Apa
yang sudah terjadi tak mampu lagi saya perbaiki. Mungkin mampu, namun menjadi
tak sempurna.Cacat.Itulah yang saya rasakan saat ini.Nasi sudah menjadi
bubur.Kenyataan pahit ini harus saya lalui.Vonis dokter beberapa saat yang lalu
atas kesehatan saya menjadi luka yang begitu dalam bagi keluarga besar
saya.Saya yang berulah, mereka semua harus ikut menanggung akibatnya.
Menyesal
mungkin sudah sangat terlambat. Penyakit biadab yang sebenarnya sudah
terprediksikan itu ternyata harus saya alami juga.Jika ada gelar lain yang
lebih buruk dari bodoh, mungkin tepat untuk saya sandang.Bagaimana tidak,
berbagai macam bentuk peringatan sudah sering kali terlihat, terdengar, namun
tetap saja terabaikan.Semua hanya demi kesenangan sesaat yang kini menyesakkan.Sesak.Bukan
hanya sekedar kata kiasan.Sesak ini karena penyakit kanker yang tumbuh di
paru-paru saya. Nafas saya sesak, terhambat, sulit sekali rasanya bernafas
dengan bebas dan sudah pasti penyakit ini juga akan menghentikan nafas saya di
suatu hari.
“Pa..”
suara itu menghentikan lamunan saya. Saya menoleh ke arah pemilik suara,
Adinda, putri kecil saya yang kini beranjak dewasa sudah berdiri di samping
ranjang rumah sakit tempat saya tergolek lemah.Iacium tangan dan pipi saya dan
ia juga memeluk tubuh saya yang sudah kurus kering tak berdaya. Baru beberapa
bulan dokter memvonis tentang penyakit itu, tubuh saya yang dahulu gagah kini
seperti tak ada sisa seperti saat jaya.
Saya
memang masih hidup, masih mampu bernafas meski terengah-engah.Masih mampu
melakukan aktivitas meski hanya sekedarnya, namun saya merasa seperti melayang,
tak lagi berpijak di bumi.Karena harus hidup dalam kesakitan dan kesengsaraan
lahir dan batin.
“Papa
gimana kabarnya?Masih sakit dadanya?”Saya hanya bisa tersenyum mendengar
kalimat itu.Saya tersenyum karena bersyukur, saya bersyukur karena anak saya
masih memerdulikan keadaan saya padahal dulu saya selalu memarahinya bahkan tak
jarang saya membentaknya, berucap kasar padanya ketika dia berusaha
mengingatkan saya tentang bahaya merokok.Rokok.Ya, rokok biang keladi semua
kesengsaraan ini. Rokok yang sudah saya konsumsi 35 tahun yang lalu saat saya
masih usia remaja, tepatnya ketika saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas
(SMA).Rokok yang saya kenal dari teman sepermainan saya.Rokok yang kata mereka
adalah simbol kejantanan dan eksistensi kaum lelaki, nyatanya kini hanya jadi
penyakit yang menggerogoti diri.
“Alhamdulillah.Gimana
kerjaannya?”
“Lancar
Pa. Papa udah makan?”
“Udah
tadi disuapin Mama.”
“Yaudah
kalo gitu, Papa istirahat ya.”
“Iya.”
Saya
berusaha memejamkan mata, mengistirahatkan sejenak tubuh setengah baya ini.
Baru beberapa detik saya terpejam, tiba-tiba saya ketakutan akan sesuatu. Saya
takut ketika saya membuka mata, saya sudah berada di dunia yang berbeda. Dan saya
tak lagi bertemu dengan keluarga saya tercinta.
“Huk
uhuk uhuk.”Dada saya kembali sesak.Saya memeganggi dada saya.Adinda yang duduk
di samping ranjang saya langsung mengusap-usap dada saya.
“Dinda
panggilin dokter ya, Pa.”
Saya
tak menjawab, saya hanya bisa memegangi dada saya yang semakin sesak.Tanpa
pikir panjang, Dinda langsung beranjak menuju ruangan dokter.Beberapa menit
kemudian saya melihat Dinda datang bersama seorang dokter laki-laki paruh baya.Dokter
itu langsung memeriksa keadaan saya, Dinda, putri saya terlihat cemas di sudut
kamar rumah sakit ini.Wajah cemas Dinda membuat rasa bersalah saya pada
keluarga saya kembali terbayang.
“Bisa
ikut saya sebentar, Bu.”Sayup terdengar dokter itu berkata pada Dinda.Dinda pun
mengangguk dan sejenak menghampiri saya.
“Dinda
ke ruangan dokter Sutrisna dulu ya, Pa. Papa gapapa kan sendiri?”
“Gapapa.
Sebentar lagi juga Mama datang habis shalat.”
Dinda
tersenyum kemudian pergi ke ruangan dokter yang baru saya tahu namanya
Sutrisna.
“Dinda
belum datang Pa?” itu suara istri saya tercinta, Resti.
“Lagi
ke ruangan dokter Ma.”
“Papa
kenapa?Sesak lagi?”
