Cerita ini terinspirasi dari gambar di bawah ini. Gambar yang diberikan admin www.oneweekonepaper.com di grup whatsapp. |
Jumat Sore, di akhir tahun 2000
Hujan mengguyur sudut kota dengan derasnya.
Seorang perempuan muda berkemeja hijau tosca dan rok hitam selutut tergesa-gesa mendatangi perempatan jalan sambil memayungi dirinya dengan tas wanitanya. Badannya sudah setengah kuyup. Setengah berlari menuju becak yang ada di tepi jalan di dekat Bank dimana ia bekerja.
Mas, tolong antarkan saya ke jalan S. Parman ujarnya sambil membuka penutup becak yang terbuat dari plastik tebal transparan tersebut. Pemuda paruh baya berkulit sawo matang nampak sedikit terkejut dengan kehadiran perempuan yang tiba-tiba membuka penutup becak. Ia yang awalnya sedang berteduh terhindar dari hujan setelah seharian berkeliling mengantarkan penumpang, sedikit melengos harus mengayuh pedal di kondisi hujan deras tersebut.
Dengan sigap pemuda itu keluar dari becak dan mempersilahkan perempuan berkulit putih itu bergegas masuk, memasang penutup plastik agar air hujan tidak masuk membasahi penumpang. Ditengah derasnya hujan , pemuda itu terus mengayuh. Hanya topi yang menutupi bagian kepalanya, sisanya dipasrahkan basah begitu saja. Matanya mengerjap-ngerjap berusaha menghalau air hujan yang terkena ke matanya. Mengusapnya, kemudian berpegangan pada kendali becak.
Hujan semakin deras
Masih sekitar satu kilometer lagi dari tujuan si perempuan. Perempuan tidak banyak berbicara. Biasanya ia sering mengajak tukang becak mengobrol selama perjalanan, tapi kali ini ia memilih diam. Enggan melawan suara hujan.
Tak berapa lama, Pemuda itu merasa ada yang aneh dengan becak yang sedang dikayuhnya, Ia berhenti sebentar untuk mengecek kondisi becak. Ternyata ban depan sebelah kiri kempes, apabila diteruskan akan sedikit beresiko. Bisa saja becak lepas kendali, apalagi dengan kondisi jalan yang saat itu sedang licin.
Tidak mungkin dia tega menurunkan penumpang ditengah derasnya hujan, saat itu ia lupa membawa pompa tangan biasa untuk berjaga-jaga apabila ban mendadak kempes. Akhirnya, pemuda tersebut melanjutkan perjalanan becak dengan cara mendorongnya.
Si perempuan yang awalnya diam saja, mendadak iba melihat pemuda yang sedang mendorong becak di belakangnya itu. Ia hendak bertanya mengapa harus didorong, tapi sudah mendapat jawabannya setelah ia merasakan kejanggalan dengan jalannya becak yang timpang sebelah.
Perempuan tersebut memberhentikan jalan becak dengan kode memukul atap becak. Tibalah mereka di depan sebuah rumah berwarna kuning gading dengan pintu dan jendela di cat putih. Ada teras dan halaman yang tidak lebar di depan rumah tersebut.
Bergegas perempuan tersebut berlari menuju rumah, berteduh, Mengeluarkan selembar uang lima ribuan.
Pemuda itu bergegas menyusul dan mengambil uang yang ada di tangan perempuan itu. Tampak sekilas oleh pemuda itu, terpampang nama yang begitu singkat tertera di kemeja yang perempuan tersebut kenakan. Tinduh.
Nama mas siapa! teriak Tinduh ingin tahu, volume suaranya bersaing dengan gemuruh hujan.
Pemuda itu berlari kembali, mengayuh becak. Tidak mendengar begitu jelas apa yang diteriakkan oleh Tinduh, hanya bisa melihat sebuah senyuman di antara hujan. Senyuman yang tidak pernah ia lupakan sampai kapanpun.
Itulah pertemuan pertama Tinduh dengan si laki laki berkulit sawo matang
Awal tahun 2001, di sebuah pasar tradisional tengah kota.
