saat yang lalu atas kesehatan saya menjadi luka yang begitu dalam bagi keluarga besar saya.Saya yang berulah, mereka semua harus ikut menanggung akibatnya.
Menyesal mungkin sudah sangat terlambat. Penyakit biadab yang sebenarnya sudah terprediksikan itu ternyata harus saya alami juga.Jika ada gelar lain yang lebih buruk dari bodoh, mungkin tepat untuk saya sandang.Bagaimana tidak, berbagai macam bentuk peringatan sudah sering kali terlihat, terdengar, namun tetap saja terabaikan.Semua hanya demi kesenangan sesaat yang kini menyesakkan.Sesak.Bukan hanya sekedar kata kiasan.Sesak ini karena penyakit kanker yang tumbuh di paru-paru saya. Nafas saya sesak, terhambat, sulit sekali rasanya bernafas dengan bebas dan sudah pasti penyakit ini juga akan menghentikan nafas saya di suatu hari.
“Pa..” suara itu menghentikan lamunan saya. Saya menoleh ke arah pemilik suara, Adinda, putri kecil saya yang kini beranjak dewasa sudah berdiri di samping ranjang rumah sakit tempat saya tergolek lemah.Iacium tangan dan pipi saya dan ia juga memeluk tubuh saya yang sudah kurus kering tak berdaya. Baru beberapa bulan dokter memvonis tentang penyakit itu, tubuh saya yang dahulu gagah kini seperti tak ada sisa seperti saat jaya.
Saya memang masih hidup, masih mampu bernafas meski terengah-engah.Masih mampu melakukan aktivitas meski hanya sekedarnya, namun saya merasa seperti melayang, tak lagi berpijak di bumi.Karena harus hidup dalam kesakitan dan kesengsaraan lahir dan batin.
“Papa gimana kabarnya?Masih sakit dadanya?”Saya hanya bisa tersenyum mendengar kalimat itu.Saya tersenyum karena bersyukur, saya bersyukur karena anak saya masih memerdulikan keadaan saya padahal dulu saya selalu memarahinya bahkan tak jarang saya membentaknya, berucap kasar padanya ketika dia berusaha mengingatkan saya tentang bahaya merokok.Rokok.Ya, rokok biang keladi semua kesengsaraan ini. Rokok yang sudah saya konsumsi 35 tahun yang lalu saat saya masih usia remaja, tepatnya ketika saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).Rokok yang saya kenal dari teman sepermainan saya.Rokok yang kata mereka adalah simbol kejantanan dan eksistensi kaum lelaki, nyatanya kini hanya jadi penyakit yang menggerogoti diri.
“Alhamdulillah.Gimana kerjaannya?”
“Lancar Pa. Papa udah makan?”
“Udah tadi disuapin Mama.”
“Yaudah kalo gitu, Papa istirahat ya.”
“Iya.”
Saya berusaha memejamkan mata, mengistirahatkan sejenak tubuh setengah baya ini. Baru beberapa detik saya terpejam, tiba-tiba saya ketakutan akan sesuatu. Saya takut ketika saya membuka mata, saya sudah berada di dunia yang berbeda. Dan saya tak lagi bertemu dengan keluarga saya tercinta.
“Huk uhuk uhuk.”Dada saya kembali sesak.Saya memeganggi dada saya.Adinda yang duduk di samping ranjang saya langsung mengusap-usap dada saya.
“Dinda panggilin dokter ya, Pa.”
Saya tak menjawab, saya hanya bisa memegangi dada saya yang semakin sesak.Tanpa pikir panjang, Dinda langsung beranjak menuju ruangan dokter.Beberapa menit kemudian saya melihat Dinda datang bersama seorang dokter laki-laki paruh baya.Dokter itu langsung memeriksa keadaan saya, Dinda, putri saya terlihat cemas di sudut kamar rumah sakit ini.Wajah cemas Dinda membuat rasa bersalah saya pada keluarga saya kembali terbayang.
“Bisa ikut saya sebentar, Bu.”Sayup terdengar dokter itu berkata pada Dinda.Dinda pun mengangguk dan sejenak menghampiri saya.
“Dinda ke ruangan dokter Sutrisna dulu ya, Pa. Papa gapapa kan sendiri?”
“Gapapa. Sebentar lagi juga Mama datang habis shalat.”
Dinda tersenyum kemudian pergi ke ruangan dokter yang baru saya tahu namanya Sutrisna.
“Dinda belum datang Pa?” itu suara istri saya tercinta, Resti.
“Lagi ke ruangan dokter Ma.”
“Papa kenapa?Sesak lagi?”
Saya mengangguk lemah.
“Yaudah, Papa istirahat lagi ya.”
