Anak Jalanan: Ada Pesan dalam Peran!

on
12/13/2015






"Jangan bangga jadi anak motor kalo sekolah dan kuliah lo gak bener!" - BOY

Kalimat di atas adalah salah satu dialog sinetron 'Anak Jalanan' yang punya pesan begitu dalam bagi remaja saat ini. Meskipun judulnya 'Anak Jalanan' yang memiliki kesan kurang baik, tapi sinetron ini memiliki banyak pesan moral yang terselip dalam dialog tokoh maupun tersirat dalam makna lakon. Dengan karakter utama bernama BOY, ketua geng motor warrior yang gak suka 'berantem' meskipun dia jago beladiri. Karakter BOY di sinetron ini dibuat sempurna dan jadi panutan tapi tetap terlihat sebagai 'manusia' bukan malaikat. Hal itu tergambar dari dialog dan lakonnya, meskipun anak motor dia tetap rajin belajar dan pintar dalam matematika, taat beribadah, dan patuh pada orang tua. BOY mengajarkan yang benar meski citra negatif tidak lepas dari predikat 'anak motor'.

Sinetron ini mengambil latar belakang keadaan anak muda zaman sekarang tanpa drama yang berlebihan. Konflik yang diangkat dari cerita ini pun dekat dengan masyarakat. Seperti konflik di keluarga REVA yang ayahnya 'dikuasai' ibu tiri, konflik antar geng motor, sampai masalah percintaan antara REVA dan BOY yang meskipun rumit tapi terasa apa adanya tanpa drama yang pelik.

Peran protagonis di sinetron ini berhasil mematahkan teori bahwa jadi orang baik gak harus teraniaya seperti sinetron-sinetron sebelumnya. Dimana sang pemeran utama dengan karakter protagonis pastilah tokoh yang baik namun menderita. Di sinetron ini, justru sebaliknya. Orang baik itu adalah orang yang memiliki kekuatan untuk melakukan hal yang benar. Dengan kebaikannya ia bisa menjadi manfaat, bukan ancaman bagi orang lain (baca: tokoh lain/antagonis).

Bumbu-bumbu dalam cerita ini pun menarik, mulai dari peran bi Irah dan mang Diman dalam keluarga BOY, orang tua teman BOY dan REVA sampai kekonyolan Pak Amir, sang guru matematika yang jatuh cinta dengan Bu Devi. Meski peran mereka mungkin bukan yang ditunggu untuk anak muda (karena utamanya pasti mau nonton adegan BOY REVA  dan teman-temannya), namun keberadaan para pemain pendukung ini tidak bisa ditiadakan. Mereka menjadi pelengkap yang membuat sinetron ini memiliki nilai lebih.

Peran antagonis di sinetron ini pun dibuat 'tidak sadis' tapi cukup membuat penonton GEMEZ melihatnya. Dibalik sosok ADRIANA yang terkesan jahat pada keluarga REVA, ada satu nilai yang bisa diambil: bahwa seorang anak rela melakukan apapun demi kebahagiaan orang tuanya. Namun, dalam cerita ini ADRIANAN melakukan 'nilai yang terpuji' dalam perbuatan yang salah.
Semua tokoh yang ada di sinetron ini membawa pesannya masing-masing. Pesan yang disampaikan dalam laku maupun ucap, secara gamblang maupun tersirat. Sekalipun tokoh itu adalah tokoh antagonis, ia memiliki pesan dalam peran.

Semoga sinetron ini selalu memiliki pesan baik yang bisa diterima dan sampai ke hati penontonnya. Dengan berkaca pada kehidupan nyata tanpa banyak drama. Tetap memperhatikan etika dan kelayakan; apakah cerita seperti ini patut diangkat ke layar kaca atau tidak. Dan sejauh ini, cerita dalam sinetron 'Anak Jalanan' patut untuk diangkat ke layar kaca. Karena pesan baik gak selalu harus disampaikan oleh peran-peran yang agamis. Tengok dan berkaca pada peran yang dekat dengan kita yang bisa memberi pesan baik, mungkin lebih mudah diterima.

Kayaknya, gak berlebihan ya kalau aku ucapkan 'Selamat!'. Selamat kepada para aktor dan aktris yang mampu mendalami peran dengan baik dan terasa dekat. Dan  yang lebih utama selamat kepada Om Hilman Hariwijaya, penulis skenario Anak Jalanan. Semoga suatu hari saya bisa bertemu dan belajar langsung tentang kepenulisan naskah skenario dari Om Hilman.  Selamaat! Selamat 100 episode, Anak Jalanan.


Saidah

Mau Bilang Cinta Tapi Takut Salah..

on
12/03/2015
Sulitkah kamu merasa? 
Bahwa setiap dekat dengamu, tingkahku pasti berbeda.
Meski sudah berusaha bersikap biasa, aku tetap tak bisa mengaburkan apa yang terasa.

Ada debar yang sulit terurai setiap kita bertatap mata tanpa sengaja.
Ada senyum yang terlukis samar dalam setiap kata ketika kita bincang berdua.
Ada bisikan sok tahu yang terus meneriakiku tentang perasaan ini... aku telah jatuh cinta, katanya.

Lantas, aku harus berlaku bagaimana?
Kepada hati yang sudah terlalu lelah memungkiri..
Bahwa perasaan ini berkali-kali katakan 'ya'...ada cinta di hati ini.
Tetapi semesta memintaku untuk tetap diam, memendam.

Kamu, membuatmu jatuh cinta sekaligus patah hati!
Ingin memiliki namun terpaksa harus menjauhi.

Apa harus aku yang menyampaikan lebih dulu?

puisi ini terinspirasi dari kalimat 'Mau Bilang Cinta Tapi Takut Salah' yang merupakan lirik lagu galau karya Al - Ghazali.


Saidah

Laki-laki Benar atau (sekedar) Laki-laki Baik

on
11/20/2015

Cinta itu bukan sebuah permainan, ia sebuah pertanggungjawaban. Maka, ketika mencinta hanya ada 2 pilihan; sampaikan untuk menikah atau pendam sampai saatnya.


Sebagai seorang muslim kita sebenarnya tahu bahwa pacaran tidak ada dalam ajaran islam. Pun kita tahu bahwa kita dilarang mendekati zina. Apakah pacaran mendekati zina? Aku rasa, hati kecil kita tahu jawabannya. Hanya saja kita sering kali menutup mata, telinga, dan hati. Dan mungkin itu yang ku lakukan dulu.

Aku tidak ingin menutupi masa lalu, tidak pula ingin berbangga dengan yang pernah ku lewati. Aku pernah pacaran. Hampir empat tahun. Dan tiga tahun yang lalu aku memutuskan usai. Aku tidak lagi ingin pacaran. Bukan karena  rasa sakit hati atau tidak bahagia. Tapi, karena hidayah Allah. Setelah berbulan-bulan hati terusik, tidak lagi sejalan dengan 'pacaran'. Aku mengambil pilihan ini. Apakah mudah? Jelas tidak.

Mungkin kalian lebih paham bagaimana rasanya sudah mantan tapi masih sayang. Aku merasakan hal yang sama (pada saat itu). Tetapi aku tidak lagi bisa mengutarakan secara gamblang. Pun tidak bisa menyampaikannya dengan isyarat. Karena aku sedang berusaha menjalani pilihanku; menjaga hati. Aku menjaga hati untuk seseorang yang pantas aku cinta di waktu yang juga pantas. Sungguh, itu tidak mudah. Seringkali ada seseorang yang menyapa penuh perhatian dan memberi rasa nyaman. Apa aku pernah gagal? Sering. Aku sering terbuai dan rasanya ingin mengingkari komitmen pada pilihan sendiri. Tapi aku bersyukur, meski sudah di tepi jurang dan sedikit terpeleset. Allah menyelamatkan. Allah tidak membiarkanku terperosok. Allah bantu aku tetap istiqomah sampai saat ini, Alhamdulillah.

Jika memang kamu jatuh cinta pada seseorang, kamu hanya punya dua pilihan. Sampaikan seperti ibunda Khadijah ra atau pendam seperti Fatimah ra. Keduanya memberi contoh yang baik bagaimana seharusnya perempuan jika jatuh cinta. Jika kamu jatuh cinta dan memang sudah berkeinginan menikah, maka taaruf saja. Namun yang perlu diingat adalah ..... taaruf bukan pacaran islami! Bukan. Keduanya sangat berbeda.

Taaruf, menunjukan mental  seorang laki-laki yang benar. Jika cinta, datangi walinya. Bukan tebar pesona dengan putrinya. Jika cinta, nikahi. Bukan memacari dan jika tidak cocok ditinggal pergi. Taaruf itu sebenarnya menyelamatkan perempuan dan mungkin juga laki-laki dari sindrom pemberi harapan palsu. Karena modal keyakinan yang utama dan pertama dalam proses taaruf adalah keyakinan pada Allah, bahwa Allah pasti akan memberi yang terbaik. Dan kutipan "Dekati dulu penciptanya, baru ciptaan-Nya", adalah benar adanya. Jadi kamu gak perlu khawatir gimana jodoh kamu nanti, tanpa kamu tebar pesona sana-sini, Allah tahu kualitasmu. Jadi, jangan lagi menjadikan pacaran karena untuk mencari yang terbaik. Allah sudah menuliskan jodoh kita jauh sebelum kita hidup di dunia, yang menjadi urusan kita adalah mau menjemputnya dengan cara yang Allah suka atau cara yang suka-suka kita? :))))))

Teman, coba bayangkan jika kamu adalah wanita pertama, terakhir, dan satu-satunya yang pasangan hidupmu cintai. Bahwa sebelum kamu tidak pernah ada wanita lain  yang ia cintai. Ia menjaga hatinya, hanya untuk diserahkan kepada kamu, kekasih halalnya. Jika pun ada, wanita itu tidak lain adalah ibunya (begitu pun sebaliknya untuk pria).  Bagaimana perasaanmu? Kalau yang ditanya itu aku, jawabannya cuma satu; bahagia.

