Mungkinkah Kita Ada Kesempatan?

on
1/18/2016


Mungkinkah kita ada kesempatan
Ucapkan janji takkan berpisah
Selamanya


Setiap hari, lebih dari 500 notifikasi bertandang di instagramnya. Mulai dari pujian para pengagum sampai cacian para pencela. Namun yang menarik perhatiannya hingga terbawa dalam lamunan, bukan tentang kedua hal itu. Tetapi tentang Adam Pieter, lelaki blasteran Indonesia Inggris. Yang entah harus ia sebut sebagai siapa di hidupnya.

Dua tahun yang lalu, Adam Pieter adalah kekasih yang tak pernah ia publikasikan kepada siapapun. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Bahwa kisah cinta itu belum pantas untuk diangkat ke permukaan. Mereka berdua sama-sama baru saja tersakiti oleh hati sebelumnya. Dan terlalu cepat rasanya jika harus mengabarkan bahwa mereka kini bersama. Sebagai seorang seniman peran, Astari dan Adam sering kali terlibat pekerjaan yang sama. Bahkan mungkin terlampau sering mereka dipasangkan dalam satu judul film atau sinetron yang meminta keduanya harus saling mengakrabi satu sama lain.

Kisah cinta itu berjalan indah meski sembunyi-sembunyi. Hingga akhirnya publik sudah bisa menerka bahwa ada asmara di antara ia dan Adam. Sebab seringkali keduanya mengunggah bingkai kebersamaan yang menyiratkan bahwa mereka saling memiliki. Saat ditanya para pewarta, mereka tersenyum dalam-dalam. Seolah menyiratkan dua makna, antara cinta atau teman saja.

Hingga suatu hari

Adam Pieter
Bey, kamu berhijab?
                                                (13.31)

Astari diam. Entah ia harus menjelaskan bagaimana. Seminggu setelah kepulangannya dari menunaikan ibadah umroh di tanah suci, ia memutuskan untuk menutup seluruh tubuhnya yang memang tak sepatutnya diumbar. Hidayah Allah telah sampai di hatinya. Memang, niatan itu masih sering kali goyah. Namun, dari dasar kalbunya, ia telah mengimani kebenaran itu. Kebenaran bahwa setiap muslimah wajib menutup auratnya.

Adam Pieter
Bey, kok cuma dibaca aja?
                                                                (14.12)

Adam Pieter
Bey, bales dong. Kamu kenapa? Cerita sama aku.
                                                                                                (14.30)

Tari masih belum membalas chat Adam. Ia terlarut memikirkan sesuatu. Adam, menjadi salah satu hal yang membuatnya goyah. Selain kontrak-kontrak pekerjaan yang masih menuntut dirinya yang dahulu. Memang belum pasti, tetapi keputusannya berhijab jelas akan memengaruhi kelanjutan kisahnya dengan Adam. Terlebih kini ia mulai paham bahwa berkasih hanya diperbolehkan bagi yang telah terikat pernikahan. Itu artinya hubungan ia dengan Adam berada di ujung perpisahan. Dan Tari masih belum siap untuk itu.

Adam Pieter
Bey, aku ontheway ke rumah kamu. Kamu di rumah kan?
                                                                                                                                (15.10)               

Teeeet. Bunyi klakson terdengar di depan pintu pagarnya, tiga kali. Tari mengintip dari balik gorden, benar saja mobil SUV New Dodge Journey warna hitam tengah masuk ke pekarangan rumahnya. Itu Adam. Tak lama, Adam turun dari mobil dengan sejinjing buah tangan. Ia disambut ramah oleh Pak Imin, satpam rumah Tari. Adam kemudian pamit untuk masuk ke dalam setelah memastikan Tari ada di rumah. Tari masih terus berpikir, apa yang hendak ia sampaikan pada Adam. Dan bagaimana ia harus berpenampilan. Sampai ia dikejutkan kehadiran Adam di depan pintu kamarnya.

“Bey, aku masuk ya.”

Belum sempat Tari memberi izin, Adam sudah berdiri di hadapannya dan seketika menciumi kedua pipinya. Tiba-tiba Tari merasa sangat berdosa dengan ritual yang selalu ia lakukan saat ‘hello’ dan ‘good bye’. Tari mendorong pelan tubuh Adam yang hendak menumpahkan segala rindu padanya. Pelukan Adam adalah yang paling menenangkan, namun kini menjadi yang ingin ia jauhi.

“Aku kangen tau. Kamu kenapa sih?”

