Mantan

on
6/24/2015
Perkara mantan yang tak pernah usai
Perkara cinta yang masih belum selesai

Tentang kata 'harus' yang selalu kamu sisipkan di antara kata melupakan.
Tentang kata 'harus' yang selalu kamu jadikan alasan untuk menepis perasaan.
Tentang kata 'harus' yang hanya sekedar hiasan namun tak pernah tulus kamu lakukan.

Hingga akhirnya kau temukan kata 'baru' untuk menggantikan 'yang telah lalu'.
Cinta yang baru, kenyamanan yang baru, bersama dengan sang kekasih baru.
Terus berulang seperti itu. Cerita cinta yang rumit. Bukan hanya antara aku dan kamu. Tetapi juga tentang masa lalu yang terkadang tak bisa terlewatkan secepat itu. Atau tentang masa lalu yang masih menyimpan setitik harap padamu. Tentang masa lalu yang menyisakan tangis dan senyuman semu. Ini bukan tentang melewatkan  ruang dan waktu, tetapi tentang menghapus sebentuk hati, mengenyahkan sealbum kenangan, melupakan sejumput angan.
Karena, manusia mana yang rela menjadi yang kesekian dalam sepetak ruang bernama hati?
Saat lagi-lagi kamu harus menyadari bahwa sebelum kamu, pernah ada nama seseorang yang teramat lekat di ruang itu. Bahwa sebelum kamu, pernah ada yang mampu membuat hati harinya bahagia. Bahwa sebelum kamu, pernah ada satu nama yang ia cintai dan perjuangkan teramat sangat. Dan kenyataan lain yang harus kamu terima bahwa kamu bukan orang pertama dan masih tak pasti untuk menjadi yang terakhir.
Lalu suatu hari, kamu pun akan menjadi yang 'pernah' bukan yang berhasil selamanya. Suatu hari kamu pun akan menjadi silam bukan yang ia cintai teramat dalam.
Sampai kapan? Tak lelahkah terus singgah dan pergi? Tak lelahkah mengontrak dari satu hati ke hati yang lain? Tak inginkah kamu pulang pada sepetak hati yang kau sebut rumah? Tak inginkah kamu menjaga hatimu untuk dia yang kamu ingin pasti menjadi terakhirmu?
Lalu akhirnya kamu kembali menyadari bahwa tugasmu tak hanya sekedar mencintainya tetapi berdamai dengan kisah dahulunya.



Saidah

Berikan Aku Sebuah Buku

on
6/19/2015
Masih ku ingat betul permintaan Mala saat aku menyatakan cinta padanya tujuh bulan yang lalu. Di pinggir jembatan penghubung desa kami, aku menemuinya yang sedang berjalan pulang sehabis menimba ilmu di surau kecil satu-satunya yang ada di desa. Beberapa temannya tersenyum paham saat aku meminta izin untuk bicara empat mata dengan Mala. Sambil terus berlalu, mata dua sahabatnya itu tak lepas memandangi kami yang berdiri diam belum juga memulai bicara. Di depanku, Mala masih menunggu. Tatapan matanya membuatku tak kuasa ingin memilikinya, tatapan matanya persis seperti ibuku. Penuh kehangatan dan pengertian, tatapan mata yang membuatku memastikan diri bahwa benar aku sungguh sangat menyukai kembang desa ini.

"Kang Abdul, katanya mau bicara?" Nada bicaranya yang lembut dengan sesimpul senyuman manis membuat detak jatungku semakin berdebar kuat.

"Hmmmm."

"Ada apa?"

"Saya gak tahu harus bagaimana menyampaikannya. Saya seorang guru yang biasa berbicara di depan puluhan murid. Tapi bicara di depan kamu, saya kesulitan."

"Kenapa begitu?"

"Mala, tahun ini usia saya 28 tahun. Ibu saya ingin sekali melihat saya berkeluarga, tetapi dekat dengan gadis saja pun saya tak berani. Saya takut ditolak. Begitupun saat ini. Saya menyukai kamu, Mala. Jika kamu juga menyukai saya, maukah kamu berhubungan dekat dengan saya?"

Mala terdiam, aku pun demikian. Bahkan menatap matanya yang teduh saja aku tak berani. Aku terlalu takut membaca penolakan dari sinar matanya yang selama ini ku kagumi. Biarlah sinar mata itu menjadi kekasihku, jika sang pemiliknya tak kuasa memberikan hatinya untuk ku cintai.

"Mala gak tahu harus jawab apa. Kalau kang Abdul memang berniat mengenal Mala lebih dekat, silahkan akang main ke rumah. Berkenalanlah dengan kedua orang tua Mala, mereka sangat tahu Mala seperti apa."

Aku tersenyum kaku. Isyarat itu sulit ku terjemahkan manis, aku malah bepikir sinis. Aku hanya butuh jawaban ya atau tidak untuk melangkah ke arah selanjutnya. Bukan tergantung tak pasti.

"Saya serius sama kamu Mala. Saya gak ingin main-main. Saya sungguh-sungguh menyukai kamu. Saya ingin membina hubungan serius dengan kamu. Saya ingin menikah."