Tapi, cerita hidupku tidak seperti itu. Namun belum terlambat untuk memulai menjaga hati. Menjaga hati untuk seseorang yang patut dicintai, pasangan hidup kita kelak. Menjaga hati dari perasaan-perasaan yang belum saatnya. Menjaga hati untuk kamu, pangeranku yang sedang berjalan ke arahku. Aku tidak akan membicarakan masa lalu, bukan karena menutupinya. Tetapi, karena aku hanya ingin menatap masa depanku, kamu. Karena aku tidak ingin membicarakan lelaki lain selain kamu. Siapapun kamu, semoga Allah menakdirkan kita bersama - berdua - atas dasar cinta karena-Nya. Aamiin

Laki-laki yang mencintai dengan baik itu banyak, namun yang mencintai dengan benar itu langka.


Saidah 

Catatan untuk Pria yang sedang Mendekati Wanita

on
11/15/2015
Hai pria yang baik hatinya. 
Izinkan aku merangkai satu kisah yang perlu kamu ketahui tentang wanita.

Bahwa ketika kamu telah memutuskan untuk menginginkan seorang wanita, setialah kepadanya walau mungkin hanya sejenak. Sampai kamu memutuskan satu jawaban atas tanya sebuah perasaan.
Bahwa ketika kamu berusaha untuk membuat wanita itu jatuh cinta, bertanggungjawablah atas bisik-bisik cinta yang kamu ucap. Jangan bersembunyi apalagi berlari pergi pun jangan mengulur waktu.
Maka......
Katakan padaku bagaimana aku harus mempercayaimu?
Sedang kamu seperti ingin tak ingin. Tidak jelas.

Kamu memintaku menjawab pertanyaanmu. 
Kamu lupa satu hal; kamu belum mengatakan apa-apa pada orang tuaku.

Ucapmu melulu katakan tidak main-main, tapi kamu tak lagi ada waktu untuk datang ke rumah membuktikan kesungguhanmu.
Katakan padaku bagaimana aku bisa yakin?
Sementara lakumu sungguh membuat banyak pertanyaan dalam hati dan kepala.

Jika mungkin menurutmu aku tak hangat sehingga kita tak dekat. Ketahuilah, aku sedang menjaga hatiku.
Aku berusaha menjaga bicaraku, aku berusaha menjaga diriku. Bukankah memang belum seharusnya kita bercanda mesra? Bukankah memang belum saatnya kita saling merajai rasa?
Bukan maksudku memburu waktu. Namun kamu harus pahami satu hal; wanita tidak suka menunggu apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Jika kamu ragu, katakanlah. 
Jika telah yakin, datanglah. 
Tolong jangan beri celah pada setitik hati yang jemu akan tulusmu.



Buat aku percaya saat kau bawa hatimu untukku.Seumur hidupmu kau kan selalu setia kepadaku.Agar tak ada penyesalan hidup di masa depan nanti.Sungguh aku butuh itu, buat aku percaya. (Sammy Simorangkir - Buat Aku Percaya)



Saidah

Menemukan Wajah Seorang Penulis

on
10/29/2015
Kadang aku bingung harus menulis apa sedangkan di kepalaku sudah banyak sekali kata-kata yang berebut namun tak runut. Mereka berlomba-lomba mencekokiku dengan pemikiran A B D K L M Z.

Mereka berputar-putar di dalam kepalaku yang ukuranya tak lebih besar dari sebuah meja bundar. 
Mereka berdiskusi dengan gaya sok politisi. Mereka membuat aku (kadang) hampir frustasi dengan pemikiran sendiri.


Lalu sekarang, apa yang harus aku tulis lebih dulu?
Apakah kamu pernah mengalami hal sama seperti ini?

Rasanya menyebalkan sekali ketika ada di posisi ini. Bingung - pusing - hingga berakhir tidak menulis apa-apa. Ternyata menjadi seorang penulis itu tidak mudah. Menjadi seorang penulis bukan cuma pekara menulis dan selesai. Banyak fase yang harus dilewati jika memang ingin menjadi seorang penulis, bukan sekedar hobi menulis.


Awalnya ku pikir menjadi seorang penulis itu mudah. Asalkan kamu suka menulis - selesai perkara. Namun ternyata ada banyak hal yang bisa membuatmu pusing tujuh keliling. Hal ini tentang diri, wajah, atau yang biasa disebut ciri khas seorang penulis. Apa yang membedakan kamu dengan penulis lainnya? Dimana menariknya tulisanmu? Dan kenapa mereka harus membaca ceritamu?

Dan fase awal kebimbangan untuk menjadi seorang penulis ada pada jenis tulisan apa yang ingin ditekuni; fiksi dan non-fiksi. Karena aku percaya, seseorang yang suka menulis pasti mampu untuk menulis keduanya, hanya saja dimana letak kekuatan penulis tersebut; fiksi-kah atau non fiksi? Aku pribadi suka keduanya. Banyak hal yang ingin aku gali dari dua jenis tulisan ini. Namun aku meyakini bahwa kekuatan menulisku ada pada genre fiksi; khayalan - imajinasi. Dan aku berusaha untuk fokus pada itu.

Lalu setelah aku menemukan kekuatanku ada pada genre fiksi, bukan berarti perkaraku habis. Sebagai seorang penulis pemula, aku harus punya ciri khas. Mau dibawa kemana tulisanku? Ingin dikenal sebagai penulis apa?

Ambil contoh bunda Asma Nadia, beliau adalah penulis yang konsisten membahas permasalahan rumah tangga. Lihatlah dari judul novelnya, mulai dari Catatan Hati Seorang Istri hingga Surga yang Tak Dirindukan. Lalu coba lihat Raditya Dika, ia sukses membangun image-nya sebagai penulis komedi. Judul bukunya selalu menggunakan nama hewan; Kambing Jantan, Marmut Merah Jambu hingga Cinta Brontosaurus. Dan aku kembali bertanya kepada diri sendiri; ingin seperti apa kamu dikenal?


Selama ini cerita fiksi yang aku tulis bercerita tentang romansa. Berkaca pada pengalaman pribadi dan juga khayalan, aku menuliskannya menjadi cerita. Aku suka mengeksplorasi tokoh dan melekatkan tokoh dalam ceritaku ke alam nyata. Aku sering berbicara pada kaca seolah aku ini aktor yang sedang memainkan peran. Hari ini aku sebagai tokoh A, lalu kemudian aku berganti peran jadi B. Aku mencipta dunia sendiri. Semata untuk menjiwai tokoh yang ingin ku tulis. Aku suka dan menikmati ritual ini, hehehe.

Oke. Kembali lagi pada ciri khas penulis. Dulu (dan kadang masih sampai sekarang) aku menulis tentang romansa anak muda; indahnya jatuh cinta - sakitnya patah hati beserta peliknya drama-drama. Tapi sekarang, aku merasa 'tema' itu tidak lagi relevan dengan keadaanku sekarang. Karena karakter seseorang berpengaruh pada tulisan yang ia buat dan image apa yang ingin ditampilkan. Aku sudah tidak lagi bisa menulis romansa berbau pacaran. Kenapa? Karena dalam kehidupan nyata, aku dalam proses hijrah. Dalam kehidupan pribadi aku sudah memilih meninggalkan pacaran. Dan kini, aku harus kembali mencari diri, wajah, atau ciri khasku sebagai seorang penulis.

Kegalauan itu memuncak. Karena sudah hampir sebulan aku seolah tak bisa menulis. Setiap aku menulis pasti terhenti di tengah jalan dan berakhir terabaikan. Sebenarnya aku mau dikenal sebagai penulis apa? Lagi-lagi pertanyaan itu muncul. Sebenarnya, Alhamdulillah setahun ke belakang aku dipercaya untuk menulis feature tentang travelling. Aku belajar hal baru disini. Bukan hanya jenis tulisanku yang 'berbelok' dari fiksi (sastra) ke feature - soft news (jurnalistik). Namun lebih dari itu. Aku belajar banyak hal, bertemu banyak hal, dan mendapatkan banyak hal dari sana. Sejujurnya aku suka keduanya. Lagipula, latar belakang pendidikanku memang ahli madya komunikasi, aku belajar jurnalistik dan masih menyimpan impian untuk bekerja di ranah ini.

Sebelum aku terpilih menjadi salah satu kontributor untuk menulis tentang travelling, aku sempat ragu. Apa aku bisa? Dan kenyataannya aku bisa meski pada awalnya kesulitan karena tak biasa. Aku merasakan bahwa merubah kebiasaan menulis dari sastra menuju jurnalisme itu tidak mudah, setidaknya untukku. Jujur saja saat aku telah terbiasa menulis feature (by fact - real - bukan imajinasi) dan aku ingin kembali menulis fiksi, aku kesulitan. Aku kesulitan karena sudah lama tidak mempertajam daya khayalku, karena kemarin aku menulis apa yang benar terjadi - ada. Namun  meski menyukai tulisan jurnalisme, cintaku tetap pada fiksi. Karena aku telah memilih fiksi jauh sebelumnya. Kalau pun aku menulis genre lain selain fiksi, itu hanya bentuk belajar dan aktualisasi diri bahwa sebenarnya aku bisa 'memperluas kenyamananku'.

Dan, kembali ke persoalan; aku ingin dikenal sebagai penulis apa? Kalau kata temenku untuk menemukan ciri khas ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah ....... mendefiniskan diri sendiri. Saidah itu siapa? Lalu hal selanjutnya adalah kegelisahan. Sebab, kegelisahan-lah yang mengantarkan penulis menemukan premis untuk mengembangkannya jadi cerita. Dalam fiksi, daya khayal - imajinasi - bermain setelah kita menemukan kegelisahan. Kenapa kegelisahan? Kegelisahan itu adalah bentuk lain dari kejujuran. Bukankah penulis yang baik adalah penulis yang jujur. Seperti halnya saat ini; aku gelisah tentang ciri khas ku sebagai seorang penulis maka jadilah tulisan ini.