Adam melonggarkan dekapannya. Menatap Tari yang meminta jarak beberapa senti. Adam baru menyadari bahwa Tari berpakaian tidak seperti biasanya. Busananya tertutup, tidak lagi serba minimalis yang memperlihatkan bagaimana menawannya tubuh Tari. Meski belum sempat mengenakan kerudung, Adam mulai membaca bahwa isu tentang berhijabnya Tari bukan rumor belaka.

“Kamu beneran berhijab, bey?”

Adam bertanya hati-hati. Dalam hati, akhirnya Tari meyakini bahwa ia akan mantap memulai hidup barunya. Melupakan semua gaun super mini yang sering kali membuat semua wanita iri melihat tubuhnya yang proprosional. Dan juga mungkin melupakan hubungannya dengan Adam, lelaki istimewa di hatinya.

“Iya Dam. Aku mau berhijab. InshaAllah semoga aku istiqomah. Kamu doain aku ya, Dam.”

Detik ini, giliran Adam yang diam. Kenyataan indah di depan matanya, tak mungkin ia tepis dengan seongok nafsu untuk memiliki. Tari berhak menentukan hidupnya, tanpa persetujuan apapun dari Adam. Adam hanya perlu tahu. Bukan untuk memutuskan, tetapi untuk mendukung penuh apapun yang Tari lakukan selama itu adalah baik. Tari sudah satu langkah di depannya. Dengan kemenangan melawan nafsu diri yang sempat memintanya berhijab nanti-nanti. Tari sudah satu langkah di depannya. Dan Adam tidak ingin membuat kekasih hatinya itu mundur. Agar jarak mereka tetap beriringan, Adam yang harus maju.

“Aku dukung kamu, bey.”

Kalimat pendek yang diucapkan Adam seketika melepaskan jerat-jerat gamang dalam benak Tari. Senyum manis Adam yang tulus membuat hatinya lebih lapang. Dan Tari masih terus mengingat detik itu. Detik dimana Adam masih bersedia berada di sisinya. Meski hubungan itu tak lagi pantas disebut kekasih. Adam tetap menjadi orang paling dekat untuk Tari.

Sampai saat ini, delapan bulan sudah Tari resmi mengenakan hijabnya. Delapan bulan juga ia dan Adam masih tetap bersama meski tidak lagi mesra. Bersama bukan sebagai sepasang kekasih, namun juga terlalu istimewa jika hanya sekedar disebut teman biasa. Kisah kasih mereka yang sejak dulu tidak pernah terkonfirmasi, terus menerus menggilir banyak tanya di benak pengguna sosial media. Dari teralirinya doa-doa agar ia dan Adam berjodoh dalam pernikahan hingga pada sebutan perempuan pemberi harapan palsu yang disematkan.

Ketidakjelasan hubungan itu akhirnya membuat Adam bersuara. Mencoba mencerahkan keadaan dengan pernyataan yang tegas namun tetap menyisa tanya.

“Saya sama Tari berhubungan baik. Kita dekat. Dari dulu kita dekat. Kita saling sayang,” ucap Adam sambil tersenyum kepada awak media.

Namun ketika ditanya tentang status hubungan itu. Adam tak mampu menjawab. Bukan tak mau, tetapi benar-benar tidak mampu harus menjawab apa pertanyaan sederhana itu. Sebenarnya gosip semacam ini tentu menjadi sebuah keuntungan yang membuat nama semakin melambung karena sering kali dibicarakan. Berbagai tawaran kerja silih berganti berdatangan berbanding lurus dengan menanjaknya popularitas. Tetapi, itu justru memberi keresahan pada Tari.

“Aku mulai kepikiran.”

Adam membuka percakapan sore ini dengan sebuah kalimat yang langsung menusuk pada permasalahan. Adam dan Tari memang telah menyusun pertemuan. Mereka harus membahas tentang hubungan spesial namun tak jelas arahnya.

“Aku juga. Bukan cuma fans yang mau tahu, manajemen juga udah mulai nanyain. Sebenarnya kita gimana?” Tari menatap Adam yang terlihat berpikir mencari solusi.

“Kamu maunya kita gimana?” Adam balik bertanya.

“Dulu, kita udah pernah bahas ini. Bahwa aku sama kamu gak terburu waktu sama harapan masyarakat yang berharap kita berjodoh. Kita punya kehidupan masing-masing dan kita gak ambil pusing. Kita sudah pernah menyerahkan sama waktu. Tapi sekarang, entah rasanya sudah mulai mengganggu, Dam.”

Ada gejolak yang tiba-tiba menghimpit dada. Tari ingin sekali rasanya menangis. Kini, ia dan Adam tidak lagi bisa lari. Melempar jawaban klasik tentang waktu. Mereka sudah harus memutuskan.