Tinduh berbusana santai seraya membawa kantung belanjaannya begitu kewalahan saat berjalan-jalan. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara lonceng berkali-kali. Belum sempat Tinduh berbalik, sudah mendapati sebuah becak yang berjalan tak memperlihatkan tanda berhenti di depannya.
Mendadak gelap.
Maaf saya tidak sengaja Bu, remnya mendadak blong
Masih tidak begitu jelas bagi Tinduh untuk mengenali sesosok penuda yang duduk di hadapannya. Tampak sedang minta maaf bercampur panik. Orang-orang sudah ramai berkerumun di sekeliling mereka.
Tinduh mendapati betis kirinya yang membiru ditabrak becak. Orang orang sekitar memberikan pertolongan seadanya. Sesaat Tinduh kembali berdiri sedikit tertatih, berjalan menghampiri bangku panjang di tepi ruko.
Tinduhmasih sedikit shock dan tidak terlalu banyak
Hanya berkata,
Tolong bawa becaknya hati hati dong
Sekali lagi pemuda itu meminta maaf sambil panik.
Saya minta ganti rugi kalau seperti ini , keluh Tinduh tak menatap betul siapa yang sudah menabrak dirinya
Aduh saya tidak punya uang banyak bu. Bagaimana sebagai permintaan maaf, saya gratiskan naik becak saya kapanpun dan dimanapun Ibu mau
Seketika, Tinduh menoleh mendengar tawaran tersebut. Dan alangkah terkejutnya Tinduh saat melihat pemuda di hadapannya tersebut adalah Si Pemuda berkulit sawo matang yang mengantarkanna ke rumah dua minggu lalu
Tidak-tidak saya tidak mau, saya harus tetap membayar kamu. Oh iya saat itu saya berteriak bertanya siapa nama Mas tapi tidak di jawab Mendadak menjawab dengan intonasi berbeda. Seakan tidak mau menyusahkan sang lawan bicara
Maaf bu, sekali lagi saya minta maaf. Nama saya Majid panjangnya Dul Majid balasnya seraya meremas jarinya sendiri. Hendak bersalaman tapi tidak dalam kondisi yang tepat.
Dan satu lagi, mas tidak usah memanggil saya Ibu. Cukup Tinduh saja, dan saya memanggil mas dengan nama Majid. Tidak keberatan tanya Tinduh sambil menatap Majid
Majid menggeleng tidak apa apa. Tak membalas tatapan Tinduh dan segera berdiri membantu Tinduh.
Kali ini ia tidak mengantarkan si perempuan dengan senyuman yang menggelayut dipikirannya selama ini. Ia memanggil teman satu profesinya sesama tukang becak untuk mengantarkan. Sementara ia harus berkutat dengan becaknya yang sudah mencelakakan orang tersebut. Orang yang dirindukan dalam diam.
Awal Februari 2001
Matahari kian meninggi, Majid sengaja menunggu agak lama di depan kantor Bank biasa dia beristirahat. Hari ini hanya tiga penumpang yang dia antarkan, selebihnya ia habiskan waktu hampir menjelang sore untuk menunggui Tinduh pulang kerja.
Dari kejauhan sudah tampak perempuan berkemeja putih dengan celana panjang hitam berlari kecil menuruni anak tangga depan kantor Bank milik negara tersebut. Majid spontan melambaikan tangan ke arah Tinduh. Perempuan itu tersenyum dua jari, menunjukkan susunan gigi putihnya yang rapi. Senyum yang disukai Majid, Tukang Becak kemarin sore.
Selamat sore Bu, eh, Tinduh Majid menyapa gelagapan
Sore bang Majid sapa Tinduh santai
Majid agak sedikit canggung dipanggil Bang oleh Tinduh,
Mau diantar kemana hari ini. Langsung pulang?
Tinduh menggeleng, Antar saya ke Taman Kota seraya masuk ke dalam becak
Siap kemudian becak berjalan pelan.
5 menit kemudian
Mereka sudah sampai di taman kota.