Sebagai seorang penulis, kita pun harus menjadi seorang pembaca dan terkadang tanpa sadar kita seringkali 'mengadaptasi' gaya tulisan dari seseorang yang bukunya kita baca. Hal itu wajar, karena kita masih dalam proses mencari diri, wajah, atau ciri khas kita. Suatu hari kita pasti menemukan ciri khas kita. Ciri khas yang memang mewakili diri kita. Ciri khas yang membuat pembaca sudah mengenali kita hanya dari tulisan kita. Suatu hari, aku ingin mendengar pembaca mengatakan

'Gue tau ini karyanya Saidah kan? Coba sini gue liat penulisnya, tuhkan bener Saidah.'
Dan saat itu terjadi artinya aku telah berhasil menemukan ciri khasku. Yuk kita sama-sama menemukan, semangaaaaat!!!



Saidah

Oh Allah, Aku Ingin Hijrah Karena-Mu

on
10/22/2015
Don't be afraid of change. You might lose something good, but you'll gain something better. - unknown.
Kadang kita tahu kita harus berubah. Tetapi kita memilih diam karena terlalu takut kehilangan atau takut menyesuaikan diri dengan hal baru. Namun, hidup memang pilihan dan pilihan selalu bersama dengan resiko.
Beberapa bulan yang lalu, aku sempat menulis tentang 'Hijrahmu sudah sampai mana?'. Disana aku bercerita tentang muslimah yang menginspirasiku untuk bergerak ke arah lebih baik. Jika mereka saja bisa memilih pilihan yang benar dengan resiko yang mungkin jauh lebih besar, kenapa aku tidak bisa?

Berhari-hari aku berpikir tentang hijrahku. Sempat merasa sudah cukup dengan apa yang telah aku lakukan. Dalam pikirku saat itu, dengan berhijab saja aku sudah merasa baik. Setidaknya aku sudah melaksanakan satu kewajiban yang Allah perintahkan untuk muslimah. Meski hijabku sebenarnya masih jauh dari syar'i, sangaat jauh. Aku masih memakai celana jeans yang membentuk kaki, kerudungku kadang masih belum menutupi dada, dan aku tidak memakai kaus kaki. Saat itu aku merasa itu sudah cukup. Tetapi ternyata aku salah. Aku memang melaksanakan perintah Allah tetapi aku masih mengabaikan aturan-Nya. Tak ku sadari selama ini aku telah angkuh.

Sempat terpikir tentang penilaian manusia, terlebih tentang bagaimana reaksi teman-temanku nanti ketika melihatku bergamis dan berhijab panjang? Tak ku pungkiri, ada kekhawatiran takut ditinggalkan. Ada kekhawatiran takut mereka menganggap aku bukan lagi teman yang asyik diajak main atau sekedar bertukar cerita. Dan lagi lagi aku keliru. Seharusnya takutku berganti objek. Jika aku bisa merasa takut dijauhkan teman, mengapa tak terbesit rasa takut ditinggalkan Allah? Pun jika memang akhirnya temanku akan menjaga jarak denganku, aku jauh lebih sanggup menghadapinya. Daripada Allah yang menjaga jarak dariku karena aku tak jua mematuhi perintah-Nya.

Dan malam itu aku memutuskan untuk memulai hidup baru. Gerimis gerimis di mataku mulai menderas. Beberapa ingatan silih berganti menghampiri sekotak memori di kepalaku. Ada perasaan bersalah di hatiku, mengapa tak dari dulu memutuskan untuk memakai gamis dan jilbab panjang menutupi dada. Padahal sudah sedari dulu Papa menasehati perihal pakaian bagi muslimah. Sudah sedari dulu Papaku memintaku meninggalkan jeans-jeans ketatku. Sudah sedari dulu Papaku memintaku untuk memakai baju terusan panjang (gamis). Sudah sedari dulu Papaku memintaku untuk mengenakan jilbab bukan hanya saat sekolah. Sudah sedari dulu. Sedari aku duduk di bangku SMP, terlebih setelah aku telah akhil baligh Papa semakin gencar menasehati.

Sekejap, tiba-tiba rasa rindu hadir. Rindu kepada sekolahku. Rindu diajarkan guru-guruku tentang agama. Rindu hafalan Al-Quran. Rindu sholat berjamaah. Rindu membaca Al-Quran sebelum memulai pelajaran. Rindu mentoring seusai sekolah. Aku rindu semuanya tentang sekolahku. Aku rindu! Ternyata, hidayah Allah itu dekat. Hidayah Allah ada di sekelilingku. Bertahun-tahun Allah mendekatkanku dengan jalan hijrah, tetapi aku tetap bergeming. Bertahun-tahun Allah menungguku menyadari semuanya. Menyadari bahwa hidayah yang katanya ku tunggu sebenarnya telah ada di depan mataku, menanti aku membuka mata dan hati untuk menerima kedatangannya. Bertahun-tahun Allah menungguku dengan sabar. Ilmu telah IA berikan melalui perantara orang tua dan guru, tetapi aku masih saja diam seolah tidak tahu sedikit pun tentang taat pada-Nya. Astagfirullah.

Hidup baruku dimulai. Baru saja dimulai. Seluruh kaos, jeans, dan pakaianku yang dulu tak lagi terlihat di lemari. Semuanya berganti gamis dan kerudung panjang. Di hari pertama aku mengenakan pakaian syar'i, Mamaku sempat heran dan menganggap aku memakainya hanya saat Ramadhan. Keluargaku pun berpikir demikian. Namun, lambat laun mereka mulai yakin pilihanku ini tak sepintas lalu. Meski tak terucap, raut wajah orang tuaku menunjukan rasa bahagia. Mungkin dalam lubuk hati, mereka merasa lega karena ternyata apa yang seringkali mereka sampaikan tidak sia-sia. Nasihat itu kadang memang terdengar menyebalkan, tetapi ia menyelamatkan.

Teman, tolong jangan keliru. Berhijab bukan sebuah akhir yang menyempurnakan. Tetapi awal dari sebuah perubahan. Dari berhijab, inshaAllah kamu akan mampu melihat sesuatu dengan lebih baik dan selalu berkeinginan untuk menjadi lebih baik. InshaAllah. Jadi jangan tunggu hatinya dulu ya. Mengutip perkataan Ust. Salim A Fillah dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang bahwa hukum wajibnya jilbab adalah adanya ayat Allah QS. Al Ahzaab ayat 59. Sedangkan hikmahnya, di antaranya yaitu lebih mudah dikenali sehingga tidak diganggu. Sekalipun hikmahnya hilang, hukum tetap ada.

Yuk, kita coba buka mata dan hati kita agar bisa lebih peka pada hidayah Allah. Bisa jadi, hidayah Allah telah datang kepada kita tetapi kita yang abai.

Mungkin aku harus menoleh pada proses hijrah seseorang dulu sebelum berkaca pada diri sendiri. Wallahualam. Yang aku yakini, rencana dan takdir Allah pasti baik. Mari semangat berhijrah, berbenah diri menjadi lebih baik. Berhijrah karena Allah. Bismillah ...

Tuhan, ku percaya engkau pasti telah merencanakan yang terbaik untuk diriku. Agar ku tak jatuh dan selalu ada di jalan-Mu... - BCL


Saidah

Kenapa kamu menawariku untuk singgah?

on
9/19/2015

Kenapa kamu menawariku untuk singgah, sementara aku ingin menetap selamanya?

Belum usaikah pencarianmu?
Belum berujungkah perjalananmu?
Belum enggankah kamu untuk hanya bersandar pada satu pintu? Berlayar dengan satu perahu? Dan pulang menuju satu rumah?

Kamu bilang aku terlalu terburu-buru. Selamanya tak bisa diputuskan sejenak itu. Kamu butuh persiapan.
Bukan, menurutku kamu butuh keyakinan. Apakah benar kamu telah tertawan pada hatiku? Atau hanya sejenak ingin bermain dengan perasaan dan mengajakku mengarungi ketidakpastian?
Aku yakin kamu laki-laki baik. Jika tidak, ku yakin Tuhan tidak akan menjatuhcintakan aku padamu. Namun caramu mencintai yang keliru. Lisanmu cukup apik mengeja kata cinta, namun hatimu belum sempurna memaknainya.
Sekalipun aku amat menggilaimu. Aku tidak ingin menyematkan seluruh perasaanku padamu. Hingga kamu tahu bagaimana mencintai dengan benar. Yaitu, ketika spasi antara aku dan kamu adalah Dia.


Kamu tidak akan mencapaiku, jika tidak melibatkan-Nya.


Saidah 

Cinta-Nya yang Lebih Aku Damba

on
8/25/2015
Setiap manusia punya pilihan dalam hidup, pun ketika mencintai.
Dan ini pilihanku, hargailah.
Mungkin sulit bagimu untuk terima, tidak ada apa-apa lagi di antara kita.

Aku telah memilih untuk sudahi semua. Cukup. Aku dan kamu, tidak lagi menjadi kita. Dan tidak akan ada lagi kita.
Dan ku mohon jangan kamu ungkit lagi tentang sesuatu yang pernah indah sebelumnya.
Aku telah memilih. 
Untuk menempuh jalan baru. Jalan yang berbeda dari jalanku sebelumnya. Jalan yang lebih lurus, jalan menuju-Nya.

Aku memilih meninggalkan semua apa yang pernah ku punya, apa yang pernah ku bangga, apa yang pernah ada di hidupku. Salah satunya; kamu.
Sebab aku ingin mencintai dengan cara yang diridhoi-Nya. 
Yang mendekatkanku kepada-Nya.
Karena cinta-Nya kini yang lebih aku damba.




Saidah

Aku, BAHAGIA.

on
8/19/2015
Manusia mana yang tak punya cela?
Namun meski begitu kita tak patut terus mengutuki noda
Dalam diri manusia pun tersimpan satu kilau berlian, yang kan terpancar jika kita mau tuk mencintai diri tanpa beban.


