Hujan baru
saja reda, awan hitam masih merajai tahta langit. Rendra segera bergegas, ia
terburu janji pertemuan. Hari ini adalah kali pertama ia mengajak Sabrina untuk
makan malam. Bukan tentang sepasang sahabat yang larut menghabiskan waktu
bersama, namun tentang sepasang suami istri yang tengah menyemai cinta. Hari
ini tepat satu bulan mereka menjalani kehidupan baru, mengarungi bahtera di
tengah lautan luas.
Sudah sejak
beberapa bulan lalu, Rendra memendam perasaan kepada Sabrina, sahabatnya. Titik
titik rasa kagum itu berbuah perasaan yang tak bisa lagi dibendung atas nama
persahabatan. Mungkin benar, tidak ada persahabatan murni antara seorang
laki-laki dan perempuan, pasti saja salah satunya merangkai cinta dalam diam. Hal
itulah yang terjadi padanya. Ia mendadak tak mampu mengurai rasa, tersembunyi
dalam lakon persahabatan yang tak lagi sedia kala.
Sabrina
adalah perlawanan dari dirinya. Tetapi, bersama Sabrina, ia seperti menemukan
rumah. Tempat ia pulang membawa lelah,
mengadu banyak hal. Tempat ia bergerak leluasa, tanpa harus berpura-pura
agar diterima. Sabrina adalah perlawanan dari dirinya. Bersama Sabrina, ia seperti
berada dalam sebuah arena. Tempat puji dan caci tercipta untuk membentuk
pribadi. Ketika banyak bibir memuji kepiawaian Rendra menulis kata-kata,
Sabrina adalah orang pertama yang melihat dengan seksama. Sabrina bukan barisan
panjang para pengagum karya Rendra, namun Sabrina adalah tempat Rendra
memperbaiki diri. Rendra mengamini pesan makna dari sebuah pariwara, bahwa
untuk bersama tak perlu menjadi sama.
Rendra
sampai lebih dulu. Ia mempersiapkan banyak hal, terutama mempersiapkan diri
untuk menyatakan cinta pada Sabrina. Hal yang tak pernah ia lakukan. Memang terdengar
aneh. Bagaimana sepasang suami istri tak pernah saling berucap cinta. Begitulah
Rendra dan Sabrina. Mungkin karena mereka sudah bersahabat lama, kadang rasanya
ada sesuatu yang menggelitik ketika sama-sama mengucap ‘aku cinta’.
Rendra
gelisah menatap segala persiapan yang berpacu dengan detik di tangannya. Jarum
jam sepuluh menit lagi akan mencapai angka janji mereka, pukul 20.00. Rendra
meyakinkan segala persiapan sempurna. Dijemputnya Sabrina yang mengabarkan
telah berada di pintu masuk.
“Kamu cantik.”
Ini adalah kali kedua Rendra memuji Sabrina. Malam ini Sabrina sengaja
berdandan untuk Rendra, suaminya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk perayaan
satu bulan bahtera mereka. Kali ini beruntunglah Rendra, karena Sabrina
membalas pujian itu dengan senyum malu-malu penuh cinta. Tidak seperti saat
acara lamaran mereka dahulu, Sabrina menjawab canda pujian Rendra “Terima kasih
Mas Rendra. Tapi, aku bukan penggemarmu yang akan histeris dipuji sama kamu.
Biasa aja kaliiiii.”
Rendra
mempersilahkan Sabrina duduk di singasananya. Tak lama, pramusaji datang
membawan hidangan yang telah Rendra pesan sebelumnya. Mereka berdua saling
pandang, dengan sekelebat bahasa hati. Kemudian menyantap makanan dalam diam.
“Kamu kenapa
sih ngeliatin aku terus dari tadi? Emangnya dengan ngeliatin aku bisa kenyang?” Sabrina mulai berkomentar.
Rendra diam,
sedang menyusun kalimat-kalimat puitis yang tak sembarang. Ia bertekad untuk
membuat Sabrina tertegun dalam pesonanya. Sebab, Sabrina bukan perempuan yang
mudah tersihir kata-kata romantis.
Sabrina
masih menatap Rendra. Dalam sirat mata Rendra, terbaca jelas suasana hatinya.
Sabrina sudah tahu bahwa teman hidupnya itu hendak membuktikan pesonanya
sebagai penulis yang mahir meracik kata-kata cinta hingga membuat wanita
tergila.
“Sabrina ...” Rendra mulai
menggenggam jemari istrinya. Tatapan matanya serius.