Taman kota itu cukup besar, banyak pedagang kaki lima yang berjualan di tiap sisinya. Bentuk taman tersebut persegi empat, di dalamnya ada wahana bermain anak-anak, panggung, dan Menara yang dibawahnya ada relief tentang perjuangan kemerdekaan Negara Indonesia. Di sisi baratnya ada lapangan basket yang ramai oleh anak muda. Di sisi selatannya, terdapat toilet umum dan pos polisi. Di dekat pos polisi tersebut ada patung polisi dengan seragam lengkap berdiri tegak dengan sikap istirahat. Biasanya anak anak sering berfoto dengan patung polisi tersebut, semacam ada kebanggaan di dalamnya.
Tinduh meminta untuk mengitari taman kota tersebut satu kali putaran, kemudian Tinduh mengajaknya untuk memarkirkan becak di sisi selatan taman. Dan mengajak Majid isitrahat sejenak di bangku taman yang disediakan dengan atapnya agar pengunjung tidak kepanasan atau basah ketika hujan.
Tinduh membuka percakapan,
Sudah berapa lama Bang Majid kerja di kota ini
Ehm, baru satu tahun. Saya merantau dari jawa, lebih tepatnya dari Madura
Semburat jingga menghias langit kota sore itu. Tak banyak yang berkunjung ke taman, karena tidak sedang akhir pekan. Hanya beberapa anak kecil berlarian bersama sang ayah di halaman rumput yang terhampar di depan Tinduh dan Majid yang sedang berbicara.
Saya juga merantau, dari pelosok kalimantan ini. Saya keturunan dayak banjar
:Ayah saya Dayak, mamah saya banjar sambung Tinduh
Selama pembicaraan itu tidak ada satupun dari orang itu saling menatap.
Penampilan Majid yang mengenakan celana kargo menggantung dibawah lutut, kaos berkerah warna birunya yang sudah kucel membuatnya merasa tak pantas
Saya sering ke sudut taman kota ini, persis di tempat kita duduk sekarang. Membuang segala beban kerja, merenungi seperti apa masa depan. Membiarkan semuanya menguap bersama senja. Saya lebih suka menyendiri
Majid tampak serius mencermati setiap perkataan Tinduh.
Oh iya dari gaya bahasa Bang Majid bicara tidak terdengar lagi logat maduranya lanjut Tinduh seraya menatap Majid yang tidak menatapnya.
Saya lahir di Madura, tapi saya dibesarkan di Surabaya. Dan saya tidak begitu paham dengan bahasa Madura. Aneh kan? Orang madura tidak bisa ngomong madura
Tinduh terkekeh.
Itu sama saja seperti saya Bang, saya juga walaupun ayah saya Dayak, saya tidak terlalu bisa berbahasa Dayak. Saya lebih suka berbahasa Banjar. Bang Majid sudah setahun disini pasti sudah bisa bahasa Banjar kan?
Majid mengangguk.
Kawa, baya sedikit sedikit ja ulun jawab Majid yang artinya Tapi cuma sedikit saja saya bisanya
Tinduh kembali bertanya,
Kenapa Bang Majid merantau jauh dari pulau seberang yang lebih ramai ke Kalimantan?
Majid tertegun sejenak, menghela nafas sambil menjawab pertanyaan Tinduh
Merantau itu jelas pilihan. Bukan suatu kebetulan. Begitu banyak kebahagiaan yang mungkin kita tinggalkan di tanah kelahiran kita sendiri. Tapi dengan merantau sedikit banyak kita belajar bahwa kita harus berprinsip untuk menunda kebahagiaan kecil tersebut untuk kebahagiaan lebih besar
Tinduh cukup puas dengan jawaban Majid yang tak disangka-sangka begitu bijak.
Bagi saya kebahagiaan terbesar di dalam hidup ini adalah saat kita bisa membuat bahagia orang yang kita sayangi. Tanpa mereka, orang tua, sanak keluarga saya bukan apa apa dan saya tidak ingin menjadi beban bagi mereka lagi. Sudah terlalu banyak pengorbanan yang mereka berikan kepada saya dari lahir sampai saya lulus sekolah. Sehingga saya harus membalasnya kali ini
Majid menghela nafas lagi seakan menyampaikan kerinduan akan keluarganya selama ini.
