Siapakah Takdirku?

on
5/30/2015
"Buat apalah susah, cari kesana kesini. Sudah di depan mata, kamulah takdirku."

Bagaimana rasanya menemukan takdir sesederhana itu?
Seketika hati tertaut pada dia. Dia yang entah manusia baru dalam hidup atau telah lama ada.
Ketika hati memilihnya untuk menjadi yang terakhir. Untuk menjadi takdir. Bagaimana rasanya?
Saya selalu membayangkan saat-saat itu. Saat dimana ada seorang laki-laki yang yakin memilih saya dan saya yakin menerima dia. YAKIN! Cukup satu kata, tak perlu panjang mendeskripsikannya.
Mungkin seperti itu pula keadaan hati ketika YAKIN mengisi di relungnya. Tak perlu banyak alasan mengapa bisa 'dia' yang kau pilih untuk menjadi jawaban. Sebab alasan itu memang tidak mampu dideskripsikan. Cukup hati yang mampu merasakan.
Sering kali saya bertanya pada mereka yang akan segera melangsungkan pernikahan.
'Bagaimana kamu bisa yakin bahwa dia takdir kamu?'
Kebanyakan dari mereka kesulitan untuk memaparkan puluhan ribu alasan yang mungkin hanya pendukung. Karena sesungguhnya 'hati' tanpa rekayasa telah menemukan.
'Selayaknya rejeki tidak akan tertukar, begitu pula tulang rusuk.'
Jika hati masih banyak pertimbangan terlebih dalam hal prinsip yang tak mampu digoyah atau mencari jalan tengah. Kembalilah melangkah. Bukan dia yang telah Tuhan takdirkan untukmu.
Karena takdir tidak serumit itu.
Jika kamu bilang 'ini namanya perjuangan'. Bacalah baik-baik kalimat saya.
 Perjuangan ada setelah hatimu telah yakin bahwa dia takdirmu.
Jika hati saja masih ragu, untuk apa kamu memilih maju?
Maka, saya hanya mampu menuliskan kalimat sederhan ini;
Siapapun kamu yang Tuhan izinkan menjadi takdir saya.
Disini saya menunggu.
Saya yang tidak sempurna.
Tapi saya ada untuk menjadi teman hidupmu yang paling setia.
Saya tidak mampu berkata apa-apa tentang diri saya, mungkin begitupun kamu.
Biar kita saling mengenal melalui doa-doa yang tak henti dipanjatkan.

'Tuhan ciptakan aku. Tuhan ciptakan kamu. Kita berdua diizinkan bersama selamanya'.



Saidah

Panggung Sandiwara

on
5/15/2015


Dunia ini penuh peranan. Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan. Mengapa kita bersandiwara?
Sepenggal lirik lagu ini mengingatkan saya sama hakikat hidup ini sesungguhnya. Bahwa kita adalah pemeran utama dalam hidup kita. Dan tentu saja Allah - lah sang penulis skenario dan sutradara. Kita berada dalam arahan-Nya. Sudah sepatutnya kita mengikuti alur cerita yang sudah dituliskan-Nya. Bukankah tugas kita hanya taat?

Bicara soal sandiwara atau seni peran, saya jadi ingat tentang cita-cita saya yang ingin jadi aktris. Ketertarikan saya sama dunia seni peran ini sebenarnya berawal dari kegilaan saya berkhayal. Saya suka banget berkhayal. Saya bisa menciptakan dunia saya sendiri. Dimana saya bebas jadi siapapun yang saya mau. Yang mungkin akan dianggap 'aneh' sama orang lain. Itulah yang bikin saya bercita-cita jadi aktris. Supaya saya gak dianggap aneh lagi ngomong sendirian. Sebab, sebenearnya yang saya butuh adalah 'panggung'.

Ada beberapa aktor dan aktris yang membuat saya terkagum-kagum dengan talenta mereka. Salah satunya adalah Alm. Didi Petet yang hari ini (Jumat, 15 Mei 2015) berpulang ke rahmatullah. Saya gak kenal beliau secara personal, saya juga bukan fans fanatik beliau, tapi saya orang yang sangat terinspirasi oleh beliau melalui karyanya.

Sejujurnya, saya tidak selalu mengikuti perkembangan tentang beliau. Tentang film apa saja yang beliau bintangi dan lain-lainnya. Namun karya terakhir beliau yang saya tidak pernah absen menonton bahkan sangat menunggu sesion selanjutnya-lah yang membuat saya benar-benar merasa kehilangan sosok Om Didi. Perannya sebagai Kang Bahar, sosok yang disegani oleh warga Bandung. Mulai dari rakyat kecil sampai walikota Bandung. Kang Bahar yang sangat tegas dan to the point. Yang apapun perintahnya pasti dilaksanakan oleh anak buahnya. Sosok yang kurang taat beragama, namun kecintaannya terhadap sang istri kadang tetap membuat iri para wanita.