Saya
mengangguk lemah.
“Yaudah,
Papa istirahat lagi ya.”
Saya
mengangguk lagi.Ingin rasanya memejamkan mata, tapi saya takut ketakutan itu
menjadi nyata.
Tak
lama saya lihat Dinda datang.Mimik wajahnya terlihat muram.Dinda memang tak
pandai menyembunyikan perasaannya.Dari mimiknya saya tahu ada sesuatu yang
membuat sedih hatinya. Dinda menghampiri ranjang saya, ia tersenyum pada saya
seolah mengatakan bahwa saya akan baik-baik saja.
“Pa.
Papa harus sehat ya.Papa harus sembuh. Minggu depan Putra kan wisuda, terus
bulan depan Papa harus jadi wali nikah Dinda. Papa mau lihat Dinda nikah kan
Pa?”
Dinda
berkata setengah terisak. Matanya berair, sekuat diri ia mencoba tak menangis
di hadapan saya.
“Doain
Papa cepet sehat ya.”Saya menarik tangan Dinda dan memeluknya. Memeluk putri
saya satu-satunya, memeluk putri kebanggan saya yang akan segera menikah. Saya
ingin menikahkannya. Saya ingin menjabat tangan calon suaminya yang akan
meneruskan estafet saya dalam menjaga dan membimbing Dinda hingga ke Surga.Tak
ada yang lebih menyedihkan bagi seorang ayah jika tak bisa menikahkan anak
perempuannya.
Saya
rasakan dada saya basah.Dinda tak lagi mampu menahan air matanya di pelukan saya.Ingin
rasanya saya memaki diri saya sendiri.Karena kebodohan saya, saya harus
mengorbankan kebahagiaan keluarga saya, anak-anak saya, istri saya.
●●●
Seusai
shalat subuh berjamaah, Dinda menghampiri saya.Wajahnya bahagia namun juga
sedih.Ia menciumi tangan saya, kaki saya, dan memeluki tubuh saya. Hari ini
hari yang begitu istimewa baginya, hari ini hari pernikahannya. Hari dimana
saya akan melepas putri semata wayang saya untuk hidup bersama laki-laki
pilihannya. Laki-laki yang sudah cukup saya kenal dan saya rasa pantas untuk
menjadi teman hidup putri saya.Baju koko saya basah karena air mata Dinda.
“Makasih
ya Pa.”
Saya
mengelus kepalanya.Dinda tak mampu berkata-kata begitu juga saya.Hanya air mata
yang saling bicara mewakili kami berdua.Tak lama, istri saya pun ikut memeluk
saya dan Dinda.Dan kemudian kedua anak laki-laki saya pun saya isyaratkan untuk
mendekat.Kami saling berpelukan.Saya ingin sekali terus dan terus merasakan
momen ini.Saya tak ingin melepaskan.
Matahari
sudah bersinar dengan terik.Putri saya, Dinda sudah sangat terlihat memesona
dengan kebaya putih yang indah.Ia sangat cantik, persis seperti Mamanya ketika
muda dulu, ketika akan menikah dengan saya.Tiba-tiba dada saya kembali sesak,
namun saya tak ingin mengeluh sakit pada keluarga saya.Saya tidak ingin merusak
hari bahagia Dinda, saya tidak ingin mengulangi kesalahan ketika saya merusak
hari bahagia Putra. Ketika ia siap untuk datang ke gedung wisuda namun harus
dibatalkan karena kondisi saya yang tiba-tiba tak stabil. Saya tidak ingin
menyakiti senyum anak-anak saya.
Saya
mencoba mengatur nafas saya yang semakin terengah-engah.Syukurlah, sakit di
dada saya sedikit mereda.
“Kak
Dinda, Keluarga Kak Andra udah datang.”
Suara
Rifki terdengar setengah berteriak. Anggota keluarga saya yang lain segera
bersiap menyambut datangnya calon besan. Saya bangkit dari duduk, meski kaki
saya rasanya tak mampu berpijak, saya berusaha untuk tidak menyusahkan
anak-anak saya.Meski saya harus berjalan layaknya zombie, tertatih.
Andra,
calon menantu saya terlihat gagah dengan jas hitamnya.Dinda memang pandai
memilih calon ayah bagi anak-anaknya kelak.Andra bukan seorang perokok seperti
saya.Karena Dinda memang tak ingin memiliki suami seorang perokok. Seandainya
saja waktu bisa diulang 35 tahun yang lalu, saya berjanji tidak akan
mengenalnya. Jika saja saya tahu begini sengsaranya buah yang harus saya tuai
ketika usia saya beranjak senja.
Penghulu
telah datang, saya dan calon menantu saya bersiap di meja ijab kabul. Saya
menjabat tangan calon menantu saya. Saya memandangnya, saya yakin ia mampu
menjadi imam yang baik bagi putri saya.
“Saudara
Muhammad Andra Bin Muhammad Rijali, saya nikahkan dan kawinkan ananda dengan
putri kan-dung sa-ya.. Huh uhuk ..”
