Travelling Changes Me!

on
3/31/2015
Maka, nikmat Tuhanmu mana lagi yang engkau dustakan?
Sejenak aku hening.
Memandang hamparan goresan maha karya Sang Pencipta di tanah pajajaran.
Ia bernama Bogor.
Sebuah kota yang tak pernah habis mengurai cerita.
Perjalanan panjang tertempuh dengan cinta, tak terasa hingga ternikmati pesonanya.
Dan di ujung senja, semburat merah memancar indah.
Aku tertawan dalam dekap anugerah Maha Kuasa.
Bumi-Mu indah Ya Allah. Izinkanlah aku menyusurinya lebih jauh lagi..


***




Siapa pun pasti punya cita-cita ingin keliling Indonesia, keliling dunia, atau keliling planet jika memungkinkan. And, yap ini juga cita-cita gue. Cita-cita yang terpendam udah lama tapi belum bisa terealisasi. Bukan karena gue gak bisa diajak 'susah' saat travelling, bukan pula karena gue anak manja, tapi lebih ke 'izin orang tua'. Mama dan Papa termasuk orang tua over protective. Gue hanya boleh pergi sama muhrim. Dan karena gue belum menikah, maka adik guelah teman berpergian gue (yang kadang dikira kalau dia pacar gue, huhuhu).


Travelling ibarat mimpi buat gue. Cuma bunga tidur yang gak ada di dunia nyata. Angan gue udah melayang jauh kemana-mana, tapi raga gue masih di depan tv. Gue gak pernah gak mupeng setiap liat acara travelling di tivi, berharap suatu hari gue bisa bebas pergi kemana aja.


World is a books and those who don't travel read only a page - St. Agustine


Sampai akhirnya, Allah membuat gue datang ke sebuah kelas blogger yang membahas tentang travelling. Disana gue mendapatkan banyak hal dan yang gak paling gue sangka, Allah membuka kesempatan buat gue bekerja melalui tulisan. Gue mendaftarkan diri untuk bisa menjadi contributor sebuah travel agent.


Setelah mendaftarkan diri, gue sempet ragu apakah gue akan diterima atau engga. Karena sejujurnya gue tidak pernah menulis tentang travelling, isi blog gue kebanyakan puisi, cerpen, dan curahan hati. Alhamdulillah, Allah memang Maha Baik. Kesempatan itu menjadi awal yang manis untuk perjalanan gue.


***


Kadang kita terlalu mikir jauh ke depan sampai gak ngeliat apa yang ada di depan mata. Allah menyadarkan gue tentang hal ini. Gue menjadi contributor sebuah weblog travel agent www.hellogor.com yang bercerita tentang wisata dan kuliner Bogor. Bogor, kota tempat gue tinggal dan hidup. Apa aja yang gue tau tentang Bogor? Apa yang udah gue gali tentang Bogor? Udah kemana aja gue di Bogor? Mimpi bisa menjelajah jauh tapi rumah sendiri cuma tau sekedarnya?!  Duh…


Dan melalui sebuah travel agent inilah gue disadarkan untuk mengeksplorasi apapun yang ada di kota gue. Dan gak cuma itu, gue pun harus menceritakannya, mensejarahkannya dan dengan  menulis gue bisa melalukan semua itu. Dua hal yang paling gue suka bisa gue dapatkan. And I feel happy. More than happy. Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?


Gue bersyukur punya adik kece yang mau menemani gue mencari bahan liputan. Gak jarang dia yang ngasih tau tempat wisata keren yang ada di Bogor. He's my travelmatte. Menjelajah ke Bogor paling pelosok gak masalah selama uang bensin ada. Gak jarang kita cuma bawa uang 20rb untuk uang bensin, buat makan kita bawa dari rumah. It's so really fun.