“Jodoh gak ada yang tahu. Kita gak pernah menutup pintu kemungkinan itu dengan tetap menjaga hubungan baik ini. Meski kita pun gak tahu, apa jodoh itu berpihak sama kita atau harapan semu.”

Tari bicara lagi. Kali ini, air mata telah luruh perlahan. Sebagai manusia normal, ingin rasanya Adam memeluk Tari, menenangkan. Namun sebagai seorang muslim, ia tahu itu tak boleh. Ia tidak ingin mengotori kesucian Tari yang sedang berusaha istiqomah berhijrah. Begitupun dengannya. Keputusan Tari berhijab beberapa waktu silam, seolah memberi sebulat keyakinan bahwa Tari adalah perempuan baik yang ia ingini. Perempuan yang tidak patut ia pacari, tetapi harusnya ia nikahi. Namun, waktu belum mengizinkan Adam untuk menyegerakan kebahagiaan itu. Atas nama impian, mereka berdua tetap berjalan bersama meski tanpa ikatan apa-apa.

“Maaf Tari, aku melepas.”

Air mata itu makin deras. Adam mengucapkan satu hal yang menjadi ketakutannya. Tari menatap tak percaya, meski ia sudah menduga. Tari memejam matanya. Mencoba mereda rasa sakit dalam kegelapan. Sampai ia tak sadar, Adam telah pergi meninggalkannya duduk sendiri.

Ting. Sebuah pesan singkat masuk. Tari membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, sebab air mata yang terlalu deras di pelupuk mata. Ia masih belum menyadari, Adam tidak lagi ada di hadapannya.

Adam Pieter
Jangan nangis terus, bey. Aku tunggu di depan rumah ya.
                                                                                                                                (17.01)

Tari menatap takjub apa yang ada di hadapannya. Usai membersihkan wajahnya yang sembab karena air mata. Ia harus kembali menangis. Kali ini, wajahnya tidak sendu. Namun, penuh haru. Di hadapannya, Adam tidak sendiri. Di hadapannya, seluruh keluarga ia dan Adam berkumpul, mengenakan pakaian yang sama. Putih. Belum usai takjubnya, Adam bersimpuh. Bukan di hadapan Tari, namun di hadapan ayah Tari. Meminta restu.

“Om, Adam mau meminta izin sama Om. Adam mau melamar Tari.”

Meski terbata dan terlihat sekali gugupnya, Adam mengucap tulus. Sebab ini bukan sandiwara yang telah ia pahami naskahnya. Meski ia sudah pernah melamar Tari dalam layar kaca. Tetap saja berbeda. Sebab, ini hidupnya yang nyata.

“Om izinkan dan restui.”

Tari berjalan kilat, menuju sang ayah dan memeluknya erat. Air matanya sedari tadi tumpah dan kini membasahi kemeja putih ayah. Lama ia mendekap, menghabisi tangisnya agar siap menyambut Adam dengan senyum.

“Astari, jodoh memang gak ada yang tahu. Tapi aku tahu, aku harus apa kalau aku mau kamu jadi jodohku.”




Saidah


Catatan

Ini adalah challenge grup OWOP. Membuat cerita fiksi dari lagu Payung Teduh - Berdua Saja.





Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan kisah maupun tokoh.



Sampai Waktu yang Pertemukan Kita Nanti

on
1/17/2016
Disini ku pun begitu
Trus cintaimu di hidupku
Di dalam hatiku
Sampai waktu yang pertemukan kita nanti

Semua bersorak sorai. Detik semakin cepat melaju, seperempat jam lagi tahun kan beralih. Segala harap terucap, mengingini hidup yang jauh lebih mulia dari sebelumnya. Di antara senyum sumringah menyambut perjalanan baru, Aina tak juga mampu mengusir gulana. Ia terisak, dadanya sesak. Perpisahan itu terbayang di benaknya.

Memang masih sepekan. Namun itu bukan waktu yang panjang. Untuk pertama kalinya, ia berharap pergantian tahun jangan dulu ada. Aina masih terisak, sebab Januari telah datang lebih dari tiga jam. Seandainya ia sedang tidak berhalangan, ia pasti telah menggelar sajadah, mengadu kepada Yang Maha Memiliki Waktu. Seandainya boleh, ia ingin berdoa agak sedikit jahat kepada suaminya. Aina ingin Azzam kehilangan beasiswa dan batal bertolak ke Singapura. Aina tidak pernah membayangkan pernikahan impiannya yang baru diarungi belum genap sebulan, harus segera terpisahkan oleh jarak dua negara.