Saya mengangguk lagi.Ingin rasanya memejamkan mata, tapi saya takut ketakutan itu menjadi nyata.
Tak lama saya lihat Dinda datang.Mimik wajahnya terlihat muram.Dinda memang tak pandai menyembunyikan perasaannya.Dari mimiknya saya tahu ada sesuatu yang membuat sedih hatinya. Dinda menghampiri ranjang saya, ia tersenyum pada saya seolah mengatakan bahwa saya akan baik-baik saja.
“Pa. Papa harus sehat ya.Papa harus sembuh. Minggu depan Putra kan wisuda, terus bulan depan Papa harus jadi wali nikah Dinda. Papa mau lihat Dinda nikah kan Pa?”
Dinda berkata setengah terisak. Matanya berair, sekuat diri ia mencoba tak menangis di hadapan saya.
“Doain Papa cepet sehat ya.”Saya menarik tangan Dinda dan memeluknya. Memeluk putri saya satu-satunya, memeluk putri kebanggan saya yang akan segera menikah. Saya ingin menikahkannya. Saya ingin menjabat tangan calon suaminya yang akan meneruskan estafet saya dalam menjaga dan membimbing Dinda hingga ke Surga.Tak ada yang lebih menyedihkan bagi seorang ayah jika tak bisa menikahkan anak perempuannya.
Saya rasakan dada saya basah.Dinda tak lagi mampu menahan air matanya di pelukan saya.Ingin rasanya saya memaki diri saya sendiri.Karena kebodohan saya, saya harus mengorbankan kebahagiaan keluarga saya, anak-anak saya, istri saya.
●●●
Seusai shalat subuh berjamaah, Dinda menghampiri saya.Wajahnya bahagia namun juga sedih.Ia menciumi tangan saya, kaki saya, dan memeluki tubuh saya. Hari ini hari yang begitu istimewa baginya, hari ini hari pernikahannya. Hari dimana saya akan melepas putri semata wayang saya untuk hidup bersama laki-laki pilihannya. Laki-laki yang sudah cukup saya kenal dan saya rasa pantas untuk menjadi teman hidup putri saya.Baju koko saya basah karena air mata Dinda.
“Makasih ya Pa.”
Saya mengelus kepalanya.Dinda tak mampu berkata-kata begitu juga saya.Hanya air mata yang saling bicara mewakili kami berdua.Tak lama, istri saya pun ikut memeluk saya dan Dinda.Dan kemudian kedua anak laki-laki saya pun saya isyaratkan untuk mendekat.Kami saling berpelukan.Saya ingin sekali terus dan terus merasakan momen ini.Saya tak ingin melepaskan.
Matahari sudah bersinar dengan terik.Putri saya, Dinda sudah sangat terlihat memesona dengan kebaya putih yang indah.Ia sangat cantik, persis seperti Mamanya ketika muda dulu, ketika akan menikah dengan saya.Tiba-tiba dada saya kembali sesak, namun saya tak ingin mengeluh sakit pada keluarga saya.Saya tidak ingin merusak hari bahagia Dinda, saya tidak ingin mengulangi kesalahan ketika saya merusak hari bahagia Putra. Ketika ia siap untuk datang ke gedung wisuda namun harus dibatalkan karena kondisi saya yang tiba-tiba tak stabil. Saya tidak ingin menyakiti senyum anak-anak saya.
Saya mencoba mengatur nafas saya yang semakin terengah-engah.Syukurlah, sakit di dada saya sedikit mereda.
“Kak Dinda, Keluarga Kak Andra udah datang.”
Suara Rifki terdengar setengah berteriak. Anggota keluarga saya yang lain segera bersiap menyambut datangnya calon besan. Saya bangkit dari duduk, meski kaki saya rasanya tak mampu berpijak, saya berusaha untuk tidak menyusahkan anak-anak saya.Meski saya harus berjalan layaknya zombie, tertatih.
Andra, calon menantu saya terlihat gagah dengan jas hitamnya.Dinda memang pandai memilih calon ayah bagi anak-anaknya kelak.Andra bukan seorang perokok seperti saya.Karena Dinda memang tak ingin memiliki suami seorang perokok. Seandainya saja waktu bisa diulang 35 tahun yang lalu, saya berjanji tidak akan mengenalnya. Jika saja saya tahu begini sengsaranya buah yang harus saya tuai ketika usia saya beranjak senja.
Penghulu telah datang, saya dan calon menantu saya bersiap di meja ijab kabul. Saya menjabat tangan calon menantu saya. Saya memandangnya, saya yakin ia mampu menjadi imam yang baik bagi putri saya.
