Kisah Cinta Natawisastra

on
1/15/2016


Hujan baru saja reda, awan hitam masih merajai tahta langit. Rendra segera bergegas, ia terburu janji pertemuan. Hari ini adalah kali pertama ia mengajak Sabrina untuk makan malam. Bukan tentang sepasang sahabat yang larut menghabiskan waktu bersama, namun tentang sepasang suami istri yang tengah menyemai cinta. Hari ini tepat satu bulan mereka menjalani kehidupan baru, mengarungi bahtera di tengah lautan luas.

Sudah sejak beberapa bulan lalu, Rendra memendam perasaan kepada Sabrina, sahabatnya. Titik titik rasa kagum itu berbuah perasaan yang tak bisa lagi dibendung atas nama persahabatan. Mungkin benar, tidak ada persahabatan murni antara seorang laki-laki dan perempuan, pasti saja salah satunya merangkai cinta dalam diam. Hal itulah yang terjadi padanya. Ia mendadak tak mampu mengurai rasa, tersembunyi dalam lakon persahabatan yang tak lagi sedia kala.

Sabrina adalah perlawanan dari dirinya. Tetapi, bersama Sabrina, ia seperti menemukan rumah. Tempat ia pulang membawa lelah,  mengadu banyak hal. Tempat ia bergerak leluasa, tanpa harus berpura-pura agar diterima. Sabrina adalah perlawanan dari dirinya. Bersama Sabrina, ia seperti berada dalam sebuah arena. Tempat puji dan caci tercipta untuk membentuk pribadi. Ketika banyak bibir memuji kepiawaian Rendra menulis kata-kata, Sabrina adalah orang pertama yang melihat dengan seksama. Sabrina bukan barisan panjang para pengagum karya Rendra, namun Sabrina adalah tempat Rendra memperbaiki diri. Rendra mengamini pesan makna dari sebuah pariwara, bahwa untuk bersama tak perlu menjadi sama.

Rendra sampai lebih dulu. Ia mempersiapkan banyak hal, terutama mempersiapkan diri untuk menyatakan cinta pada Sabrina. Hal yang tak pernah ia lakukan. Memang terdengar aneh. Bagaimana sepasang suami istri tak pernah saling berucap cinta. Begitulah Rendra dan Sabrina. Mungkin karena mereka sudah bersahabat lama, kadang rasanya ada sesuatu yang menggelitik ketika sama-sama mengucap ‘aku cinta’.

Rendra gelisah menatap segala persiapan yang berpacu dengan detik di tangannya. Jarum jam sepuluh menit lagi akan mencapai angka janji mereka, pukul 20.00. Rendra meyakinkan segala persiapan sempurna. Dijemputnya Sabrina yang mengabarkan telah berada di pintu masuk.

“Kamu cantik.” Ini adalah kali kedua Rendra memuji Sabrina. Malam ini Sabrina sengaja berdandan untuk Rendra, suaminya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk perayaan satu bulan bahtera mereka. Kali ini beruntunglah Rendra, karena Sabrina membalas pujian itu dengan senyum malu-malu penuh cinta. Tidak seperti saat acara lamaran mereka dahulu, Sabrina menjawab canda pujian Rendra “Terima kasih Mas Rendra. Tapi, aku bukan penggemarmu yang akan histeris dipuji sama kamu. Biasa aja kaliiiii.”

Rendra mempersilahkan Sabrina duduk di singasananya. Tak lama, pramusaji datang membawan hidangan yang telah Rendra pesan sebelumnya. Mereka berdua saling pandang, dengan sekelebat bahasa hati. Kemudian menyantap makanan dalam diam.

“Kamu kenapa sih ngeliatin aku terus dari tadi? Emangnya dengan ngeliatin aku bisa kenyang?” Sabrina mulai berkomentar.

Rendra diam, sedang menyusun kalimat-kalimat puitis yang tak sembarang. Ia bertekad untuk membuat Sabrina tertegun dalam pesonanya. Sebab, Sabrina bukan perempuan yang mudah tersihir kata-kata romantis.

Sabrina masih menatap Rendra. Dalam sirat mata Rendra, terbaca jelas suasana hatinya. Sabrina sudah tahu bahwa teman hidupnya itu hendak membuktikan pesonanya sebagai penulis yang mahir meracik kata-kata cinta hingga membuat wanita tergila.

“Sabrina ...” Rendra mulai menggenggam jemari istrinya. Tatapan matanya serius.