Waktu semakin tua, Aina masih saja terjaga. Hingga adzan subuh berkumandang dengan perkasa di langit Jakarta, menyadarkan Aina ia tidak bisa menghentikan waktu meski sedetik saja. Ia telah pasrah jika memang waktu menginginkan ia dan Azzam berpisah. Berteman jarak, merindu waktu pertemuan.

“Kamu gak tidur ya?”

Aina terkejut, buru-buru ia seka air matanya. “Kamu udah bangun?”

Azzam tersenyum, dibelainya rambut Aina yang hitam. “Aku sholat subuh dulu ya, sayang.” Dikecupnya kening Aina, semakin deras air mata Aina terurai di pipi.

Aina memandang sendu kepada Azzam yang tengah melaksanakan kewajibannya sebagai hamba. Air mata itu ternyata tak juga mau enyah. Drama melankolis seolah-olah mengusik hati Aina. Apapun yang dilakukan Azzam menjadi butir-butir air mata, yang akan dia rindukan. Dan segala tentang Azzam akan menjadi segelintir kisah, yang kan dia nantikan.

“Kenapa takdir mempermainkan kita?” Aina tak lagi mampu berkata baik-baik saja. Hatinya terus bergemuruh, meminta meronta agar bisa menghentikan jejak Azzam bergegas menuju negara tetangga.

“Kenapa kamu bilang begitu?” Azzam memandangi Aina yang tengah menatap kosong ke arah gelasnya.

“Kenapa kita dijodohkan tetapi tidak diperkenankan bersama?” Aina menatap Azzam yang tengah memeriksa segala persiapannya.

Azzam terdiam sejenak, ditaruhnya beberapa pakaian yang hendak ia bawa. Aina masih menatap Azzam, bersama sesak yang semakin menghimpit air mata untuk segera mendera. Azzam duduk di tepi ranjang, menghadap Aina yang tengah menanti jawabannya di atas sofa putih kesayangannya. Beberapa lama, mereka saling menatap tanpa bicara. Air mata Aina telah terbawa arus perasaan. Ia semakin tak mampu membendung kesenduannya.

“Kamu tahu, aku bukan perempuan yang cengeng. Dan aku paling gak suka dikasihani sama orang lain. Tapi untuk kali ini, aku gak rela kamu pergi. Kita baru aja memulai hidup baru dan aku gak mau kita menjalani ini sendiri-sendiri, Azzam.”

Azzam mengusap air mata Aina. Kini, Azzam duduk bersimpuh di atas lantai, menciumi jemari Aina yang halus. Didekapnya wajah Aina ke dadanya. Hingga Azzam mampu merasa tetes air mata itu begitu mencintainya. Dalam dekap, Aina membaca detak jantung Azzam yang seolah bersuara menenangkan. Azzam tak mampu berbicara apapun pada Aina, selain meminta kecintaannya itu untuk bersabar menunggu kepulangannya. Perjalanan akademik itu adalah impian yang Azzam pupuk sebelum mengenal Aina. Perjalanan itu telah lama ia perjuangkan dengan seluruh hal yang mampu ia lakukan. Meski terasa menyesakkan, Azzam tak mampu melepaskan.

“Jangan perlakukan aku dengan manis, Azzam. Aku tidak suka menahan rindu karena kenangan manis itu.”

Semakin mendekati hari perpisahan, Azzam semakin memperlakukan Aina jauh lebih istimewa. Namun hal itu justru membuat Aina semakin tak kuasa untuk melepas Azzam. Setiap orang memiliki sepihak cara untuk mengucap salam perpisahan. Azzam yang selalu ingin meninggalkan jejak agar terbekas dalam ingatan. Sementara Aina tidak suka dibahagiakan untuk ditinggalkan kemudian. Bagi Aina cara itu terlalu menyakitkan. Bagaimana hari-harinya akan menjadi seolah suram karena terus tercekam rasa rindu yang ia tahu masih panjang jarak untuk bertemu.

Malam ini, Aina sengaja tidur lebih dulu. Melengserkan permintaan Azzam yang ingin menghabiskan malam terakhir mereka, berdua. Meski sebenarnya, Aina ingin sekali memeluk Azzam lama-lama. Menghirup kuat-kuat aroma parfum Azzam yang maskulin dan menatap kekasih halalnya itu dekat-dekat. Tetapi ego terlalu mengakrabinya hingga ia tetap memilih untuk terlelap bersama gelisahnya yang belum kunjung reda. Menahan sesaknya.

Azzam masih menangis. Didekapnya tubuh Aina, erat-erat. Air mata itu jatuh lagi, tepat di mata Aina yang tak lagi mampu terbuka. Suasana hening, hanya ada isak yang semakin sesak. Hanya ada air mata yang meminta hati meronta, melepas kepergian. Manusia memang tidak bisa menebak takdir. Sebuah perpisahan yang tak pernah terduga antara dua hamba yang sedang belajar menerima. Aina, berpulang pada penciptanya. Meninggalkan Azzam yang menangisinya, tanpa jeda. 