Sabrina menatap Rendra tidak
fokus, ia tak bisa menahan tawa atas sikap Rendra. Namun ia berrusaha menghargai
kegugupan suaminya.
“Sabrina, istriku ...” ucap
Rendra penuh penghayatan.
Sabrina tersenyum menahan tawa, “Apaaa?
Boleh diulang sekali lagi?”
“Sabrina, istriku ...”
Dan Sabrina masih terus menahan
tawa. “Iya, Rendra, suamiku,” ucap Sabrina menggoda.
Rendra terdiam, bibirnya semakin
kelu.
“Kok diam sih? Lanjutin doong,”
Rendra menarik nafas panjang dan
menghembuskannya perlahan, “Sabrina, istriku ..”
“Ya,”
“Kamu jangan jawab dulu dong, Aku
kan lagi nyusun kata-kata,” ucap Rendra setengah merajuk.
Sabrina tersenyum dan berusaha
biasa, meski sebenarnya ia ingin sekali tertawa.
“Sabrina
istriku ... Selamat satu bulan pernikahan. Aku bahagia punya kamu. Aku bahagia jatuh cinta sama kamu. Karena sebelumnya, jatuh cinta sama kamu adalah hal paling menakutkan buatku. Aku
takut kamu pergi, menjauh, dan gak mau kenal aku lagi. Sampai saat ini aku
tetap takut. Aku takut berpisah sama kamu. Aku sayang sama kamu, Sab. Sejak
kita pertama bertemu di malam puisi, aku jatuh hati sama kamu. Kamu
satu-satunya perempuan yang bisa membuat aku kehilangan kata-kata. Aku gak tahu
gimana caranya bilang cinta sama kamu. Jujur, aku bingung. Kamu terlalu
istimewa jika harus diperlakukan biasa. Kamu istimewa buatku, Sabrina. Aku
cinta sama kamu. Dan ingin terus jatuh cinta sama kamu.”
Rendra diam, memandangi Sabrina
yang terdiam tanpa berkata apa-apa hingga setetes air mata jatuh di pipi
Sabrina. Sabrina menyeka air matanya dan tersenyum jahil “Katanya penulis yang
paling romantis, dipuja puji banyak gadis. Tapi, masa ngerayu aku cuma segini
doang?”
Rendra diam. Ia sibuk mencari kemenangan
di mata Sabrina. Tetes air mata itu sudah cukup menjadi bukti bahwa apa yang
disampaikannya menetap di hati Sabrina.
“Kan aku
sudah bilang, kalau kamu terlalu istimewa untuk diperlakukan biasa. Hal mudah
untuk aku menebar kata-kata romantis, tapi aku butuh keberanian lebih untuk
bicara langsung kepada inti, gak bertele-tele. Dan kamu ngajarin aku hal itu.
Kita saling bersebrangan. Tapi aku tahu, kalau Allah menakdirkan kamu buat aku
agar kita saling menghebatkan. Apa yang kurang di aku, dilengkapi sama kamu.”
Air mata Sabrina
jatuh lagi. Didekapnya Rendra erat-erat, tak ingin terpisah.
“Aku mau
terus kaya gini. Aku mau terus sama kamu. Tapi kita gak akan lagi berdua,”
bisik Sabrina, masih dalam dekapan Rendra.
Rendra mematung,
bingung. Dilepasnya pelukan Sabrina. Ia menatap Sabrina, meminta penjelasan.
Dengan sumringah Sabrina mengecup pipi suaminya, kemudian menampar Rendra
pelan.
“Selamat
bapak penulis. Sembilan bulan lagi, kamu punya buntut.”
Mata Rendra
berbinar. Ia takjub, masih tak percaya. Didekapnya kembali Sabrina, erat-erat. Sesekali ditatapnya, lekat-lekat.
Untuk : Nyonya Natawisastra.
Kamu adalah kisah yang tak akan pernah aku
tulis.
Bukan karena aku malu, bukan karena kamu tak pernah jadi inspirasiku,
bukan aku tak ingin kita abadi.
Tetapi, aku ingin semua tentang kamu hanya milik aku.
Dan semua milik kita, cukup kita yang tahu.
Kamu tetap abadi. Di hatiku.
Karena cinta kita tidak untuk diumbar-umbar.
Yang Mencintaimu,
Rendra Natawisastra.
Saidah
Masyaa Allah mba saidah tulisannya. Ada banyak pelajaran berharga yang tersirat maupun tersurat dari cerita diatas :))
BalasHapusBaguuuus kasaaaaiiii 😍😍😍😍
BalasHapus