Sabrina menatap Rendra tidak fokus, ia tak bisa menahan tawa atas sikap Rendra. Namun ia berrusaha menghargai kegugupan suaminya.

“Sabrina, istriku ...” ucap Rendra penuh penghayatan.

Sabrina tersenyum menahan tawa, “Apaaa? Boleh diulang sekali lagi?”

“Sabrina, istriku ...”

Dan Sabrina masih terus menahan tawa. “Iya, Rendra, suamiku,” ucap Sabrina menggoda.

Rendra terdiam, bibirnya semakin kelu.

“Kok diam sih? Lanjutin doong,”

Rendra menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, “Sabrina, istriku ..”

“Ya,”

“Kamu jangan jawab dulu dong, Aku kan lagi nyusun kata-kata,” ucap Rendra setengah merajuk.

Sabrina tersenyum dan berusaha biasa, meski sebenarnya ia ingin sekali tertawa.

“Sabrina istriku ... Selamat satu bulan pernikahan. Aku bahagia punya kamu. Aku bahagia jatuh cinta sama kamu. Karena sebelumnya, jatuh cinta sama kamu adalah hal paling menakutkan buatku. Aku takut kamu pergi, menjauh, dan gak mau kenal aku lagi. Sampai saat ini aku tetap takut. Aku takut berpisah sama kamu. Aku sayang sama kamu, Sab. Sejak kita pertama bertemu di malam puisi, aku jatuh hati sama kamu. Kamu satu-satunya perempuan yang bisa membuat aku kehilangan kata-kata. Aku gak tahu gimana caranya bilang cinta sama kamu. Jujur, aku bingung. Kamu terlalu istimewa jika harus diperlakukan biasa. Kamu istimewa buatku, Sabrina. Aku cinta sama kamu. Dan ingin terus jatuh cinta sama kamu.”

Rendra diam, memandangi Sabrina yang terdiam tanpa berkata apa-apa hingga setetes air mata jatuh di pipi Sabrina. Sabrina menyeka air matanya dan tersenyum jahil “Katanya penulis yang paling romantis, dipuja puji banyak gadis. Tapi, masa ngerayu aku cuma segini doang?”

Rendra diam. Ia sibuk mencari kemenangan di mata Sabrina. Tetes air mata itu sudah cukup menjadi bukti bahwa apa yang disampaikannya menetap di hati Sabrina.

“Kan aku sudah bilang, kalau kamu terlalu istimewa untuk diperlakukan biasa. Hal mudah untuk aku menebar kata-kata romantis, tapi aku butuh keberanian lebih untuk bicara langsung kepada inti, gak bertele-tele. Dan kamu ngajarin aku hal itu. Kita saling bersebrangan. Tapi aku tahu, kalau Allah menakdirkan kamu buat aku agar kita saling menghebatkan. Apa yang kurang di aku, dilengkapi sama kamu.”

Air mata Sabrina jatuh lagi. Didekapnya Rendra erat-erat, tak ingin terpisah.

“Aku mau terus kaya gini. Aku mau terus sama kamu. Tapi kita gak akan lagi berdua,” bisik Sabrina, masih dalam dekapan Rendra.

Rendra mematung, bingung. Dilepasnya pelukan Sabrina. Ia menatap Sabrina, meminta penjelasan. Dengan sumringah Sabrina mengecup pipi suaminya, kemudian menampar Rendra pelan.

“Selamat bapak penulis. Sembilan bulan lagi, kamu punya buntut.”

Mata Rendra berbinar. Ia takjub, masih tak percaya. Didekapnya kembali Sabrina, erat-erat. Sesekali ditatapnya, lekat-lekat.

Untuk : Nyonya Natawisastra.

Kamu adalah kisah yang tak akan pernah aku tulis. 
Bukan karena aku malu, bukan karena kamu tak pernah jadi inspirasiku, 
bukan aku tak ingin kita abadi. 
Tetapi, aku ingin semua tentang kamu hanya milik aku. 
Dan semua milik kita, cukup kita yang tahu. 
Kamu tetap abadi. Di hatiku. 
Karena cinta kita tidak untuk diumbar-umbar.

Yang Mencintaimu,

Rendra Natawisastra.




Saidah




2 komentar on "Kisah Cinta Natawisastra"
  1. Masyaa Allah mba saidah tulisannya. Ada banyak pelajaran berharga yang tersirat maupun tersurat dari cerita diatas :))

    BalasHapus
  2. Baguuuus kasaaaaiiii 😍😍😍😍

    BalasHapus