Mala tersenyum bersahaja, kerudung putihnya tersibak angin sore yang berhembus cukup kencang. Deras air sungai terasa tak sebanding dengan derasnya keringat dingin yang mengucur di sekujur tubuhku. Mala terdiam lebih lama dari sebelumnya, matanya memandangi langit seolah meminta wangsit untuk menjawab pinangan dari seorang pemuda yang bahkan belum lama ia kenal.

"Mala...."

Yang ku dapati lagi-lagi hanya seutas senyum. Mala belum menjawab sepatah kata pun, mungkin bibirnya kelu. Atau mungkin hatinya sedang berdebat hebat antara menerima pinanganku atau tidak, atau mungkin ia sedang menyusun kalimat untuk...menolakku.

"Kalau kamu ..." kalimatku terhenti, ku lihat bibir mungil itu hendak mengucap kalimat.

"Mala senang sekali ada laki-laki baik yang ingin menikah dengan Mala. Tapi Mala belum bisa jawab pertanyaan kang Abdul. Kang Abdul tetap harus berkenalan dekat dengan orang tua Mala agar ayah ibu Mala bisa menilai kebaikan kang Abdul bukan hanya dari cerita Mala. Jika kang Abdul benar serius, Mala cuma minta satu. Berikan Mala sebuah buku."

"Buku? Buku apa?"

"Mala yakin akang tahu buku apa yang Mala maksud."
Otakku berpikir keras. Mengapa Mala senang sekali menjawab dengan kalimat isyarat yang masih harus ku kulik lagi maknanya. Apa mungkin ia sedang menguji kesungguhanku, apakah aku cukup layak atau tidak menjadi suaminya.

"Baik kalau begitu. Saya akan segera ke rumahmu dan memberi buku itu untukmu."

"Terima kasih kang."

Kembali Mala melempar senyum manisnya padaku sembari berlalu. Sementara aku masih terpaku menatap pujaan hatiku yang berjalan menjauh. Kembang desa nan sholeha, anak seorang petani dan penjaga surau. Gadis pertama yang mampu membuatku kelimpungan meski hanya sekedar berpapasan dalam perjalanan. Permintaannya sederhana, hanya sebuah buku. Tapi ku yakin bukan buku biasa yang ia maksud.

Dan kini baru ku pahami sebuah buku yang ia maksud teramat sederhana. Namun aku keliru mengartikan isyaratnya. Aku terlalu rumit menilai Mala padahal ia teramat sederhana. Tatapannya masih sama, senantiasa meneduhkanku. Namun tak lagi boleh ku kagumi, apalagi ku cintai. Sudah ada seseorang yang lebih berhak menikmati tatap matanya. Namun seseorang itu bukan aku.

"Mala senang mengenal laki-laki sehebat kang Abdul. Selamat ya kang, akang sudah mencapai satu impian akang."

Kali ini aku benar-benar tak mampu bicara. Aku sibuk menutup luka yang tepat berada di depan mataku. Aku sibuk memastikan hatiku untuk tetap pada tempatnya, meski ku rasa separuhnya sudah rapuh dan siap jatuh.

"Terima kasih Mala, terima kasih sudah berkenan hadir. Saya harap kamu berkenan menerima ini. Buku ini permintaan kamu. Maaf saya keliru mengartikan buku yang kamu maksud." Mala menerima buku itu ragu-ragu.

Aku tak ingin menebak-nebak apa yang ia rasakan saat ini. Aku tak lagi berhak untuk itu, karena perasaannya jelas tak lagi bebas seperti dulu. Hatinya sudah tertaut. Atas nama seorang laki-laki yang sigap memberikan buku yang Mala pinta, buku nikah.

"Selamat juga atas pernikahan kalian. Saya turut bahagia," sambungku sembari meninggalkannya. Meninggalkan harapanku yang telah pupus. Maafkan aku Mala, untuk kalimat terakhir aku terpaksa berdusta.



Saidah



Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama tokoh dan kejadian.

Jadikanlah Dia

on
6/15/2015
Bukan tentang perseteruan.
Yang saling berseberangan dalam medan kalah menang.
Sungguh, aku ingin dia jatuh.
Tenggelam dalam satu peluh, merapal ikhlas namanya.
Tentang terik yang menghangatkan, tentang gelap yang melelapkan. Tentang hati yang ingin ku menangkan, mendekap luruh dalam cinta yang ku ingini.
Dia belum juga jatuh. 
Padahal cinta telah patuh.
Resahku tetap pada hati yang separuh.
Menyebut namanya dalam sederet doa yang ku ucap lembut sebelum subuh.
Tuhan, jadikanlah dia.
Satu nama yang lekat di jiwa hingga menua dan tutup usia.
Yang ku sebut cinta selamanya.




Saidah

Mau Dikatakan Apalagi?




Pi-sah.
Tak semudah memenggal kata. 
Saat tiada seakan ada.
Menerawang cerita tentang yang disana.
Jangan. Catatan ini masih terbuka.
Namamu masih terbaca.
Rinduku masih terasa.
Meski kamu sudah kita tak ingin ada apa-apa.

Mengelak saja terus.
Tentang 'andai' yang masih harus.
Jarak yang beratus-ratus.
Tak lantas membuat bayangmu tergerus.
Kau ucap ketus tentang cinta yang tak lagi lurus.
Sudahlah. Tak perlu ada kata apa-apa. Tentang kita yang melepas. Apalagi?




Saidah