Menemukan Wajah Seorang Penulis

on
10/29/2015
Kadang aku bingung harus menulis apa sedangkan di kepalaku sudah banyak sekali kata-kata yang berebut namun tak runut. Mereka berlomba-lomba mencekokiku dengan pemikiran A B D K L M Z.

Mereka berputar-putar di dalam kepalaku yang ukuranya tak lebih besar dari sebuah meja bundar. 
Mereka berdiskusi dengan gaya sok politisi. Mereka membuat aku (kadang) hampir frustasi dengan pemikiran sendiri.


Lalu sekarang, apa yang harus aku tulis lebih dulu?
Apakah kamu pernah mengalami hal sama seperti ini?

Rasanya menyebalkan sekali ketika ada di posisi ini. Bingung - pusing - hingga berakhir tidak menulis apa-apa. Ternyata menjadi seorang penulis itu tidak mudah. Menjadi seorang penulis bukan cuma pekara menulis dan selesai. Banyak fase yang harus dilewati jika memang ingin menjadi seorang penulis, bukan sekedar hobi menulis.


Awalnya ku pikir menjadi seorang penulis itu mudah. Asalkan kamu suka menulis - selesai perkara. Namun ternyata ada banyak hal yang bisa membuatmu pusing tujuh keliling. Hal ini tentang diri, wajah, atau yang biasa disebut ciri khas seorang penulis. Apa yang membedakan kamu dengan penulis lainnya? Dimana menariknya tulisanmu? Dan kenapa mereka harus membaca ceritamu?

Dan fase awal kebimbangan untuk menjadi seorang penulis ada pada jenis tulisan apa yang ingin ditekuni; fiksi dan non-fiksi. Karena aku percaya, seseorang yang suka menulis pasti mampu untuk menulis keduanya, hanya saja dimana letak kekuatan penulis tersebut; fiksi-kah atau non fiksi? Aku pribadi suka keduanya. Banyak hal yang ingin aku gali dari dua jenis tulisan ini. Namun aku meyakini bahwa kekuatan menulisku ada pada genre fiksi; khayalan - imajinasi. Dan aku berusaha untuk fokus pada itu.

Lalu setelah aku menemukan kekuatanku ada pada genre fiksi, bukan berarti perkaraku habis. Sebagai seorang penulis pemula, aku harus punya ciri khas. Mau dibawa kemana tulisanku? Ingin dikenal sebagai penulis apa?

Ambil contoh bunda Asma Nadia, beliau adalah penulis yang konsisten membahas permasalahan rumah tangga. Lihatlah dari judul novelnya, mulai dari Catatan Hati Seorang Istri hingga Surga yang Tak Dirindukan. Lalu coba lihat Raditya Dika, ia sukses membangun image-nya sebagai penulis komedi. Judul bukunya selalu menggunakan nama hewan; Kambing Jantan, Marmut Merah Jambu hingga Cinta Brontosaurus. Dan aku kembali bertanya kepada diri sendiri; ingin seperti apa kamu dikenal?


Selama ini cerita fiksi yang aku tulis bercerita tentang romansa. Berkaca pada pengalaman pribadi dan juga khayalan, aku menuliskannya menjadi cerita. Aku suka mengeksplorasi tokoh dan melekatkan tokoh dalam ceritaku ke alam nyata. Aku sering berbicara pada kaca seolah aku ini aktor yang sedang memainkan peran. Hari ini aku sebagai tokoh A, lalu kemudian aku berganti peran jadi B. Aku mencipta dunia sendiri. Semata untuk menjiwai tokoh yang ingin ku tulis. Aku suka dan menikmati ritual ini, hehehe.

Oke. Kembali lagi pada ciri khas penulis. Dulu (dan kadang masih sampai sekarang) aku menulis tentang romansa anak muda; indahnya jatuh cinta - sakitnya patah hati beserta peliknya drama-drama. Tapi sekarang, aku merasa 'tema' itu tidak lagi relevan dengan keadaanku sekarang. Karena karakter seseorang berpengaruh pada tulisan yang ia buat dan image apa yang ingin ditampilkan. Aku sudah tidak lagi bisa menulis romansa berbau pacaran. Kenapa? Karena dalam kehidupan nyata, aku dalam proses hijrah. Dalam kehidupan pribadi aku sudah memilih meninggalkan pacaran. Dan kini, aku harus kembali mencari diri, wajah, atau ciri khasku sebagai seorang penulis.