"Kamu cantik! Cantik dari hatimu," dengan riangnya girl band ini meyakinkan bahwa kita tak usah lemah karena kekurangan. Melainkan tetap tertawa renyah karena kita punya kekuatan.

Yang membuat kita remeh, bukan karena kita tidak mampu. Tapi karena kita belum mau mencoba tetapi sudah ingin kalah. Dan sebaik-baik paham adalah muhasabah. Aku tetap bisa bersinar meski tak sempurna.
Tanpa malu dan ragu-ragu akan ku tunjukan pada dunia bahwa aku mencintai apa yang ku punya, keluarga. 
Betapa mereka sebuah rahma mahal yang Allah swt dampingkan untukku tanpa ku memintanya.

Aku mencintai segala yang ada dalam diri, meski compang camping tak menarik hati. Kesyukuran adalah tanda cinta yang selalu ku terima dengan suka cita. Aku belajar dari semuanya. Aku belajar untuk menerima, bukankah takdir Tuhan pasti baik?

Tapak jalanku kadang kotor dan tak berarah,  namun dari sana aku mengerti mana yang harus ku benahi, mana yang harus ku lewati. Sebab hidup memang tak mudah, terkadang penuh dilema. Baik dan benar seringkali bertikai untuk dimenangkan. Dan pada akhirnya, kebenaran kan selalu jadi panutan.

Apapun rasa hidupku, aku tak pernah lupa untuk bahagia. Sebab, itu namaku. Saidah, BAHAGIA.


Saidah

Hijrahmu, Sudah Sampai Mana?

on
7/08/2015
Hijrahmu, sudah sampai mana??
Kenapa? Kok tiba-tiba ngomongin hijrah?

Jadi gini, Sabtu kemarin aku sempat nonton Catatan Harian Dewi Sandra eps. Shireen Sungkar. Terus besoknya, aku nonton satu jam lebih dekat dengan Oki Setiana Dewi. Dan kemudian aku terus terusan kepikiran tentang proses hijrah. Hijrahku sudah sampai mana?

Ketiga selebriti muda itu luar biasa banget! Dari sharing kemarin, aku melihat proses hijrah mereka yang gak mudah tapi berbekal keyakinan semuanya untuk Allah, mereka ada di titik saat ini. Mahsya Allah.
Setiap orang punya awal cerita hijrah yang berbeda. Seperti kak Oki Setiana Dewi yang berubah karena permintaan orang tuanya. Dalam talkshow SJLD, kak Oki cerita saat usia belia ibundanya sakit keras. Kak Oki ingin melakukan sesuatu yang bisa menolong ibunya, lalu ia bertanya "Apa yang bisa Oki lakukan untuk ibu?" dan ibunya menjawab "Ibu gak minta apa-apa. Hanya minta Oki jadi anak yang salehah". Dan dari sana kak Oki memutuskan berhijab. Karena di matanya, sudah pasti anak shaleh itu yang taat pada perintah agama, mengenakan jilbab salah satunya.

Berbeda dengan kak Oki, Shireen memutuskan berhijab dari suatu percakapan antara ia dan suaminya. Sebagai seorang imam rumah tangga, Teuku Wisnu menuntun sang istri untuk sama-sama menuju Allah. Pada awalnya Shireen beranggapan memakai hijab atau tidak sama saja, lagipula urusan itu menjadi urusan amalnya dengan Allah swt. Tetapi kalimat lembut Wisnu membuat Shireen merenung. Wisnu bilang kalau ia sangat sayang sama Shireen, ia ingin berkumpul lagi di Jannah-Nya. Wisnu gak mau wanita yang dia sayang tidak masuk surga karena tidak berhijab. Sambil berkaca-kaca Shireen bilang "Wisnu gak cuma mikirin dirinya sendiri, dia juga mikirin istrinya, keluarganya".

Kedua cerita itu membuat aku tertohok sekaligus iri. Lalu pertanyaan itu muncul terus menerus; hijrahku sudah sampai mana?

Ketika kita memutuskan berhijab, kita telah berhijrah dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Tapi proses hijrah tidak berhenti sampai disitu. Proses hijrah kita masih sangat panjang. Sangat panjang. Karena setahuku, sampai mati kita gak akan pernah mencapai sempurna. Sempurna cuma punya Allah. Kita cuma bisa terus menerus memperbaiki diri. Yang ada saat kita telah merasa perubahan kita sudah sempurna, sesungguhnya justru kita masih berada di tahap paling bawah.

Sering kali aku lalai. Sering kali aku merasa sudah lebih baik dari teman-temanku. Hanya karena aku merasa aku lebih banyak tahu tentang agama dibanding mereka. Aku diam. Diam di tempat. Aku tidak terpacu untuk belajar lebih. Aku merasa cukup. Astagfirullah. Tapi aku sadar, aku salah. Bisa jadi aku justu tidak lebih baik dari mereka. Ilmu yang aku tahu pun tidak seberapa. Masih banyak hal yang belum aku tahu, masih banyak hal yang masih belum aku mengerti.

Aku tertipu. Pandanganku terhalangi. Rasa cukup itu membuatku menjadi manusia yang tidak lebih baik. Rasa cukup itu membuatku mati. Aku lebih sering melakukan 'pembenaran', daripada mencari kebenaran. Aku lebih sering berdalih, daripada belajar dalil-dalil agama. Aku lebih sering beralasan daripada melakukan. Aku bodoh. Karena telah membiarkan diriku diam tanpa kemajuan. Aku membiarkan diriku tumpul.
Lalu mau sampai kapan? Aku membiarkan diriku tertutup tirai. Mau sampai kapan?

Perjalananku menuju Allah masih sangat jauh. Dalam hal sesederhana berhijab saja aku masih peduli pandangan manusia. Hijabku masih belum sesuai  syar'i (syariat islam). Aku masih takut komentar manusia. Aku masih haus pujian manusia. Dan aku masih peduli penilaian manusia dalam setiap amalanku.  Disadari maupun tidak disadari. Astagfirullah.

Ternyata, hijrahku masih di permukaaan. Mari kita saling doakan agar senantiasa bergerak ke arah lebih baik, menuju Allah. Pasti tidak mudah, oleh karenanya semoga Allah istiqomahkan kita.
Hijrahmu sudah sampai mana?

Ku sadari bahwa selama ini aku telah tertipu.
Tak terhitung, sudah berapa banyak alasan yang selalu menghalangi dan aku kembali terdiam. Diam di tempat.
Aku tau seharusnya sudah sedari dulu aku melangkah maju.
Bukan berdiri menunggu.
Ya Rabbi, tuntun aku, jangan biarkan aku berbalik mundur.
Ya Rabbi, bantu aku memperbaiki diri yang penuh compang camping ini. 




Saidah

Mantan

on
6/24/2015
Perkara mantan yang tak pernah usai
Perkara cinta yang masih belum selesai

Tentang kata 'harus' yang selalu kamu sisipkan di antara kata melupakan.
Tentang kata 'harus' yang selalu kamu jadikan alasan untuk menepis perasaan.
Tentang kata 'harus' yang hanya sekedar hiasan namun tak pernah tulus kamu lakukan.

Hingga akhirnya kau temukan kata 'baru' untuk menggantikan 'yang telah lalu'.
Cinta yang baru, kenyamanan yang baru, bersama dengan sang kekasih baru.
Terus berulang seperti itu. Cerita cinta yang rumit. Bukan hanya antara aku dan kamu. Tetapi juga tentang masa lalu yang terkadang tak bisa terlewatkan secepat itu. Atau tentang masa lalu yang masih menyimpan setitik harap padamu. Tentang masa lalu yang menyisakan tangis dan senyuman semu. Ini bukan tentang melewatkan  ruang dan waktu, tetapi tentang menghapus sebentuk hati, mengenyahkan sealbum kenangan, melupakan sejumput angan.
Karena, manusia mana yang rela menjadi yang kesekian dalam sepetak ruang bernama hati?
Saat lagi-lagi kamu harus menyadari bahwa sebelum kamu, pernah ada nama seseorang yang teramat lekat di ruang itu. Bahwa sebelum kamu, pernah ada yang mampu membuat hati harinya bahagia. Bahwa sebelum kamu, pernah ada satu nama yang ia cintai dan perjuangkan teramat sangat. Dan kenyataan lain yang harus kamu terima bahwa kamu bukan orang pertama dan masih tak pasti untuk menjadi yang terakhir.
Lalu suatu hari, kamu pun akan menjadi yang 'pernah' bukan yang berhasil selamanya. Suatu hari kamu pun akan menjadi silam bukan yang ia cintai teramat dalam.
Sampai kapan? Tak lelahkah terus singgah dan pergi? Tak lelahkah mengontrak dari satu hati ke hati yang lain? Tak inginkah kamu pulang pada sepetak hati yang kau sebut rumah? Tak inginkah kamu menjaga hatimu untuk dia yang kamu ingin pasti menjadi terakhirmu?
Lalu akhirnya kamu kembali menyadari bahwa tugasmu tak hanya sekedar mencintainya tetapi berdamai dengan kisah dahulunya.



Saidah

Berikan Aku Sebuah Buku

on
6/19/2015
Masih ku ingat betul permintaan Mala saat aku menyatakan cinta padanya tujuh bulan yang lalu. Di pinggir jembatan penghubung desa kami, aku menemuinya yang sedang berjalan pulang sehabis menimba ilmu di surau kecil satu-satunya yang ada di desa. Beberapa temannya tersenyum paham saat aku meminta izin untuk bicara empat mata dengan Mala. Sambil terus berlalu, mata dua sahabatnya itu tak lepas memandangi kami yang berdiri diam belum juga memulai bicara. Di depanku, Mala masih menunggu. Tatapan matanya membuatku tak kuasa ingin memilikinya, tatapan matanya persis seperti ibuku. Penuh kehangatan dan pengertian, tatapan mata yang membuatku memastikan diri bahwa benar aku sungguh sangat menyukai kembang desa ini.