Suatu hari walaupun saya hanya tukang becak, saya ingin membangun sebuah Mesjid agar amal jariyah terus berjalan. Menurut saya, kita bisa saja mencari uang sebanyak banyaknya di dunia saat ini tapi itu tidak untuk kehidupan yang kekal. Maka harus mempersiapkan tabungan amal untuk di akhirat kelak
Majid menolehkan pandangannya sejenak ke Tinduh kemudian membalikkannya lagi ke depan.
Walaupun Tinduh tidak berada didalam keyakinan yang sama dan tidak terlalu banyak mengetahui tentang istilah yang diucapkan oleh Majid tapi ia kagum dan mendoakan agar cita cita Majid tercapai.
Ayo kita pulang, sudah mau Magrib. Bang Majid harus ibadah kan? ajak Tinduh sekaligus menutup percakapan senja itu.
17 Februari 2001
Senja berganti pekat malam. Tinduh sedang membereskan meja makan nya terkejut mendengar ketukan keras dari pintu rumahnya.
Tunggu sebentar
Tinduh membuka pintu dan mendapati Majid yang sudah berdiri didepannya penuh kegelisahan.
Boleh saya masuk? tanya Majid sambil mengatur nafas.
Tinduh mempersilahkan masuk dan menutup kembali pintu rumahnya.
Maaf kalau saya lancang, tapi ada hal yang saya harus bicarakan. Ini penting
Majid melanjutkan,
Besok akan ada penyerangan terhadap suku Dayak dari sekelompok suku saya yang ingin menguasai kota ini. Informasi ini saya dapatkan dari kerabat saya yang terlibat di dalamnya. Kamu harus pergi malam ini juga
Tinduh menatap bingung, Tapi saya harus kemana?
Majid berpikir sejenak, Ada sanak famili di ibukota provinsi?
Tinduh mengangguk. Ia tahu harus pergi kemana.
Nah sekarang kamu bergegas. Ini tentang keselamatan kamu, dan tolong beritahukan ke keluarga kamu tentang hal ini
Tinduh menjawab sambil gemetar ketakutan
Maaf sebelumnya Bang Majid. Orang tuaku sudah tidak ada lagi. Mereka mengalami kecelakaan saat pulang mengantarkan saya ke kota ini Majid menatap iba perempuan dihadapannya. Ingin rasanya melindungi. Tapi apalah daya, konflik yang akan terjadi sangat bertolak dengan latar belakang suku mereka. Tidak akan mudah, bahkan bisa saja saling membahayakan satu sama lain.
Malam itu senyap.
Tidak ada lagi pertemuan setelahnya. Entah sampai kapan. Keduanya pun tidak ada yang tahu.
18 Februari 2001
Kota yang begitu lengang, warganya masih beraktivitas seperti layaknya di hari libur. Dihebohkan dengan kebakaran di beberapa tempat. Rumah rumah suku dayak dibakar, kendaraan seperti mobil juga ikut menjadi korban. Dan beberapa nyawa suku dayak melayang akibat penyerangan berkelompok oleh suku Madura. Mereka berkonvoi keliling kota. Merayakan kemenangan atas penyerangan tersebut.
Tiga hari berlanjut setelah penyerangan.
Suku dayak dari pedalaman turun ke kota melakukan perlawanan balik, tidak terima dengan perlakuan terhadap suku mereka.
Kota mendadak lumpuh. Mencekam. Listrik sering padam.
Sejak 18 Feburari 2001, ratusan nyawa melayang baik dari suku Madura dan Dayak. Ratusan rumah terbakar, dan Becak juga menjadi sasaran pembakaran oleh Suku Dayak. Becak becak tersebut dikumpulkan di jalan taman kota dan dibakar tanpa sisa. Ribuan orang madura diungsikan dengan kapal kembali ke pulau jawa.
Upaya perdamaian terus dilakukan dari pemerintah pusat baik dari kementerian, kepolisian dan tokoh masyarakat etnis yang terlibat.