“Pak
Amir gapapa? Kalau gapapa bisa kita ulangi?” kata penghulu.
Dinda
terlihat khawatir.Putra sudah mengisyaratkan untuk saya bersitirahat, ia siap
menggantikan saya menjadi wali nikah untuk Dinda. Saya mengangguk mantap, saya
ingin saya yang menikahkan putri semata wayang saya.
“Saudara
Muhammad Andra Bin Muhammad Rijali, sa-ya ni-kah-kan.” Dada saya semakin
sesak.Saya memegangi dada saya.Putra langsung menghampiri saya.
“Papa
istirahat ya, biar Putra yang gantiin.”
Saya
lihat wajah Dinda, ia sedih sekaligus kecewa. Saya tidak ingin mengecewakannya.
“Papa
boleh istirahat sebentar, lima menit?Papa mau jadi wali nikah Dinda.”
Dinda
tersenyum simpul.Melihat senyumnya, saya bahagia.Saya tidak ingin mengingkari
janji itu.Saya ingin Dinda benar-benar bahagia.
“Baik,
Pa. Saya masih bisa menunggu sebentar,” ucap penghulu.
Sudah
tiga puluh menit.Keadaan saya belum begitu membaik.Namun saya tetap ingin
menjadi wali nikah bagi putri saya.Saya sudah berjanji.
“Bapak
yakin?” tanya penghulu. Saya mengangguk mantap.
“Saudara
Muhammad Andra Bin Muhammad Rijali, saya nikahkan dan kawinkan ananda dengan
putri kandung saya, Adinda Mutiara Putri dengan mas kawin seperangkat alat
shalat dan logam mulia seberat 10 kg dibayar tunai.”
“Saya
terima nikah dan kawinnya Adinda Mutiara Putri Binti Ahmad Amirullah dengan mas
kawin seperangkat alat shalat dan logam mulia seberat 10 kg dibayar tunai.”
Andra berkata dengan tegas.
“Sah?Sah?”
“SAH!!!”
Alhamdulillah,
Ya Allah, akhirnya saya mampu untuk menikahkan putri semata wayang
saya.Akhirnya saya mampu menunaikan satu kewajiban saya sebagai seorang
ayah.Saya lihat wajah Dinda berseri, begitupun dengan wajah Andra yang kini
resmi menjadi suaminya.
“Uhuk
uhuk..” dada saya kembali sesak. Dinda langsung saja memeluk tubuh saya.Andra
dan Putra segera menghampiri, memapah saya yang tak lagi sanggup berdiri.Dan
saya kembali jadi penghuni rumah sakit kanker di kawasan Jakarta.
●●●
Saya
merasa hidup di ambang batas kematian.Malaikat maut bisa saja menghampiri saya
kapanpun jika memang tiba waktunya.Meski sebenarnya kematian selalu mengintai
siapa saja.Tetapi bagi seseorang yang telah divonis dokter mengidap penyakit
mematikan dan tak dapat hidup berlangsung lama, kematian itu terasa seolah
hanya sejengkal.Seandainya mesin waktu benar-benar ada.Saya ingin sehat.Saya
ingin sehat.Saya ingin sekali sehat.Setahun sudah saya mengidap penyakit ini,
entah sampai kapan saya mampu bertahan.Hidup seolah mati.Seandainya saja dulu
saya menyediakan waktu untuk sehat, mungkin kini saya tidak kehabisan waktu
karena sakit.Bodoh.Bodoh.Bodoh.Saya memang manusia bodoh.Rasanya percuma saya
menyandang gelar master jika membaca keterangan dalam bungkus rokok saja saya
tak mampu.Padahal dengan jelas keterangan itu memperingatkan.:
“MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN.”
Lantas, apa bedanya saya dengan masyarakat pelosok yang tak bisa baca tulis? Mereka jelas tak dapat pendidikan layak, saya?Saya orang BODOH.Semoga tak ada lagi pria bodoh seperti saya.Cukup saya yang terakhir.
“MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN.”
Lantas, apa bedanya saya dengan masyarakat pelosok yang tak bisa baca tulis? Mereka jelas tak dapat pendidikan layak, saya?Saya orang BODOH.Semoga tak ada lagi pria bodoh seperti saya.Cukup saya yang terakhir.
note :
sebenernya cerpen ini mau diikuti lomba nulis zombigaret di facebook. udah siap, udah mau upload dan ternyata pas baca ketentuannya, naskahku kepanjangan. (mungkin karena terlalu banyak ikutan lomba jadi ketentuannya kebawa sama yang lain hehe).. dan akhirnya memutuskan untuk kirim naskah aja ke koran tapi belum direspon... mungkin karena saking banyaknya yang kirim kali yaaa...
daripada nganggur cuma disimpen di notebook, lebih baik dipublikasikan aja ...
tidak bermaksud menggurui, inipun terinspirasi kisah nyata... bukan bermaksud menakuti, hanya mengingatkan.
semoga bermanfaat.
Saidah
Be First to Post Comment !
Posting Komentar