"Kang Abdul, katanya mau bicara?" Nada bicaranya yang lembut dengan sesimpul senyuman manis membuat detak jatungku semakin berdebar kuat.

"Hmmmm."

"Ada apa?"

"Saya gak tahu harus bagaimana menyampaikannya. Saya seorang guru yang biasa berbicara di depan puluhan murid. Tapi bicara di depan kamu, saya kesulitan."

"Kenapa begitu?"

"Mala, tahun ini usia saya 28 tahun. Ibu saya ingin sekali melihat saya berkeluarga, tetapi dekat dengan gadis saja pun saya tak berani. Saya takut ditolak. Begitupun saat ini. Saya menyukai kamu, Mala. Jika kamu juga menyukai saya, maukah kamu berhubungan dekat dengan saya?"

Mala terdiam, aku pun demikian. Bahkan menatap matanya yang teduh saja aku tak berani. Aku terlalu takut membaca penolakan dari sinar matanya yang selama ini ku kagumi. Biarlah sinar mata itu menjadi kekasihku, jika sang pemiliknya tak kuasa memberikan hatinya untuk ku cintai.

"Mala gak tahu harus jawab apa. Kalau kang Abdul memang berniat mengenal Mala lebih dekat, silahkan akang main ke rumah. Berkenalanlah dengan kedua orang tua Mala, mereka sangat tahu Mala seperti apa."

Aku tersenyum kaku. Isyarat itu sulit ku terjemahkan manis, aku malah bepikir sinis. Aku hanya butuh jawaban ya atau tidak untuk melangkah ke arah selanjutnya. Bukan tergantung tak pasti.

"Saya serius sama kamu Mala. Saya gak ingin main-main. Saya sungguh-sungguh menyukai kamu. Saya ingin membina hubungan serius dengan kamu. Saya ingin menikah."

Mala tersenyum bersahaja, kerudung putihnya tersibak angin sore yang berhembus cukup kencang. Deras air sungai terasa tak sebanding dengan derasnya keringat dingin yang mengucur di sekujur tubuhku. Mala terdiam lebih lama dari sebelumnya, matanya memandangi langit seolah meminta wangsit untuk menjawab pinangan dari seorang pemuda yang bahkan belum lama ia kenal.

"Mala...."

Yang ku dapati lagi-lagi hanya seutas senyum. Mala belum menjawab sepatah kata pun, mungkin bibirnya kelu. Atau mungkin hatinya sedang berdebat hebat antara menerima pinanganku atau tidak, atau mungkin ia sedang menyusun kalimat untuk...menolakku.

"Kalau kamu ..." kalimatku terhenti, ku lihat bibir mungil itu hendak mengucap kalimat.

"Mala senang sekali ada laki-laki baik yang ingin menikah dengan Mala. Tapi Mala belum bisa jawab pertanyaan kang Abdul. Kang Abdul tetap harus berkenalan dekat dengan orang tua Mala agar ayah ibu Mala bisa menilai kebaikan kang Abdul bukan hanya dari cerita Mala. Jika kang Abdul benar serius, Mala cuma minta satu. Berikan Mala sebuah buku."

"Buku? Buku apa?"

"Mala yakin akang tahu buku apa yang Mala maksud."
Otakku berpikir keras. Mengapa Mala senang sekali menjawab dengan kalimat isyarat yang masih harus ku kulik lagi maknanya. Apa mungkin ia sedang menguji kesungguhanku, apakah aku cukup layak atau tidak menjadi suaminya.

"Baik kalau begitu. Saya akan segera ke rumahmu dan memberi buku itu untukmu."

"Terima kasih kang."

Kembali Mala melempar senyum manisnya padaku sembari berlalu. Sementara aku masih terpaku menatap pujaan hatiku yang berjalan menjauh. Kembang desa nan sholeha, anak seorang petani dan penjaga surau. Gadis pertama yang mampu membuatku kelimpungan meski hanya sekedar berpapasan dalam perjalanan. Permintaannya sederhana, hanya sebuah buku. Tapi ku yakin bukan buku biasa yang ia maksud.

Dan kini baru ku pahami sebuah buku yang ia maksud teramat sederhana. Namun aku keliru mengartikan isyaratnya. Aku terlalu rumit menilai Mala padahal ia teramat sederhana. Tatapannya masih sama, senantiasa meneduhkanku. Namun tak lagi boleh ku kagumi, apalagi ku cintai. Sudah ada seseorang yang lebih berhak menikmati tatap matanya. Namun seseorang itu bukan aku.

"Mala senang mengenal laki-laki sehebat kang Abdul. Selamat ya kang, akang sudah mencapai satu impian akang."

Kali ini aku benar-benar tak mampu bicara. Aku sibuk menutup luka yang tepat berada di depan mataku. Aku sibuk memastikan hatiku untuk tetap pada tempatnya, meski ku rasa separuhnya sudah rapuh dan siap jatuh.

"Terima kasih Mala, terima kasih sudah berkenan hadir. Saya harap kamu berkenan menerima ini. Buku ini permintaan kamu. Maaf saya keliru mengartikan buku yang kamu maksud." Mala menerima buku itu ragu-ragu.

Aku tak ingin menebak-nebak apa yang ia rasakan saat ini. Aku tak lagi berhak untuk itu, karena perasaannya jelas tak lagi bebas seperti dulu. Hatinya sudah tertaut. Atas nama seorang laki-laki yang sigap memberikan buku yang Mala pinta, buku nikah.

"Selamat juga atas pernikahan kalian. Saya turut bahagia," sambungku sembari meninggalkannya. Meninggalkan harapanku yang telah pupus. Maafkan aku Mala, untuk kalimat terakhir aku terpaksa berdusta.



Saidah



Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan nama tokoh dan kejadian.

Jadikanlah Dia

on
6/15/2015
Bukan tentang perseteruan.
Yang saling berseberangan dalam medan kalah menang.
Sungguh, aku ingin dia jatuh.
Tenggelam dalam satu peluh, merapal ikhlas namanya.
Tentang terik yang menghangatkan, tentang gelap yang melelapkan. Tentang hati yang ingin ku menangkan, mendekap luruh dalam cinta yang ku ingini.
Dia belum juga jatuh. 
Padahal cinta telah patuh.
Resahku tetap pada hati yang separuh.
Menyebut namanya dalam sederet doa yang ku ucap lembut sebelum subuh.
Tuhan, jadikanlah dia.
Satu nama yang lekat di jiwa hingga menua dan tutup usia.
Yang ku sebut cinta selamanya.




Saidah

Mau Dikatakan Apalagi?




Pi-sah.
Tak semudah memenggal kata. 
Saat tiada seakan ada.
Menerawang cerita tentang yang disana.
Jangan. Catatan ini masih terbuka.
Namamu masih terbaca.
Rinduku masih terasa.
Meski kamu sudah kita tak ingin ada apa-apa.

Mengelak saja terus.
Tentang 'andai' yang masih harus.
Jarak yang beratus-ratus.
Tak lantas membuat bayangmu tergerus.
Kau ucap ketus tentang cinta yang tak lagi lurus.
Sudahlah. Tak perlu ada kata apa-apa. Tentang kita yang melepas. Apalagi?




Saidah

Siapakah Takdirku?

on
5/30/2015
"Buat apalah susah, cari kesana kesini. Sudah di depan mata, kamulah takdirku."

Bagaimana rasanya menemukan takdir sesederhana itu?
Seketika hati tertaut pada dia. Dia yang entah manusia baru dalam hidup atau telah lama ada.
Ketika hati memilihnya untuk menjadi yang terakhir. Untuk menjadi takdir. Bagaimana rasanya?
Saya selalu membayangkan saat-saat itu. Saat dimana ada seorang laki-laki yang yakin memilih saya dan saya yakin menerima dia. YAKIN! Cukup satu kata, tak perlu panjang mendeskripsikannya.
Mungkin seperti itu pula keadaan hati ketika YAKIN mengisi di relungnya. Tak perlu banyak alasan mengapa bisa 'dia' yang kau pilih untuk menjadi jawaban. Sebab alasan itu memang tidak mampu dideskripsikan. Cukup hati yang mampu merasakan.
Sering kali saya bertanya pada mereka yang akan segera melangsungkan pernikahan.
'Bagaimana kamu bisa yakin bahwa dia takdir kamu?'
Kebanyakan dari mereka kesulitan untuk memaparkan puluhan ribu alasan yang mungkin hanya pendukung. Karena sesungguhnya 'hati' tanpa rekayasa telah menemukan.
'Selayaknya rejeki tidak akan tertukar, begitu pula tulang rusuk.'
Jika hati masih banyak pertimbangan terlebih dalam hal prinsip yang tak mampu digoyah atau mencari jalan tengah. Kembalilah melangkah. Bukan dia yang telah Tuhan takdirkan untukmu.
Karena takdir tidak serumit itu.
Jika kamu bilang 'ini namanya perjuangan'. Bacalah baik-baik kalimat saya.
 Perjuangan ada setelah hatimu telah yakin bahwa dia takdirmu.
Jika hati saja masih ragu, untuk apa kamu memilih maju?
Maka, saya hanya mampu menuliskan kalimat sederhan ini;
Siapapun kamu yang Tuhan izinkan menjadi takdir saya.
Disini saya menunggu.
Saya yang tidak sempurna.
Tapi saya ada untuk menjadi teman hidupmu yang paling setia.
Saya tidak mampu berkata apa-apa tentang diri saya, mungkin begitupun kamu.
Biar kita saling mengenal melalui doa-doa yang tak henti dipanjatkan.

'Tuhan ciptakan aku. Tuhan ciptakan kamu. Kita berdua diizinkan bersama selamanya'.