Saidah


Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan kisah dan tokoh.








Kisah Cinta Natawisastra

on
1/15/2016


Hujan baru saja reda, awan hitam masih merajai tahta langit. Rendra segera bergegas, ia terburu janji pertemuan. Hari ini adalah kali pertama ia mengajak Sabrina untuk makan malam. Bukan tentang sepasang sahabat yang larut menghabiskan waktu bersama, namun tentang sepasang suami istri yang tengah menyemai cinta. Hari ini tepat satu bulan mereka menjalani kehidupan baru, mengarungi bahtera di tengah lautan luas.

Sudah sejak beberapa bulan lalu, Rendra memendam perasaan kepada Sabrina, sahabatnya. Titik titik rasa kagum itu berbuah perasaan yang tak bisa lagi dibendung atas nama persahabatan. Mungkin benar, tidak ada persahabatan murni antara seorang laki-laki dan perempuan, pasti saja salah satunya merangkai cinta dalam diam. Hal itulah yang terjadi padanya. Ia mendadak tak mampu mengurai rasa, tersembunyi dalam lakon persahabatan yang tak lagi sedia kala.

Sabrina adalah perlawanan dari dirinya. Tetapi, bersama Sabrina, ia seperti menemukan rumah. Tempat ia pulang membawa lelah,  mengadu banyak hal. Tempat ia bergerak leluasa, tanpa harus berpura-pura agar diterima. Sabrina adalah perlawanan dari dirinya. Bersama Sabrina, ia seperti berada dalam sebuah arena. Tempat puji dan caci tercipta untuk membentuk pribadi. Ketika banyak bibir memuji kepiawaian Rendra menulis kata-kata, Sabrina adalah orang pertama yang melihat dengan seksama. Sabrina bukan barisan panjang para pengagum karya Rendra, namun Sabrina adalah tempat Rendra memperbaiki diri. Rendra mengamini pesan makna dari sebuah pariwara, bahwa untuk bersama tak perlu menjadi sama.

Rendra sampai lebih dulu. Ia mempersiapkan banyak hal, terutama mempersiapkan diri untuk menyatakan cinta pada Sabrina. Hal yang tak pernah ia lakukan. Memang terdengar aneh. Bagaimana sepasang suami istri tak pernah saling berucap cinta. Begitulah Rendra dan Sabrina. Mungkin karena mereka sudah bersahabat lama, kadang rasanya ada sesuatu yang menggelitik ketika sama-sama mengucap ‘aku cinta’.

Rendra gelisah menatap segala persiapan yang berpacu dengan detik di tangannya. Jarum jam sepuluh menit lagi akan mencapai angka janji mereka, pukul 20.00. Rendra meyakinkan segala persiapan sempurna. Dijemputnya Sabrina yang mengabarkan telah berada di pintu masuk.

“Kamu cantik.” Ini adalah kali kedua Rendra memuji Sabrina. Malam ini Sabrina sengaja berdandan untuk Rendra, suaminya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk perayaan satu bulan bahtera mereka. Kali ini beruntunglah Rendra, karena Sabrina membalas pujian itu dengan senyum malu-malu penuh cinta. Tidak seperti saat acara lamaran mereka dahulu, Sabrina menjawab canda pujian Rendra “Terima kasih Mas Rendra. Tapi, aku bukan penggemarmu yang akan histeris dipuji sama kamu. Biasa aja kaliiiii.”

Rendra mempersilahkan Sabrina duduk di singasananya. Tak lama, pramusaji datang membawan hidangan yang telah Rendra pesan sebelumnya. Mereka berdua saling pandang, dengan sekelebat bahasa hati. Kemudian menyantap makanan dalam diam.

“Kamu kenapa sih ngeliatin aku terus dari tadi? Emangnya dengan ngeliatin aku bisa kenyang?” Sabrina mulai berkomentar.

Rendra diam, sedang menyusun kalimat-kalimat puitis yang tak sembarang. Ia bertekad untuk membuat Sabrina tertegun dalam pesonanya. Sebab, Sabrina bukan perempuan yang mudah tersihir kata-kata romantis.

Sabrina masih menatap Rendra. Dalam sirat mata Rendra, terbaca jelas suasana hatinya. Sabrina sudah tahu bahwa teman hidupnya itu hendak membuktikan pesonanya sebagai penulis yang mahir meracik kata-kata cinta hingga membuat wanita tergila.