***

Dari travelling gue belajar banyak hal. Hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah gue rasakan dan temukan. Travelling bikin dunia gue jadi luas. Bikin hari gue jadi jauh lebih menyenangkan. And I enjoy it! Gue jadi lebih sabar demi sesuatu yang indah. Gue pun jadi lebih menghargai proses. Gak sekedar jalan-jalan, gue kembali mempelajari dan mengulik tentang tempat yang gue kunjungi. Tentang sejarah ataupun hal lain tentang tempat itu. Saat seperti ini gue merasa jiwa gue yang selalu mau tahu alias kepo sangat bermanfaat. Dengan bermodalkan sepeda motor kita susuri jalan-jalan sempit di pelosok Bogor. Bogor itu indah dan gue tahu itu. Gue semakin jatuh cinta sama Bogor.






Saidah

Aku Akan Menjadi Cokelatmu yang Paling Setia

on
3/10/2015

Malam sudah larut namun aku belum mampu terpejam. Hatiku berdebar tak karuan. Menanti satu moment yang takkan terlupakan di hidupku. Besok, salah satu mimpiku akan terwujud. Mimpi yang akan merubah sebagian besar hidupku. Mimpi yang akan mengantarkanku ke kehidupan baru. Ke lautan yang lebih luas dan berombak. Menuju sebuah perahu baru yang orang sebut mahligai pernikahan.


Aku memutuskan untuk membuat secangkir cokelat panas, meredakan gugupku yang semakin menjadi. Ku hirup aromanya, gundahku sedikit pudar. Ku teguk perlahan, hangatnya mengingatkan pada satu kisah. Aku tersenyum sumringah.

"Sedang apa kamu disana? Apa kamu sudah terpejam atau justru sedang menikmati cokelat hangat di pertengahan malam. Apakah kamu sama gugupnya seperti yang ku rasa? Jelas. Kamu pasti lebih gugup dariku."

Setelah menikmati segelas cokelat panas, aku segera mengambil wudhu. Ku gelar sajadah biru muda pemberianmu saat hari lamaran itu.

Dalam tahajudku, ku temukan kamu. Lelaki yang sebentar lagi menjadi imamku. Dalam tahajudku, ku yakini kamu. Lelaki yang telah Allah tuliskan untuk menjadi teman hidupku. Dan dalam tahajudku, aku berterima kasih pada-Mu Rabbi. Terima kasih atas perjalanan ini, atas semua cinta dan kasih sayang yang Engkau karuniakan untukku. Jika Engkau ridho, esok adalah tahajud pertamaku diimami oleh imamku. Berkahilah kehidupan kami dengan limpahan cinta-Mu yang tak pernah usai. Dalam tahajudku, aku mencintai-Mu Rabbi dan mencintainya karena-Mu.


Esok pagi setelah kamu halal bagiku, kan ku suguhkan cokelat panas untukmu, kapanpun kamu ingin menikmatinya. Di pertengahan malam sekalipun. Aku akan menjadi temanmu yang paling setia.



Saidah


Cerita ini hanya fiktif belaka.

Mencipta Sejarah

on
3/04/2015
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah - Pramoedya Ananta Tour dalam Rumah Kaca, halaman 352.
Apa yang bisa dibanggakan dari hidup ini jika kita tidak bisa menorehkan sejarah, paling tidak sejarah hidup kita sendiri. Jika pandai mungkin milik para ilmuwan yang mampu mencipta suatu penemuan, lalu apa yang bisa ku ciptakan dari 'sedikit' ilmu ini?

Ternyata jawabannya sederhana, Menulis.

Dan menulis membawaku mengenal banyak hal, termasuk membawaku memahami dunianya yang ternyata tak sesederhana itu. Hingga sampailah jiwa ini mengenal sebuah komunitas one week one paper dan darisana kegilaan itu dimulai. Kenapa gila? Karena OWOP bukan perhimpunan manusia biasa. OWOP adalah rumah bagi calon calon penulis dengan imajinasi yang membumbung tinggi, harapan-harapan yang tidak datar, dan semangat yang tidak pernah habis. Dan saya membuktikan semua itu. Setiap hari selalu ada rasa iri hati yang manis. Iri hati yang menampar mental ini untuk selalu menghasilkan karya dan memperbaiki kualitas. Iri hati yang menyadarkan diri ini untuk kembali memijak bumi, bukan berjalan angkuh di atas langit. Iri hati yang membuatku terpacu dan berlomba menjadi yang terbaik. Semua demi satu cinta, Menulis.