Alm. Om Didi begitu menjiwai perannya di sinetron Preman Pensiun. Yang terkadang membuat saya benar-benar lupa bahwa yang saya tonton hanyalah fiktif belaka, bukan kehidupan sebenarnya dari seorang Om Didi Petet. Om Didi sangat apik mengemas sinetron komedi ini tidak hanya sekedar membuat penonton tertawa, tetapi juga membuat penonton termenung karena sarat makna.

Saya mungkin terlambat karena belum pernah sekalipun bertemu dengan beliau yang begitu menginspirasi saya untuk segera berkarya nyata. Keinginan untuk tatap muka dan belajar banyak dari beliau telah ada dari dulu namun belum terlaksana hingga akhirnya beliau pergi meninggalkan dunia.

Saya hanya bisa berdoa untuk Om Didi. Saya yakin sekali Om Didi adalah orang yang baik. Semoga segala amal ibadah Om diterima Allah swt.

Tulisan ini hanya untuk memberikan apresiasi saya untuk seseorang yang memberikan saya inspirasi. Meskipun Om Didi telah pulang ke haribaan Sang Pencipta, namun karya-karya Om Didi tetap tinggal di hati kami.

Om Didi bukan hanya aktor terbaik yang dimiliki Indonesia, namun juga aktor terbaik yang sangat disayangi Sang Sutradara, Allah swt.
"Akting itu bukan hanya penopang hidup. Namun juga sekolah kehidupan" - Didi Petet

I'll be miss you, Om Didi Petet. Terima kasih telah menginspirasi. Semoga yang muda mampu meneruskan perjuanganmu berprestasi. Semoga saya mampu.

Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah terbaca.



Saidah

Lifestyle Journalism; Jelajahi Gaya Hidup!

on
5/13/2015
Selamat malam.

Seperti janji kemarin, saya mau sharing tentang #JournalistDays2015. FYI aja, #JournalistDays merupakan acara yang diadakan oleh Badan Otonomica Universitas Indonesia. Rangkaian acaranya dimulai hari Senin tanggal 27 April 2015 sampai hari Kamis 30 April 2015. Nah, saya milih untuk ikutan sesi seminar & talkshow di hari terakhir.


I'm very enthusiastic!
Because being a journalist is one of my dreams.


Sekilas cerita.

Alhamdulillah, saya kuliah di jurusan yang memang saya sukai; ilmu komunikasi. Meski masih sebatas D3 tapi saya bisa banyak belajar semua hal tentang ilmu komunikasi. Mulai dari photography, broadcasting, jurnalism, advertising, public relation, marketing communication, publishing, dan film production. Semuanya sangaat menyenangkan. Tapi di antara semuanya tentu saja ada satu mata kuliah yang jadi favorit. Disini saya mau cerita tentang jurnalistik.

Pertama kali jatuh cinta sama jurnalistik berawal dari praktikum mata kuliah ini beberapa tahun yang lalu. Saya ngerasain gimana bahagianya bisa jadi orang yang tau berita lebih dulu dan kita ada disana sebagai penyampai berita. Tapi sayangnya, saya gak terlalu suka politik dan materi serumpun yang 'rumit' menurut saya. Dan demi karir jurnalis yang pengin banget saya raih ( waktu itu saya masih kuliah), saya berusaha untuk sarapan politik dan materi-materi rumit lainnya tiap hari. Meski sebenernya di detik itu juga rasanya saya pengin langsung cabut dari depan tivi, huft.

Hingga akhirnya wawasan saya terbuka tentang profesi seorang jurnalis. Entah mengapa selama ini pikiran saya tentang jurnalis selalu mengarah kepada materi pemberitaan yang 'rumit dan serius' (seperti politik, ekonomi, hukum dan ham, dan lain-lain) padahal sebenarnya point penting dalam jurnalisme adalah public interest dan importance. Sesuatu yang menarik perhatian masyarakat dan dianggap penting.
Ini dia sedikit cuplikan tentang #JournalistDays yang saya rangkum….

Di #JournalistDays, saya kembali diingatkan pada masa-masa kuliah saat Ibu Endah Trihastuti (dosen Ilmu Komunikasi UI) memaparkan presentasi tentang definisi jurnalisme. Sebagai seorang akademisi, tentu saja materi yang beliau sampaikan terkait tentang teori-teori jurnalistik. Bahwa, jurnalisme ini memiliki dua sisi yang kita kenal sebagai hard news dan soft news. Kemudian muncullah istilah lifestyle journalism (yang merupakan bagian dari soft news) yang berasaskan public interest yang terbentuk karena pasar dan peluang.