“Sabrina ...” Rendra mulai menggenggam jemari istrinya. Tatapan matanya serius.

Sabrina menatap Rendra tidak fokus, ia tak bisa menahan tawa atas sikap Rendra. Namun ia berrusaha menghargai kegugupan suaminya.

“Sabrina, istriku ...” ucap Rendra penuh penghayatan.

Sabrina tersenyum menahan tawa, “Apaaa? Boleh diulang sekali lagi?”

“Sabrina, istriku ...”

Dan Sabrina masih terus menahan tawa. “Iya, Rendra, suamiku,” ucap Sabrina menggoda.

Rendra terdiam, bibirnya semakin kelu.

“Kok diam sih? Lanjutin doong,”

Rendra menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, “Sabrina, istriku ..”

“Ya,”

“Kamu jangan jawab dulu dong, Aku kan lagi nyusun kata-kata,” ucap Rendra setengah merajuk.

Sabrina tersenyum dan berusaha biasa, meski sebenarnya ia ingin sekali tertawa.

“Sabrina istriku ... Selamat satu bulan pernikahan. Aku bahagia punya kamu. Aku bahagia jatuh cinta sama kamu. Karena sebelumnya, jatuh cinta sama kamu adalah hal paling menakutkan buatku. Aku takut kamu pergi, menjauh, dan gak mau kenal aku lagi. Sampai saat ini aku tetap takut. Aku takut berpisah sama kamu. Aku sayang sama kamu, Sab. Sejak kita pertama bertemu di malam puisi, aku jatuh hati sama kamu. Kamu satu-satunya perempuan yang bisa membuat aku kehilangan kata-kata. Aku gak tahu gimana caranya bilang cinta sama kamu. Jujur, aku bingung. Kamu terlalu istimewa jika harus diperlakukan biasa. Kamu istimewa buatku, Sabrina. Aku cinta sama kamu. Dan ingin terus jatuh cinta sama kamu.”

Rendra diam, memandangi Sabrina yang terdiam tanpa berkata apa-apa hingga setetes air mata jatuh di pipi Sabrina. Sabrina menyeka air matanya dan tersenyum jahil “Katanya penulis yang paling romantis, dipuja puji banyak gadis. Tapi, masa ngerayu aku cuma segini doang?”

Rendra diam. Ia sibuk mencari kemenangan di mata Sabrina. Tetes air mata itu sudah cukup menjadi bukti bahwa apa yang disampaikannya menetap di hati Sabrina.

“Kan aku sudah bilang, kalau kamu terlalu istimewa untuk diperlakukan biasa. Hal mudah untuk aku menebar kata-kata romantis, tapi aku butuh keberanian lebih untuk bicara langsung kepada inti, gak bertele-tele. Dan kamu ngajarin aku hal itu. Kita saling bersebrangan. Tapi aku tahu, kalau Allah menakdirkan kamu buat aku agar kita saling menghebatkan. Apa yang kurang di aku, dilengkapi sama kamu.”

Air mata Sabrina jatuh lagi. Didekapnya Rendra erat-erat, tak ingin terpisah.

“Aku mau terus kaya gini. Aku mau terus sama kamu. Tapi kita gak akan lagi berdua,” bisik Sabrina, masih dalam dekapan Rendra.

Rendra mematung, bingung. Dilepasnya pelukan Sabrina. Ia menatap Sabrina, meminta penjelasan. Dengan sumringah Sabrina mengecup pipi suaminya, kemudian menampar Rendra pelan.

“Selamat bapak penulis. Sembilan bulan lagi, kamu punya buntut.”

Mata Rendra berbinar. Ia takjub, masih tak percaya. Didekapnya kembali Sabrina, erat-erat. Sesekali ditatapnya, lekat-lekat.

Untuk : Nyonya Natawisastra.

Kamu adalah kisah yang tak akan pernah aku tulis. 
Bukan karena aku malu, bukan karena kamu tak pernah jadi inspirasiku, 
bukan aku tak ingin kita abadi. 
Tetapi, aku ingin semua tentang kamu hanya milik aku. 
Dan semua milik kita, cukup kita yang tahu. 
Kamu tetap abadi. Di hatiku. 
Karena cinta kita tidak untuk diumbar-umbar.

Yang Mencintaimu,

Rendra Natawisastra.




Saidah




Aku Terlambat, Alana.

on
1/10/2016

Aku sungguh sangat bermimpi mendampingi hatimu.
Aku masih terus bermimpi, sangat besar harapanku.
Tuk hidup berdua denganmu.