OWOP memberi suntikan motivasi yang menyenangkan. Dengan celoteh-celotehan yang terkadang terlalu ngawur untuk ditanggapi, tapi memberi sebuah ruang untuk saling mengakrabi. Memberi sebuah apresiasi yang membuat tulisan penuh koreksi ini merasa dihargai dengan sebuah kejutan-kejutan buku yang menambah wawasan.

OWOP lebih dari sekedar komunitas, owop itu keluarga. Yang bisa menerima saya yang 'nyeleneh' tanpa dipandang aneh. Yang bisa menerima saya yang 'ajaib' tanpa menyebut itu aib.

Semua orang berpikir tentang mengubah dunia, tapi tidak ada yang berpikir untuk mengubah diri sendiri - Leo Tolstay
Dengan menulis kita bisa keduanya. Mengubah diri sendiri menjadi layak untuk menciptakan hingga mampu mengubah dunia dengan hasil pemikiran.

Saat menulis karya sastra, kita biaa menjelma siapapun yang kita inginkan, mencipta, membalik keadaan, membuatnya sesuka kita - Helvy Tiana Rosa



Saidah

Ruang Rindu

on
3/03/2015

Aku kembali menginjakan kaki di kota ini lagi, tepatnya disini. Sebuah ruang kelas yang tak seberapa besar, namun cukup nyaman untuk 38 siswa yang mengenyam pendidikan menengah atas. Ruangan ini sudah sangat berbeda. Sangat berbeda dengan lima tahun lalu, saat aku ada di dalamnya. Perlahan, ku langkahkan kakiku menyusuri inci demi inci ruang kelas ini. Mataku tak henti berkeliaran memandangi, sebuah kenangan tertangkap ingatanku. Kenangan bersamamu.

"Gue kangen banget sama kelas kita, Cha. Kangen banget," Wina, sahabatku langsung mendarat dengan manis di sebuah bangku dekat jendela. Tempat duduk kami.

"Gue apalagi. Udah lima tahun gue gak kesini dan semuanya udah berubah."

Aku merapat ke sisi jendela luar, menangkap kembali kenangan itu. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat dengan jelas deretan pohon yang tak sama tinggi dan kali kecil yang airnya tak begitu deras. Mereka masih sama, berdampingan dengan amat mesra, tak terganggu pembangunan sekolah yang merenggut banyak lahan hijau menjadi ruang-ruang kelas nan modern.

"Tempat itu," ucapku dalam hati.

"Aaa gue kangen masa-masa sekolah," Wina kembali berceloteh. Kali ini ia sedang berdiri di depan papan tulis, memandangi papan kosong itu dengan takjub, ia sedang mengenang.

Aku berjalan mendekati Wina, melewati sebuah meja guru yang cantik dengan taplak meja bermotif lengkap dengan vas bunga. Aku teringat kenakalan kecilku. Dulu, kalau aku belum mengerjakan pekerjaan rumah, aku akan datang lebih pagi dan mengerjakan tugas itu di meja guru. Aku tersenyum kecil mengenangnya.

"Cha, sini deh," Wina menengok sesaat ke arahku sembari tangannya memanggil-manggil memintaku segera menghampiri.

"Kenapa sih Win?"

"Lihat deh," Wina memperlihatkanku sebuah coretan pena di tepi papan tulis. Coretan pena itu terukir begitu dalam dan membentuk hingga tak mudah begitu saja hilang meski catnya telah berganti.

"Gila, udah lima tahun tulisannya masih ada aja," Wina berujar kagum.

Ku sentuh ukiran nama itu perlahan. Ukiran nama itu sungguh sederhana, hanya lima huruf tapi kenangannya masih membekas hingga kini. Kebersamaan itu.

MACHA, Tama dan Pucha.

Penyatuan namaku dan Tama, calon suamiku. Kini ia telah berada di surga.

---


Saidah


Cerita ini hanya fiktif belaka. Maaf apabila ada kesamaan cerita maupun tokoh.