Meski berkaitan dengan apa yang diminati publik (public interest) Jurnalisme tetap memiliki batasan. Batasan inilah yang menentukan perlu tidaknya sesuatu berita diangkat. Ada 4 batasan jurnalisme, yaitu advice, a review function, commercialisation, a culture mediators.

Berbeda dengan Bu Endah, Bu Petty S Fatimah sebagai seorang praktisi (Pemred Majalah Femina) yang sudah belasan tahun berkecimpung dalam jurnalisme gaya hidup memaparkan bahwa "lifestyle journalism is a news you can be use".

Kenapa? Yaa karena hal yang disampaikan dalam jurnalisme gaya hidup bisa diterapkan dalam kehidupan. Misalnya seputar fashion, kuliner, dan travelling. Point of interest-nya adalah the way a person lives and culture. Bagaimana cara kita bisa menikmati hidup lebih baik.

Selanjutnya, Pak Dede Apriyadi ( Pemred Net TV) mengatakan bahwa gaya hidup adalah peluang. Lebih lanjut lagi Pak Dede menambahkan bahwa jurnalisme gaya hidup adalah idealisme, komoditi, memiliki makna dan bertanggung jawab.

Kemudian beliau memaparkan bahwa televisi tempatnya bernaung memiliki hal-hal yang ia sebutkan; idealisme, komiditi, makna, tanggung jawab. Karena sebuah karya memanglah harus memiliki keempat hal tersebut.

Sesi seminar hari itu ditutup oleh presentasi dari Pak Hagi Hagoromo, beliau merupakan Chief Editor Linikini. Tak banyak hal yang disampaikan oleh Pak Hagi, karena pembicara sebelumnya sudah memaparkan banyak hal tentang jurnalisme gaya hidup. Pak Hagi hanya menambahkan bahwa jurnalisme gaya hidup akan tetap ada dan selalu berkembang sepanjang manusia hidup. Karena sepanjang manusia hidup, sepanjang itu pula banyak bahan yang bisa diangkat untuk pembelajaran. Titik perhatiannya adalah APA dan SIAPA?
-end

Huaaaa,rasanya saya bahagia banget ya bisa dapat asupan baru dan cerita baru tentang satu hal yang kamu suka. Rasanya kaya nambah trik jitu buat naklukin gebetan. Hehe :p 

Ternyata banyak hal yang baru saya sadari tentang jurnalisme, padahal sebelumnya saya sudah belajar di bangku kuliah. Ini artinya saya masih butuh banyak belajar, banyak baca, dan banyak nulis biar gak lupa. Jadi semangaat buat belajar lagi. Buat terus buka mata tentang perkembangan dunia, buat terus buka telinga untuk mendengarkan ilmu-ilmu bermanfaat, yang pasti buat terus ngerasa 'bodoh' supaya terus ngerasa butuh ilmu.


Sekian cerita saya tentang seminar #JournalistDays2015. Semoga bisa nambah pengetahuan kamu juga yaaaa. Maaf banget ya lamaaa, tapi akhirnya saya lega karena udah menyelesaikan tulisan ini. Yuk kita terus belajar dan berkarya. Makasih untuk yang udah baca, ditunggu tanda cintanya.



Saidah

Untuk yang Terakhir Kali

on
5/12/2015
Katamu, cinta itu tak bisa dideksripsikan. Hanya terasa di dada. Ada desir angin yang tiba-tiba menyapa saat matamu dan mataku bertemu tanpa aba-aba. Atau saat aku tersenyum lugu, meski bukan untukmu, kamu merasa itu istimewa.
Hal sesederhana itu rasanya bagai surga. Kita tersipu dan merasa bahagia pada satu lakon ragu. Perasaan yang masih belum jelas bagaimana, namun sudah berani simpulkan cinta. Bahkan berapi-api kamu menebar rayu-rayu hiperbola. Katamu, gunung kan didaki, laut kan diselami, bahkan benua pun dijelajahi. Namun aku hanya meminta hal sederhana.
Jelas kamu tahu, arah harap yang ku tuju. Kamu pura-pura lugu, kemudian berkelit ini itu. Kamu bilang pintaku terlalu dini. Kamu salah, aku hanya tidak ingin meladeni pembual kata-kata.
Jika kamu tak mampu, mungkin bukan aku akhir tujuanmu. Jika kamu belum siap, jangan obral janji curi-curi perhatian.

Aku hanya menanti yang berani bertanggung jawab. Yang berani jatuh cinta untuk yang terakhir kali. Denganku. - @saidahumaira

Berani mencintai, berani memutuskan untuk bersama dalam taat pada-Nya.



Saidah