Lima tahun setelah perpisahan itu. Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Kami memang tidak tinggal satu kota, hal itu pula yang menjadi salah satu alasanku memutuskan asmara kami. Aku punya kehidupanku sendiri disini dan tentu saja ia punya kehidupannya sendiri disana. Beberapa kali memang kami terlibat percakapan melalui whatsapp. Itu pun tak lebih dari sekedar mengucapkan selamat ulang tahun. Ia memang tidak pernah absen mengucapkannya setiap tahun, seperti hari ini.

Arian
Selamat ulang tahun Alana. Maaf terlambat.

Terima kasih, Arian. Gapapa kok
Arian
Aku dengar hari ini kamu lamaran ya? Selamat ya.
Wah ternyata beritanya sudah sampai. Iya, terima kasih sekali lagi.
Arian
Kamu bahagia?
Iya dong. Pasti. Kok nanyanya gitu?

Aku terdiam membaca pesan terakhirnya. Lebih tepatnya, karena aku tidak mengerti mengapa ia mempertanyakan hal yang seharusnya ia sudah tahu jawabannya. Ku lihat kembali pesan terakhirku padanya. Dua garis centang berwarna hijau menandakan ia telah membaca pesanku, tetapi aku belum mendapati balasan apapun darinya. Pikiranku mulai terbang pada prasangka-prasangka tentang sikapnya dalam pesan whatsaap itu. Apa sebenarnya yang ada dalam benak Arian? Apa ia sedih mendengar kabar acara lamaranku? Atau mungkin memang seperti itu reaksi seseorang yang mendapat kabar tentang rencana pernikahan mantan kekasihnya? Arian berhasil menutup malamku dengan tanya.

Sebuah pesan whatsapp mendarat di ponselku. Aku membukanya perlahan. Mataku terdiam pada tiga kata yang diakhiri tanda tanya itu. Bisakah kita bertemu? Setelah lima tahun, mengapa kali ini ia meminta bertemu. Tentu saja aku sulit mengabulkan pintanya. Keadaan kami sudah tidak memungkinkan adanya pertemuan itu, lebih tepatnya keadaanku. Aku telah dipinang oleh seorang lelaki. Dan kini, mantan kekasihku meminta bertemu.

Maaf, aku tidak bisa.
Arian
Aku butuh bertemu denganmu. Sebentar saja. Dimana pun kamu mau, aku akan datang.

Maaf Arian. Aku benar-benar tidak bisa.
Arian
Aku mohon, Alana. Bukankah kita teman?
Kita memang teman. Tetapi, aku tidak bisa bertemu lelaki mana pun yang bukan mahramku. Aku tidak bisa bertemu denganmu jika hanya berdua. Kalau kamu memang sangat ingin bertemu, aku akan mengajak adikku dan ku harap kamu juga mengajak seseorang.

Semoga saja keputusanku menerima permintaannya bukan sebuah keputusan yang salah. Aku akan segera menceritakan ini pada calon suamiku. Segera. Sebenarnya mas Fatih, calon suamiku, sudah tahu bahwa aku pernah mencintai beberapa orang lelaki. Aku sudah menceritakan padanya tentang masa laluku, tentunya bukan dengan bicara langsung padanya. Tetapi melalui berlembar-lembar kertas putih yang menjabarkan tentang riwayat hidupku, melalui proses taaruf.

Aku sudah sampai di parkiran Botani Square bersama adikku ketika jarum jam menunjukkan hampir pukul jam 2 siang. Aku langsung menuju ke lantai paling atas Mall yang terletak tak jauh dari Terminal Baranang Siang ini. Aku melangkah memasuki restaurant Rice Ball dengan ragu. Namun sesampainya di dalam, aku tidak menemukan Arian. Yang justru sedang duduk seperti menunggu adalah ... Arsita. Arsita, adik Arian.

Dengan langkah bingung aku menghampiri Arsita yang sudah melihat kedatanganku.

“Assalamualaykum," sapaku kikuk.

Arsita menatapku beberapa detik sebelum mennjawab salamku, “Waalaykumsalam.” Ia langsung menghampiriku. Arsita cukup terkejut dengan perubahanku yang saat ini telah memakai gamis dan berhijab panjang, namun tak lama ia memelukku erat sekali. Dan sesaat dia berbisik sebelum duduk, “Kak Arian masih sayang kamu, kak”.

Aku terkejut mendengar pernyataan Arsita. Jelas saja aku terkejut. Yang ku tahu selama ini Arian sudah memiliki kekasih. Meski aku tidak mengenal secara personal siapa kekasihnya, tetapi Arian selalu memperlihatkan kebahagiaannya dengan kekasihnya melalui media sosial miliknya. Arian selalu menuliskan kata-kata indah yang dapat menggambarkan betapa ia sangat mencintai wanitanya itu. Dan mana mungkin ia masih menyayangi aku?