“Saudara Muhammad Andra Bin Muhammad Rijali, saya nikahkan dan kawinkan ananda dengan putri kan-dung sa-ya.. Huh uhuk ..”
“Pak Amir gapapa? Kalau gapapa bisa kita ulangi?” kata penghulu.
Dinda terlihat khawatir.Putra sudah mengisyaratkan untuk saya bersitirahat, ia siap menggantikan saya menjadi wali nikah untuk Dinda. Saya mengangguk mantap, saya ingin saya yang menikahkan putri semata wayang saya.
“Saudara Muhammad Andra Bin Muhammad Rijali, sa-ya ni-kah-kan.” Dada saya semakin sesak.Saya memegangi dada saya.Putra langsung menghampiri saya.
“Papa istirahat ya, biar Putra yang gantiin.”
Saya lihat wajah Dinda, ia sedih sekaligus kecewa. Saya tidak ingin mengecewakannya.
“Papa boleh istirahat sebentar, lima menit?Papa mau jadi wali nikah Dinda.”
Dinda tersenyum simpul.Melihat senyumnya, saya bahagia.Saya tidak ingin mengingkari janji itu.Saya ingin Dinda benar-benar bahagia.
“Baik, Pa. Saya masih bisa menunggu sebentar,” ucap penghulu.
Sudah tiga puluh menit.Keadaan saya belum begitu membaik.Namun saya tetap ingin menjadi wali nikah bagi putri saya.Saya sudah berjanji.
“Bapak yakin?” tanya penghulu. Saya mengangguk mantap.
“Saudara Muhammad Andra Bin Muhammad Rijali, saya nikahkan dan kawinkan ananda dengan putri kandung saya, Adinda Mutiara Putri dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan logam mulia seberat 10 kg dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Adinda Mutiara Putri Binti Ahmad Amirullah dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan logam mulia seberat 10 kg dibayar tunai.” Andra berkata dengan tegas.
“Sah?Sah?”
“SAH!!!”
Alhamdulillah, Ya Allah, akhirnya saya mampu untuk menikahkan putri semata wayang saya.Akhirnya saya mampu menunaikan satu kewajiban saya sebagai seorang ayah.Saya lihat wajah Dinda berseri, begitupun dengan wajah Andra yang kini resmi menjadi suaminya.
“Uhuk uhuk..” dada saya kembali sesak. Dinda langsung saja memeluk tubuh saya.Andra dan Putra segera menghampiri, memapah saya yang tak lagi sanggup berdiri.Dan saya kembali jadi penghuni rumah sakit kanker di kawasan Jakarta.
●●●
Saya merasa hidup di ambang batas kematian.Malaikat maut bisa saja menghampiri saya kapanpun jika memang tiba waktunya.Meski sebenarnya kematian selalu mengintai siapa saja.Tetapi bagi seseorang yang telah divonis dokter mengidap penyakit mematikan dan tak dapat hidup berlangsung lama, kematian itu terasa seolah hanya sejengkal.Seandainya mesin waktu benar-benar ada.Saya ingin sehat.Saya ingin sehat.Saya ingin sekali sehat.Setahun sudah saya mengidap penyakit ini, entah sampai kapan saya mampu bertahan.Hidup seolah mati.Seandainya saja dulu saya menyediakan waktu untuk sehat, mungkin kini saya tidak kehabisan waktu karena sakit.Bodoh.Bodoh.Bodoh.Saya memang manusia bodoh.Rasanya percuma saya menyandang gelar master jika membaca keterangan dalam bungkus rokok saja saya tak mampu.Padahal dengan jelas keterangan itu memperingatkan.
“MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN.” 
Lantas, apa bedanya saya dengan masyarakat pelosok yang tak bisa baca tulis? Mereka jelas tak dapat pendidikan layak, saya?Saya orang BODOH.Semoga tak ada lagi pria bodoh seperti saya.Cukup saya yang terakhir.           


                                                                            
note :
sebenernya cerpen ini mau diikuti lomba nulis zombigaret di facebook. udah siap, udah mau upload dan ternyata pas baca ketentuannya, naskahku kepanjangan. (mungkin karena terlalu banyak ikutan lomba jadi ketentuannya kebawa sama yang lain hehe).. dan akhirnya memutuskan untuk kirim naskah aja ke koran tapi belum direspon... mungkin karena saking banyaknya yang kirim kali yaaa...
daripada nganggur cuma disimpen di notebook, lebih baik dipublikasikan aja ...

tidak bermaksud menggurui, inipun terinspirasi kisah nyata... bukan bermaksud menakuti, hanya mengingatkan.
semoga bermanfaat.



Saidah

Be First to Post Comment !
Posting Komentar