Kegalauan itu memuncak. Karena sudah hampir sebulan aku seolah tak bisa menulis. Setiap aku menulis pasti terhenti di tengah jalan dan berakhir terabaikan. Sebenarnya aku mau dikenal sebagai penulis apa? Lagi-lagi pertanyaan itu muncul. Sebenarnya, Alhamdulillah setahun ke belakang aku dipercaya untuk menulis feature tentang travelling. Aku belajar hal baru disini. Bukan hanya jenis tulisanku yang 'berbelok' dari fiksi (sastra) ke feature - soft news (jurnalistik). Namun lebih dari itu. Aku belajar banyak hal, bertemu banyak hal, dan mendapatkan banyak hal dari sana. Sejujurnya aku suka keduanya. Lagipula, latar belakang pendidikanku memang ahli madya komunikasi, aku belajar jurnalistik dan masih menyimpan impian untuk bekerja di ranah ini.

Sebelum aku terpilih menjadi salah satu kontributor untuk menulis tentang travelling, aku sempat ragu. Apa aku bisa? Dan kenyataannya aku bisa meski pada awalnya kesulitan karena tak biasa. Aku merasakan bahwa merubah kebiasaan menulis dari sastra menuju jurnalisme itu tidak mudah, setidaknya untukku. Jujur saja saat aku telah terbiasa menulis feature (by fact - real - bukan imajinasi) dan aku ingin kembali menulis fiksi, aku kesulitan. Aku kesulitan karena sudah lama tidak mempertajam daya khayalku, karena kemarin aku menulis apa yang benar terjadi - ada. Namun  meski menyukai tulisan jurnalisme, cintaku tetap pada fiksi. Karena aku telah memilih fiksi jauh sebelumnya. Kalau pun aku menulis genre lain selain fiksi, itu hanya bentuk belajar dan aktualisasi diri bahwa sebenarnya aku bisa 'memperluas kenyamananku'.

Dan, kembali ke persoalan; aku ingin dikenal sebagai penulis apa? Kalau kata temenku untuk menemukan ciri khas ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah ....... mendefiniskan diri sendiri. Saidah itu siapa? Lalu hal selanjutnya adalah kegelisahan. Sebab, kegelisahan-lah yang mengantarkan penulis menemukan premis untuk mengembangkannya jadi cerita. Dalam fiksi, daya khayal - imajinasi - bermain setelah kita menemukan kegelisahan. Kenapa kegelisahan? Kegelisahan itu adalah bentuk lain dari kejujuran. Bukankah penulis yang baik adalah penulis yang jujur. Seperti halnya saat ini; aku gelisah tentang ciri khas ku sebagai seorang penulis maka jadilah tulisan ini.

Sebagai seorang penulis, kita pun harus menjadi seorang pembaca dan terkadang tanpa sadar kita seringkali 'mengadaptasi' gaya tulisan dari seseorang yang bukunya kita baca. Hal itu wajar, karena kita masih dalam proses mencari diri, wajah, atau ciri khas kita. Suatu hari kita pasti menemukan ciri khas kita. Ciri khas yang memang mewakili diri kita. Ciri khas yang membuat pembaca sudah mengenali kita hanya dari tulisan kita. Suatu hari, aku ingin mendengar pembaca mengatakan

'Gue tau ini karyanya Saidah kan? Coba sini gue liat penulisnya, tuhkan bener Saidah.'
Dan saat itu terjadi artinya aku telah berhasil menemukan ciri khasku. Yuk kita sama-sama menemukan, semangaaaaat!!!



Saidah

Oh Allah, Aku Ingin Hijrah Karena-Mu

on
10/22/2015
Don't be afraid of change. You might lose something good, but you'll gain something better. - unknown.
Kadang kita tahu kita harus berubah. Tetapi kita memilih diam karena terlalu takut kehilangan atau takut menyesuaikan diri dengan hal baru. Namun, hidup memang pilihan dan pilihan selalu bersama dengan resiko.
Beberapa bulan yang lalu, aku sempat menulis tentang 'Hijrahmu sudah sampai mana?'. Disana aku bercerita tentang muslimah yang menginspirasiku untuk bergerak ke arah lebih baik. Jika mereka saja bisa memilih pilihan yang benar dengan resiko yang mungkin jauh lebih besar, kenapa aku tidak bisa?

Berhari-hari aku berpikir tentang hijrahku. Sempat merasa sudah cukup dengan apa yang telah aku lakukan. Dalam pikirku saat itu, dengan berhijab saja aku sudah merasa baik. Setidaknya aku sudah melaksanakan satu kewajiban yang Allah perintahkan untuk muslimah. Meski hijabku sebenarnya masih jauh dari syar'i, sangaat jauh. Aku masih memakai celana jeans yang membentuk kaki, kerudungku kadang masih belum menutupi dada, dan aku tidak memakai kaus kaki. Saat itu aku merasa itu sudah cukup. Tetapi ternyata aku salah. Aku memang melaksanakan perintah Allah tetapi aku masih mengabaikan aturan-Nya. Tak ku sadari selama ini aku telah angkuh.