Saidah

Panggung Sandiwara

on
5/15/2015


Dunia ini penuh peranan. Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan. Mengapa kita bersandiwara?
Sepenggal lirik lagu ini mengingatkan saya sama hakikat hidup ini sesungguhnya. Bahwa kita adalah pemeran utama dalam hidup kita. Dan tentu saja Allah - lah sang penulis skenario dan sutradara. Kita berada dalam arahan-Nya. Sudah sepatutnya kita mengikuti alur cerita yang sudah dituliskan-Nya. Bukankah tugas kita hanya taat?

Bicara soal sandiwara atau seni peran, saya jadi ingat tentang cita-cita saya yang ingin jadi aktris. Ketertarikan saya sama dunia seni peran ini sebenarnya berawal dari kegilaan saya berkhayal. Saya suka banget berkhayal. Saya bisa menciptakan dunia saya sendiri. Dimana saya bebas jadi siapapun yang saya mau. Yang mungkin akan dianggap 'aneh' sama orang lain. Itulah yang bikin saya bercita-cita jadi aktris. Supaya saya gak dianggap aneh lagi ngomong sendirian. Sebab, sebenearnya yang saya butuh adalah 'panggung'.

Ada beberapa aktor dan aktris yang membuat saya terkagum-kagum dengan talenta mereka. Salah satunya adalah Alm. Didi Petet yang hari ini (Jumat, 15 Mei 2015) berpulang ke rahmatullah. Saya gak kenal beliau secara personal, saya juga bukan fans fanatik beliau, tapi saya orang yang sangat terinspirasi oleh beliau melalui karyanya.

Sejujurnya, saya tidak selalu mengikuti perkembangan tentang beliau. Tentang film apa saja yang beliau bintangi dan lain-lainnya. Namun karya terakhir beliau yang saya tidak pernah absen menonton bahkan sangat menunggu sesion selanjutnya-lah yang membuat saya benar-benar merasa kehilangan sosok Om Didi. Perannya sebagai Kang Bahar, sosok yang disegani oleh warga Bandung. Mulai dari rakyat kecil sampai walikota Bandung. Kang Bahar yang sangat tegas dan to the point. Yang apapun perintahnya pasti dilaksanakan oleh anak buahnya. Sosok yang kurang taat beragama, namun kecintaannya terhadap sang istri kadang tetap membuat iri para wanita.

Alm. Om Didi begitu menjiwai perannya di sinetron Preman Pensiun. Yang terkadang membuat saya benar-benar lupa bahwa yang saya tonton hanyalah fiktif belaka, bukan kehidupan sebenarnya dari seorang Om Didi Petet. Om Didi sangat apik mengemas sinetron komedi ini tidak hanya sekedar membuat penonton tertawa, tetapi juga membuat penonton termenung karena sarat makna.

Saya mungkin terlambat karena belum pernah sekalipun bertemu dengan beliau yang begitu menginspirasi saya untuk segera berkarya nyata. Keinginan untuk tatap muka dan belajar banyak dari beliau telah ada dari dulu namun belum terlaksana hingga akhirnya beliau pergi meninggalkan dunia.

Saya hanya bisa berdoa untuk Om Didi. Saya yakin sekali Om Didi adalah orang yang baik. Semoga segala amal ibadah Om diterima Allah swt.

Tulisan ini hanya untuk memberikan apresiasi saya untuk seseorang yang memberikan saya inspirasi. Meskipun Om Didi telah pulang ke haribaan Sang Pencipta, namun karya-karya Om Didi tetap tinggal di hati kami.

Om Didi bukan hanya aktor terbaik yang dimiliki Indonesia, namun juga aktor terbaik yang sangat disayangi Sang Sutradara, Allah swt.
"Akting itu bukan hanya penopang hidup. Namun juga sekolah kehidupan" - Didi Petet

I'll be miss you, Om Didi Petet. Terima kasih telah menginspirasi. Semoga yang muda mampu meneruskan perjuanganmu berprestasi. Semoga saya mampu.

Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah terbaca.



Saidah

Lifestyle Journalism; Jelajahi Gaya Hidup!

on
5/13/2015
Selamat malam.

Seperti janji kemarin, saya mau sharing tentang #JournalistDays2015. FYI aja, #JournalistDays merupakan acara yang diadakan oleh Badan Otonomica Universitas Indonesia. Rangkaian acaranya dimulai hari Senin tanggal 27 April 2015 sampai hari Kamis 30 April 2015. Nah, saya milih untuk ikutan sesi seminar & talkshow di hari terakhir.


I'm very enthusiastic!
Because being a journalist is one of my dreams.


Sekilas cerita.

Alhamdulillah, saya kuliah di jurusan yang memang saya sukai; ilmu komunikasi. Meski masih sebatas D3 tapi saya bisa banyak belajar semua hal tentang ilmu komunikasi. Mulai dari photography, broadcasting, jurnalism, advertising, public relation, marketing communication, publishing, dan film production. Semuanya sangaat menyenangkan. Tapi di antara semuanya tentu saja ada satu mata kuliah yang jadi favorit. Disini saya mau cerita tentang jurnalistik.

Pertama kali jatuh cinta sama jurnalistik berawal dari praktikum mata kuliah ini beberapa tahun yang lalu. Saya ngerasain gimana bahagianya bisa jadi orang yang tau berita lebih dulu dan kita ada disana sebagai penyampai berita. Tapi sayangnya, saya gak terlalu suka politik dan materi serumpun yang 'rumit' menurut saya. Dan demi karir jurnalis yang pengin banget saya raih ( waktu itu saya masih kuliah), saya berusaha untuk sarapan politik dan materi-materi rumit lainnya tiap hari. Meski sebenernya di detik itu juga rasanya saya pengin langsung cabut dari depan tivi, huft.

Hingga akhirnya wawasan saya terbuka tentang profesi seorang jurnalis. Entah mengapa selama ini pikiran saya tentang jurnalis selalu mengarah kepada materi pemberitaan yang 'rumit dan serius' (seperti politik, ekonomi, hukum dan ham, dan lain-lain) padahal sebenarnya point penting dalam jurnalisme adalah public interest dan importance. Sesuatu yang menarik perhatian masyarakat dan dianggap penting.
Ini dia sedikit cuplikan tentang #JournalistDays yang saya rangkum….

Di #JournalistDays, saya kembali diingatkan pada masa-masa kuliah saat Ibu Endah Trihastuti (dosen Ilmu Komunikasi UI) memaparkan presentasi tentang definisi jurnalisme. Sebagai seorang akademisi, tentu saja materi yang beliau sampaikan terkait tentang teori-teori jurnalistik. Bahwa, jurnalisme ini memiliki dua sisi yang kita kenal sebagai hard news dan soft news. Kemudian muncullah istilah lifestyle journalism (yang merupakan bagian dari soft news) yang berasaskan public interest yang terbentuk karena pasar dan peluang.

Meski berkaitan dengan apa yang diminati publik (public interest) Jurnalisme tetap memiliki batasan. Batasan inilah yang menentukan perlu tidaknya sesuatu berita diangkat. Ada 4 batasan jurnalisme, yaitu advice, a review function, commercialisation, a culture mediators.

Berbeda dengan Bu Endah, Bu Petty S Fatimah sebagai seorang praktisi (Pemred Majalah Femina) yang sudah belasan tahun berkecimpung dalam jurnalisme gaya hidup memaparkan bahwa "lifestyle journalism is a news you can be use".

Kenapa? Yaa karena hal yang disampaikan dalam jurnalisme gaya hidup bisa diterapkan dalam kehidupan. Misalnya seputar fashion, kuliner, dan travelling. Point of interest-nya adalah the way a person lives and culture. Bagaimana cara kita bisa menikmati hidup lebih baik.

Selanjutnya, Pak Dede Apriyadi ( Pemred Net TV) mengatakan bahwa gaya hidup adalah peluang. Lebih lanjut lagi Pak Dede menambahkan bahwa jurnalisme gaya hidup adalah idealisme, komoditi, memiliki makna dan bertanggung jawab.

Kemudian beliau memaparkan bahwa televisi tempatnya bernaung memiliki hal-hal yang ia sebutkan; idealisme, komiditi, makna, tanggung jawab. Karena sebuah karya memanglah harus memiliki keempat hal tersebut.

Sesi seminar hari itu ditutup oleh presentasi dari Pak Hagi Hagoromo, beliau merupakan Chief Editor Linikini. Tak banyak hal yang disampaikan oleh Pak Hagi, karena pembicara sebelumnya sudah memaparkan banyak hal tentang jurnalisme gaya hidup. Pak Hagi hanya menambahkan bahwa jurnalisme gaya hidup akan tetap ada dan selalu berkembang sepanjang manusia hidup. Karena sepanjang manusia hidup, sepanjang itu pula banyak bahan yang bisa diangkat untuk pembelajaran. Titik perhatiannya adalah APA dan SIAPA?
-end

Huaaaa,rasanya saya bahagia banget ya bisa dapat asupan baru dan cerita baru tentang satu hal yang kamu suka. Rasanya kaya nambah trik jitu buat naklukin gebetan. Hehe :p 

Ternyata banyak hal yang baru saya sadari tentang jurnalisme, padahal sebelumnya saya sudah belajar di bangku kuliah. Ini artinya saya masih butuh banyak belajar, banyak baca, dan banyak nulis biar gak lupa. Jadi semangaat buat belajar lagi. Buat terus buka mata tentang perkembangan dunia, buat terus buka telinga untuk mendengarkan ilmu-ilmu bermanfaat, yang pasti buat terus ngerasa 'bodoh' supaya terus ngerasa butuh ilmu.


Sekian cerita saya tentang seminar #JournalistDays2015. Semoga bisa nambah pengetahuan kamu juga yaaaa. Maaf banget ya lamaaa, tapi akhirnya saya lega karena udah menyelesaikan tulisan ini. Yuk kita terus belajar dan berkarya. Makasih untuk yang udah baca, ditunggu tanda cintanya.