“Arian kemana?” aku berkata datar untuk menutupi keterkejutanku.

“Dia ada. Dia datang kesini. Tapi dia gak berani ketemu sama kamu, kak. Jadi aku yang dia amanahkan untuk ketemu kamu.”

Aku menatap Sita bingung. Apa maksudnya? Arian yang memohon padaku untuk menemuinya dan sekarang dia tidak ada.

 “Dia sedih kamu mau menikah.” Sita berkata tanpa menatapku. Dia menunduk.

“Kenapa?” tanyaku ragu.

“Karena dia menunggu kamu, kak. Tapi, kamu terlalu cepat melangkah dan meninggalkan kak Arian yang masih tertatih berubah,” Sita menatapku sendu.

“Maksudnya?”

“Mungkin kamu lupa atau mungkin kamu tidak menganggapnya. Di buku yang kak Arian beri waktu itu, Kak Arian pernah menuliskan bahwa dia akan datang lagi. Menjadi sosok laki-laki yang .... siap menikahi Kak Alana,” Sita melanjutkan kalimatnya dengan terbata. Yang sekaligus membuat air mataku jatuh tanpa dipinta.

Aku ingat. Aku baru mengingatnya sekarang. Hari itu, hari dimana aku mengajak Arian untuk menemaniku mengerjakan tugas liputan di Puncak, juga menjadi hari terakhir kami sebagai sepasang kekasih. Di tempat seindah hamparan kebun teh nan hijau, aku membuat hujan di mata seorang lelaki yang telah menemaniku lebih dari empat tahun.

“Saat itu...,” Sita melanjutkan kata-katanya. “ Saat kakak memutuskan untuk mengakhiri hubungan kalian karena jarak. Sebenarnya kak Arian tahu bahwa masalah utamanya bukan jarak. Kak Arian tahu alasan utama kenapa kakak memutuskan kalian untuk berpisah.”

Aku terdiam. Kembali mengenang hari itu. Ketika aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Arian diam, tidak seperti biasanya. Dia yang selalu memintaku untuk menenangkan diri lebih dulu dan berkali-kali berkata bahwa dia menyayangiku agar aku berubah pikiran. Namun, hari itu ia diam saja dan menerima keputusanku. Tanpa berkata apapun ia pamit pulang setelah mengantarkankku ke rumah. Tetapi sebelum pulang, ia memberiku sebuah buku catatan berwarna biru. Buku catatan yang berisikan tentang betapa dia mencintaiku.

“Tapi, bukannya Arian punya pacar?”

Sita mengangguk. “Namanya Nasya. Teman kampusnya. Tapi, meskipun sudah sama Nasya, itu tidak mengubah keputusannya. Keputusan yang sudah ia buat sejak masih menjadi pacar kakak. Sejak dulu sampai saat ini, di mata dia, kamu perempuan sempurna. Perempuan yang pantas untuk dia nikahi.”

“Aku gak paham. Aku gak paham maksudnya," ucapku dengan suara bergetar. "Dan lebih baik aku gak perlu paham. Aku permisi,” sambungku seraya bangkit dari duduk, lekas pergi.

“Kakak mau kemana?” Sita menahanku.

Dahita yang sedari tadi hanya diam dan mengamati ikut menahanku. “Kak, Sita kan belum selesai bicara.”

“Maaf, Sita. Tolong sampaikan maafku pada Arian. Aku permisi. Aku masih ada urusan.” Dan aku tetap meninggalkan tempat itu. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi tentang Arian. Aku tidak ingin mendengar sesuatu yang membuat ingatanku tentangnya kembali bersemi. Aku tidak ingin merusak perasaanku untuk calon suami. Aku tidak ingin apa yang ku dengar tentang Arian, kembali membuatku jatuh hati padanya. Aku tidak ingin.



kepada : Alana

Alana, maafkan aku yang tidak berani menemuimu.
Dan hanya menitipkan surat ini melalui Sita.
Selamat ulang tahun, Alana.
Satu impianmu akan terlaksana dalam waktu dekat.
Aku memang kecewa, Alana. Bukan padamu, tetapi pada diriku sendiri.
Aku terlambat Alana. Aku terlambat untuk memulainya lagi.
Mungkin memang seharusnya, sudah ku patahkan hati dan harapku tentangmu sejak dulu.
Sehingga aku tidak terluka tentang kabar atas lamaran dan rencana pernikahanmu saat ini.
Selamat berbahagia, Alana.
Doakan aku berbahagia juga, dengan atau tanpamu.

Arian




 Saidah