Sempat terpikir tentang penilaian manusia, terlebih tentang bagaimana reaksi teman-temanku nanti ketika melihatku bergamis dan berhijab panjang? Tak ku pungkiri, ada kekhawatiran takut ditinggalkan. Ada kekhawatiran takut mereka menganggap aku bukan lagi teman yang asyik diajak main atau sekedar bertukar cerita. Dan lagi lagi aku keliru. Seharusnya takutku berganti objek. Jika aku bisa merasa takut dijauhkan teman, mengapa tak terbesit rasa takut ditinggalkan Allah? Pun jika memang akhirnya temanku akan menjaga jarak denganku, aku jauh lebih sanggup menghadapinya. Daripada Allah yang menjaga jarak dariku karena aku tak jua mematuhi perintah-Nya.

Dan malam itu aku memutuskan untuk memulai hidup baru. Gerimis gerimis di mataku mulai menderas. Beberapa ingatan silih berganti menghampiri sekotak memori di kepalaku. Ada perasaan bersalah di hatiku, mengapa tak dari dulu memutuskan untuk memakai gamis dan jilbab panjang menutupi dada. Padahal sudah sedari dulu Papa menasehati perihal pakaian bagi muslimah. Sudah sedari dulu Papaku memintaku meninggalkan jeans-jeans ketatku. Sudah sedari dulu Papaku memintaku untuk memakai baju terusan panjang (gamis). Sudah sedari dulu Papaku memintaku untuk mengenakan jilbab bukan hanya saat sekolah. Sudah sedari dulu. Sedari aku duduk di bangku SMP, terlebih setelah aku telah akhil baligh Papa semakin gencar menasehati.

Sekejap, tiba-tiba rasa rindu hadir. Rindu kepada sekolahku. Rindu diajarkan guru-guruku tentang agama. Rindu hafalan Al-Quran. Rindu sholat berjamaah. Rindu membaca Al-Quran sebelum memulai pelajaran. Rindu mentoring seusai sekolah. Aku rindu semuanya tentang sekolahku. Aku rindu! Ternyata, hidayah Allah itu dekat. Hidayah Allah ada di sekelilingku. Bertahun-tahun Allah mendekatkanku dengan jalan hijrah, tetapi aku tetap bergeming. Bertahun-tahun Allah menungguku menyadari semuanya. Menyadari bahwa hidayah yang katanya ku tunggu sebenarnya telah ada di depan mataku, menanti aku membuka mata dan hati untuk menerima kedatangannya. Bertahun-tahun Allah menungguku dengan sabar. Ilmu telah IA berikan melalui perantara orang tua dan guru, tetapi aku masih saja diam seolah tidak tahu sedikit pun tentang taat pada-Nya. Astagfirullah.

Hidup baruku dimulai. Baru saja dimulai. Seluruh kaos, jeans, dan pakaianku yang dulu tak lagi terlihat di lemari. Semuanya berganti gamis dan kerudung panjang. Di hari pertama aku mengenakan pakaian syar'i, Mamaku sempat heran dan menganggap aku memakainya hanya saat Ramadhan. Keluargaku pun berpikir demikian. Namun, lambat laun mereka mulai yakin pilihanku ini tak sepintas lalu. Meski tak terucap, raut wajah orang tuaku menunjukan rasa bahagia. Mungkin dalam lubuk hati, mereka merasa lega karena ternyata apa yang seringkali mereka sampaikan tidak sia-sia. Nasihat itu kadang memang terdengar menyebalkan, tetapi ia menyelamatkan.

Teman, tolong jangan keliru. Berhijab bukan sebuah akhir yang menyempurnakan. Tetapi awal dari sebuah perubahan. Dari berhijab, inshaAllah kamu akan mampu melihat sesuatu dengan lebih baik dan selalu berkeinginan untuk menjadi lebih baik. InshaAllah. Jadi jangan tunggu hatinya dulu ya. Mengutip perkataan Ust. Salim A Fillah dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang bahwa hukum wajibnya jilbab adalah adanya ayat Allah QS. Al Ahzaab ayat 59. Sedangkan hikmahnya, di antaranya yaitu lebih mudah dikenali sehingga tidak diganggu. Sekalipun hikmahnya hilang, hukum tetap ada.

Yuk, kita coba buka mata dan hati kita agar bisa lebih peka pada hidayah Allah. Bisa jadi, hidayah Allah telah datang kepada kita tetapi kita yang abai.

Mungkin aku harus menoleh pada proses hijrah seseorang dulu sebelum berkaca pada diri sendiri. Wallahualam. Yang aku yakini, rencana dan takdir Allah pasti baik. Mari semangat berhijrah, berbenah diri menjadi lebih baik. Berhijrah karena Allah. Bismillah ...

Tuhan, ku percaya engkau pasti telah merencanakan yang terbaik untuk diriku. Agar ku tak jatuh dan selalu ada di jalan-Mu... - BCL


Saidah