Saidah

Untuk yang Terakhir Kali

on
5/12/2015
Katamu, cinta itu tak bisa dideksripsikan. Hanya terasa di dada. Ada desir angin yang tiba-tiba menyapa saat matamu dan mataku bertemu tanpa aba-aba. Atau saat aku tersenyum lugu, meski bukan untukmu, kamu merasa itu istimewa.
Hal sesederhana itu rasanya bagai surga. Kita tersipu dan merasa bahagia pada satu lakon ragu. Perasaan yang masih belum jelas bagaimana, namun sudah berani simpulkan cinta. Bahkan berapi-api kamu menebar rayu-rayu hiperbola. Katamu, gunung kan didaki, laut kan diselami, bahkan benua pun dijelajahi. Namun aku hanya meminta hal sederhana.
Jelas kamu tahu, arah harap yang ku tuju. Kamu pura-pura lugu, kemudian berkelit ini itu. Kamu bilang pintaku terlalu dini. Kamu salah, aku hanya tidak ingin meladeni pembual kata-kata.
Jika kamu tak mampu, mungkin bukan aku akhir tujuanmu. Jika kamu belum siap, jangan obral janji curi-curi perhatian.

Aku hanya menanti yang berani bertanggung jawab. Yang berani jatuh cinta untuk yang terakhir kali. Denganku. - @saidahumaira

Berani mencintai, berani memutuskan untuk bersama dalam taat pada-Nya.



Saidah

Menulis; Apa Saja.

on
4/29/2015

Pernah resah akan memulai menulis dengan kalimat apa?

Aku? Sering. Alih-alih mau mencipta kalimat pembuka yang indah, yang terjadi adalah memulainya dengan tanya. Tapi, dari sana semuanya mengalir. Apa yang sudah terangkai dalam pikiran, direfleksikan oleh jemari tangan hingga menjadi sebuah tulisan yang kamu baca sekarang.

"Menulis itu harus jujur."

Itulah kenapa, sering kali pembaca terhanyut dalam kalimat-kalimat yang disuguhkan penulis. Itu kejujuran yang sedang diungkapkan oleh seorang penulis dalam karyanya.

Ada yang ku salutkan dari seorang penulis fiksi yang mungkin lebih tepat disebut pengarang. Ia mampu memanipulasi rasa, namun lebih sering menumpahkan kejujurannya dalam bingkai cerita yang berbeda. Apik sekali.

"Kamu lebih suka menulis apa Saidah? Fiksi atau non fiksi?"

Sebenarnya setiap orang yang cinta menulis, mampu untuk menulis keduanya. Fiksi dan non-fiksi. Tapi, setiap orang punya kesukaan yang berbeda. Kalau aku lebih suka nulis fiksi.

Kenapa? Alasannya sederhana. Aku suka banget berkhayal. Hal wajib yang sering aku lakukan menjelang tidur. Hahaha

Dalam karya fiksi, kita bisa menjelma jadi siapapun yang kita mau. Siapapun! Like an actor.
Kita bisa membentuk tokoh yang ada dalam imajinasi kita. Terkadang kita bisa hidup dalam cerita dan menempatkan diri seolah tokoh yang kita cipta.
Itu menyenangkan!

Membuat cerita fiksi, terlebih membangun karakter tokoh serta suasana dalam cerita membutuhkan konsistensi. Terlebih membuat sebuah novel. Jangan sampai membuat pembaca kebosanan atau membuat pembaca membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna apa yang ingin kita sampaikan. Dan aku masih terus belajar soal ini.

Tapi, akhir-akhir ini. Aku lagi kesulitan membuat cerita fiksi. Masih ingat pepatah yang mengatakan 'ala bisa karena biasa'. Itu sangat benar loh!

Beberapa bulan ini, aku sedang belajar menulis feature; catatan perjalanan tentang travelling dan kuliner. Kamu bisa baca artikel-artikelku disini.

Semua yang ditulis bukan fiktif, melainkan fakta. Awal menulis feature tentang travelling, aku sempat kesulitan. This is first time, aku menulis tentang travelling. Apalagi teman-temanku yang juga contributor di hellobogor.com adalah the real travel blogger. Aku? Memulai semuanya dari gak tahu harus mulai nulis darimana.

"Ah, cuma tinggal nulis tentang apa yang udah dialamin kok. Gampang!"

Sesungguhnya aku pernah berpikir demikian. Tapi nyatanya gak segampang itu, meski tidak terlalu sulit juga. Sebelum nulis tentang travelling, aku ikut kelas blogger tentang travel blogging dulu. Alhamdulillah dapat bekal sebelum memulai perjalanan. Sambil terus learning by doing.

Pointnya adalah ……

Gimana caranya menulis catatan perjalanan yang lugas dan informatif? Gimana caranya kita bisa misahin yang mana curhat colongan dan yang mana bercerita untuk kepentingan pembaca?

Beda banget kan sama tulisan fiksi? Tulisan feature menganut asas 5W+1H yang ada dalam tulisan jurnalistik. Ya iya jelas, feature kan termasuk jenis tulisan jurnalistik. Alhamdulillah, materi selama kuliah sangaaaat berguna.

Meskipun sedih karena lagi kesulitan membangun imajinasi. Tapi aku senang banget karena dipercaya dan diberi kesempatan menulis hal lain. Jadi, walaupun aku udah lama gak nulis fiksi; cerita pendek. Aku tetap menulis. Menulis apa saja. Aku gak kehilangan hal yang aku suka. Aku tetap menikmati. Karena ini adalah proses belajar yang menyenangkan. Kita memang harus menjadi seorang expert dalam satu bidang, bukan berarti kita mengabaikan hal yang lain kan?

Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin di lakukan manusia.- Seno Gumira Ajidarma (Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara)

Salam,

Saidahumaira

Birthday Gift

on
4/27/2015
Halooo man temaaaaan…
Ih aku rindu nulis di blog sendiri. Rindu curhat hahahaha.


Beberapa bulan terakhir ini, aku lagi sibuk jalan-jalan hehe.
Ya gak jauh-jauh sih. Masih di daerah Bogor, pelosok Bogor sih lebih tepatnya. Nanti ya aku cerita soal jalan-jalannya. Sekarang aku lagi mau cerita tentang hari istimewa orang teristimewa…

Yippie, Selasa minggu lalu tepatnya tanggal 21 April, wanita paling istimewa dalam hidupku bertambah usia. She is my super duper mom. Wanita paling kece sejagad raya, wanita paling love-able yang ada di dunia ini. Sebagai anak pertama dan anak perempuan satu-satunya, aku udah grasak grusuk ngurusin surprise buat Mama. Pokoknya aku mau hari istimewa Mamaku ini berkesan. Segala detail aku persiapkan. Aku sharing sama adik-adikku tentang hal apa aja yang perlu disiapin.

Emang ya dasar laki-laki, maunya tau beres aja. Adikku ini paling bingung kalo disuruh milih hadiah buat Mama. Gak ngerti sih katanya, jadi urusan hadiah diserahin ke aku deh. Dan aku kelabakan banget. Soalnya aku memang lagi sibuk liputan jalan-jalan jadi gak punya waktu banyak untuk milah milih hadiah buat Mama. Sedih banget…

Tapi demi Mama, aku meluangkan waktu untuk pergi ke toko dan milah milih hadiah untuk Mama. Adik-adikku sepakat untuk beliin tas aja. Dan urusan tas mana yang akan dipilih, mereka serahkan ke aku yang mereka pikir paling tahu selera Mama. Sesungguhnya aku tersiksa sekali berada di antara rak-rak berisi tas yang rasanya mau dibawa pulang aja. Tapi sadar, uang hanya cukup untuk beli hadiah Mama. Maka, harus bersabar di tengah godaan belanja adalah ujian cukup berat bagi wanita. Hehehehe :D

Dua tas sudah terpilih. Tasnya kece banget, bikin yang milih pengin punya juga huhuhu. Sebenernya udah dari jauh-jauh hari aku ngintip di instagram, tas tas kece yang pas untuk hadiah Mamaku. Tapi aku gak nemu yang sesuai. Kadang ada yang sesuai selera Mama tapi harganya mahal bingits, ada yang harganya cukup tapi modelnya bukan 'Mama' banget.

Temenku telat banget deh ngasih taunya. Jadi ulang tahun Mamanya cuma beda beberapa hari dari ulang tahun Mamaku. Aku, grasak grusuk ngatur waktu dan masih harus ribet beli hadiah, temenku ini gak kerepotan sama sekali. Katanya dia beli hadiah ulang tahun untuk Mamanya di shopious.com 

Dia sering banget belanja di shopious.com . Model tasnya banyak, lucu-lucu, dan harganya juga terjangkau. Memudahkan kita banget deh pokoknya.

Dapet rekomendasi dari dia, aku langsung milah milih hadiah buat ulang tahun Papaku yang cuma beda beberapa minggu sama Mama. Aku dan adikku sepakat untuk kasih hadiah jam tangan. Kita cari-cari jam tangan yang sesuai. Adik-adikku juga bisa ikutan milih. Kita gak perlu rame-rame pergi, cukup dari depan layar komputer aja. Senengnya, di shopious.com ini ada filter untuk range harga yang kita mau, jadi bisa disesuain sama budget kita deh.

Duh, jadi gak sabar deh mau ngasih kejutan buat Papa. Sekarang aku gak kerepotan lagi pergi-pergi untuk nyari hadiah kece buat Mama Papa. Jadwal liputanku pun jadi gak terganggu. Alhamdulillah banget, seneng banget jadinya.

Kalau kita bisa memanfaatkan waktu dengan baik, kenapa harus buang-buang waktu?




Saidah

Mengapa? Dan Kenapa?

on
4/25/2015

Dania, gadis kecil berusia empat tahun tengah bermain bersama bonekanya di ruang keluarga. Dari kejauhan, ia menatap ibunya yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah. Dania berlari memeluk ibunya, ia bosan.

"Ibu, aku bosan bermain boneka terus. Aku ingin yang lain, Bu."

Ibu menjeda aktivitasnya, ia berbalik arah menatap Dania. Dibelainya rambut si kecil yang mulai lebat.

"Dania mau main apa sayang? Mau main masak-masakan sama ibu?" Dania menggelengkan kepalanya.

"Gak mau. Dania juga bosan main masak-masakan. Kemarin kita sudah main itu,Bu."

Ibu tersenyum melihat tingkah gadis kecilnya. Dicubitnya kedua pipi Dania, gemas. Dania kini mulai pandai menjawab dan bertanya.

"Dania mau main apa dong? Mau main dokter-dokteran? Ibu jadi pasiennya ya?"
Seketika Dania menggeleng lagi.

"Gak mau, Bu. Dania juga bosan main dokter-dokteran. Memangnya ibu gak bosan?"

"Ibu gak pernah bosan main sama Dania"

"Kenapa ibu gak bosan? Kalau masak sama cuci baju, ibu bosan gak?"

Ibu tersenyum mendengar pertanyaan Dania, "Engga sayang. Ibu gak bosan. Itu kan sudah tugas Ibu. Main sama Dania, masak buat Dania sama ayah, cuci bajunya Dania sama ayah. Ibu gak bosan, ibu malah seneng bangeeeet."

"Tapi bu," raut wajah Dania terlihat berpikir. "Tapi, kenapa ibunya Silla gak seperti ibu. Yang masak dan cuci bajunya Silla itu Bibinya, bukan ibunya. Itu artinya ibunya Silla gak seneng ya bu?" Dania melanjutkan.

Ibu tersenyum, bingung. Ibu harus memilah milih kata yang baik agar mampu dimengerti dengan baik oleh Dania.

"Terus bu," Dania ingin melanjutkan ceritanya. "Dania kan pernah tanya sama Bibinya Silla, kenapa yang masak dan cuci bukan ibu Silla. Kata Bibi itu bukan tugas ibunya Silla, itu tugas Bibi. Jadi yang bener itu tugas ibu atau bibi, Bu? Dania bingung."

Ibu juga terlihat semakin bingung bagaimana ia harus menjelaskan pada Dania.

"Hmm, ibu boleh tanya sama Dania?"

"Boleh."

"Dania suka gak masakan ibu? Dania suka gak bajunya dicuciin sama ibu? Dania suka gak main sama ibu?"

"Suka dong Bu."

"Dania bosan gak kalau yang masakin ibu?"

"Hmm, kadang-kadang Dania mau makan di restoran sama ayah sama ibu."

Ibu tersenyum mendengar jawaban Dania, "Tapi Dania suka kan masakan ibu? Kenapa suka?"

"Soalnya masakan ibu enak. Dania suka.

"Alhamdulillah kalau Dania suka. Ibu jadi makin seneng dan semangat masak buat Dania."

"Tapi Bu?"

"Apa sayang?"

"Tapi kenapa bukan ibunya Silla tapi Bibinya, Bu?"

"Hmm, iya ya kenapa ya? Kita buat teka teki aja yuk? Dania mau main teka teki sama ibu?"

Dania mengangguk cepat.

"Oke. Kita main teka teki. Nanti hadiahnya ibu kita jalan-jalan. Dania mau?"

Dani mengangguk lagi.

"Sekarang, ibu lanjutin jemur baju dulu ya sayang? Dania main sama minnie mickey dulu ya."

"Iya bu." Dania mengecup kening ibu kemudian lari masuk ke dalam rumah, bermain dengan boneka kesayangannya.

Ibu semakin gelisah. Ia tidak ingin gagal menjawab pertanyaan Dania. Ia tidak ingin Dania seperti ia dulu. Tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya dan terkunci dalam pemikiran yang keliru.
Ia masih ingat, dulu saat dirinya masih kecil, ia pun pernah bertanya pada ibunya tentang hal ini. Namun tidak pernah mendapat jawaban, mungkin dulu ibunya pun sama bingungnya dengan ia saat ini. Sambil terus menjemur pakaian, ibu kembali berpikir. Mengapa? Dan kenapa? Semoga ia segera bertemu jawabannya. 

Aku Merindukan Kamu Yang Dulu

on
4/09/2015
Sudah ku coba berkali-kali. 
Masih tak ingatkah kamu?
Perjalanan malam itu, tak ku sangka merubah segalanya di antara kita.
Jalanan basah selepas hujan, membuatmu hilang kendali.
Kita terperosok dalam jurang. 
Tidak berdaya beberapa hari.
Hingga dokter menyatakan sesuatu yang membuatku merasa sendiri.
Cedera yang terjadi di kepalamu, membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu.
Amnesia! Kamu amnesia.
Dan sialnya, kamu tak ingat siapa aku.
Wanita yang baru dua tahun ada dalam hidupmu.
Tidak seperti dia.
Wanita yang selalu kamu ingat dan kamu caei setiap kamu membuka mata.
Dia, wanita yang lebih dulu kamu cintai sebelum aku.
Dia, wanita yang pernah menemani hari-harimu selama sewindu.
Dia, yang kamu pikir adalah calon istrimu.

Apa lagi yang harus ku lakukan?
Apa lagi?
Sulitkah mengingatku. Sulit? Ku rasa sulit 
Kenanganmu bersama dia jauh lebih membekas dari kebersamaanmu denganku.
Aku menyerah.
Pada hujan yang jatuh di depan jendela kamar rumah sakit ini, ku sampaikan sesuatu.
Tentang hujan dan kenangan kita. 
Tentang hujan yang memisahkan kita.
Dan ku harap hujan pun mampu kembali mempersatukan kita.
"Titik-titik air yang mengendap dalam jendela, membingkai wajahmu yang ku rindu."
Semoga kamu ingat rayuan itu.
Rayuanmu yang kini membuat hujan di hatiku.

Aku merindukan kamu yang dulu.


Saidah


Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan cerita dan tokoh.

Sepucuk Surat dalam Botol

on
4/05/2015
Hai kamu.
Aku disini.
Masih memandangi riak-riak air yang menghantam bibir pantai dengan manis.
Hai kamu.
Aku disini.
Di atas ribuan butir pasir merah muda yang indahnya tak hanya terasa mata.
Hai kamu.
Tahukah benda apa yang sedang ku genggam?
Ini surat. Khusus untukmu yang sedang berjalan pulang ke arahku.
Mungkin di sekitarmu, kau temukan rumah singgah yang menyamankanmu.
Hingga membuatmu rehat sejenak dari perjalananmu.
Boleh saja, tapi ku mohon jangan lama-lama.
Tak rindukah kamu pada orang yang tak pernah lelah menunggumu?
Tak rindukah kamu pada orang yang senantiasa menyebut namamu berharap temu?
Iya. Itu aku.

Hai kamu.
Jika di dekatmu ada pantai, ku harap sepucuk surat dalam botol ini sampai di antara langkahmu.
Bacalah, kamu akan mengerti mengapa kamu harus segera pulang.




Saidah

Jika Aku Jadi Presiden

on
4/01/2015
Aku tidak tahu harus bicara apa tentang Pak Presiden. Tidak tahu harus menilainya bagaimana. Yang ku lihat saat ini semuanya abu-abu. Hitam putih bercampur jadi satu, seperti benar salah yang masih ambigu. Benar 
bisa dipersalahkan. Salah bisa seolah-olah benar.

Banyak mahasiswa yang bersorak menuntut keadilan, meminta pertanggungjawaban atas nama rakyat yang didegung-degungkan. Aku pernah menjadi bagian dari mahasiswa itu. Berkumpul sesama mahasiswa dari universitas lain seluruh Indonesia. Lalu kami menyuarakan aspirasi kami, berjalan jarak jauh tanpa rusuh, hingga kami sampai di istana orang nomer satu di negeri ini. Disana kami berdiri di bawah terik matahari, dijaga ratusan polisi yang mungkin jumlahnya lebih banyak dari kami. Sungguh kami tidak ingin anarki, kami hanya ingin Pak Presiden bisa menemui kami dan 'mendengarkan' kami. Tapi sia-sia, kami hanya bicara pada gedung putih gagah perkasa dan disoraki pengguna jalan yang sebenarnya kami bela.

Lain lagi cerita kakekku. Beliau telah hidup sejak zaman penjajahan dulu. Beliau pernah ikut angkat senjata demi membela tanah air tercinta. Perjuangan itu terbayar ketika Soekarno Hatta memproklamirkan kata Merdeka. Beliau bercerita betapa menjadi seorang Presiden itu tidak mudah. Sebelum memutuskan suatu kebijakan, banyak jiwa yang jadi pertimbangan. Jiwa-jiwa rakyatnya yang mendamba hidup aman dan sejahtera. Sekali lagi, menjadi Presiden itu tidak mudah. Tidak seperti bayangan manusia awam yang melihat pemimpin sebagai pemegang kuasa dan penikmat gaji luar biasa. Lebih dari itu, yang sering kita lupa bahwa presiden juga manusia.

Kalau aku jadi presiden? Aku tidak pernah membayangkan jadi presiden dan tidak pernah bercita-cita menjadi presiden. Bentuk cinta kepada negara tak melulu berada dalam satu barisan pemerintahan. Tak melulu menjadi dewan. Tak melulu berseragam badan legislatif, yudikatif, atau eksekutif. Aku bisa menjadi diriku paling baik, menjalani profesiku dengan bahagia, membantu sesama karena memang tugas seorang manusia.

Tapi jika seandainya aku jadi presiden? Baiklah jika seandainya aku jadi presiden, aku akan memperbaiki sistem pendidikan, terutama pendidikan agama. Sebuah pendidikan dasar yang wajib ditanamkan dalam diri setiap manusia hingga batas usia. Meletakkan nama Tuhan di atas segala, meletakkan nama Tuhan di tempat paling atas dari setiap prioritasnya. Meletakkan nama Tuhan dalam hati dan jiwanya. Bukankah kemerdekaan negara ini atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa? Dan itu tercantum dalam pembukaan UUD 1945.




Saidah
31.03.2015
Bogor.