Sebulan berlalu, kota begitu lengang. Ikut berduka atas kerusuhan etnis yang terjadi. Puing puing bangunan terbakar banyak menghias sudut kota. Aktivitas kembali normal, walaupun tidak seperti sedia kala.
Jauh dari kota tersebut.
Tidak ada kabar dari Majid. Keberadaannya seperti hilang di telan bumi. Tinduh mengamankan diri di tempat keluarganya. Pikiran Tinduh mulai dihantui dengan berbagai macam perkiraan.
Apakah Bang Majid terlibat perang etnis tersebut
Apakah dia pulang ke kampung halamannya
Atau jangan jangan dia sudah.....
Tinduh menggelengkan keras kepalanya, ingin memberhentikan semua bayangan itu.
Tidak ada lagi sisa sejarah kerusuan kota tersebut. Semua kembali damai.
Suku Madura dan Dayak hidup rukun sampai saat ini.
Langit bercorak jingga terhampar di sudut barat. Seorang perempuan duduk di salah satu bangku taman kota. Keramaian di sekitar tidak seramai hatinya saat itu. Sepi. Semacam kelengangan panjang. Tiga belas tahun sudah dilewatinya.
Tinduh masih bekerja di Bank, jabatannya kini sebagai direktur operasional. Di tengah hujan deras yang menyapu kota, membuat tirai air mengelilingi tempat Tinduh duduk sekarang. Mengambil payung dan bergegas menuju mobilnya.
Kembali ke kantor.
Ada sebuah amplop coklat muda tersimpan di dalam laci kerjanya. Surat yang menjawab segala keluh kesah tentang perasaannya selama 13 tahun. Sejatinya surat tersebut sudah dibaca oleh Majid saat itu, tepat sebelum Majid datang memberitahukan dirinya agar segera pergi mengamankan diri.
Namun kini surat itu hanya dibiarkannya melapuk di laci meja. Tidak tahu akan mengirimkannya kemana. Yang pasti ia sudah mengirimkan isi surat itu melalui doa.
Doa seorang perindu dalam diam.
Doa seorang yang dirindukan senyumnnya oleh sang idaman.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan tokoh maupun cerita hanya kebetulan belaka.
Buuumm...
Terdengar suara dentuman keras. Beberapa warga panik, mereka berhamburan keluar rumah. Ibu yang sedang menggoreng kerupuk seketika mematikan kompor, ikut keluar mencari tahu.
"Aya naon ieu teh?"
"Abdi oge nteu nyaho."
"Aya bom lain?"
"Lain, kalo aya bom mah udah meledak, kabakaran atuh."
Mereka semua saling tanya dan mencari jawab. Tapi tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Dari arah sawah, Bapak terpogoh-pogoh menghampiri Ibu yang berkerumun di depan rumah.
"Aya naon Pak Usep?" ceu Odah bertanya pada Bapak. Dari gelagatnya, Bapak seperti tahu akan sesuatu.
"Nteu nyaho, ceu Odah. Geus atuh sadayana masuk ka imah masing-masing. Gak ada apa-apa," Bapak menginstruksi warga untuk kembali ke rumah masing-masing. Tak memberi jawaban. Dengan tertib warga membubarkan diri. Mungkin memang tidak ada apa-apa, pikir warga.
Bapak duduk diam di bale-bale depan rumah, tatapan matanya kosong, Bapak seperti memikirkan sesuatu. Raut wajahnya tak biasa, entah panik, takut, atau apa. Ibu sedari tadi sudah melanjutkan menggoreng kerupuk untuk berjualan nasi goreng malam nanti. Tak lagi memikirkan apa yang terjadi.
Usai membereskan perlengkapan untuk berjualan, Ibu menghampiri Bapak yang masih duduk di bale-bale. Ibu menyodorkan segelas teh manis hangat dan sepiring singkong goreng, namun Bapak diam saja. Wajah Bapak memucat. Dadanya naik turun, bola matanya bergerak liar.
Ibu menatap Bapak kebingungan. Berkali-kali Ibu memanggil Bapak, namun Bapak tetap diam. Tiba-tiba, setetes air mata jatuh di pipi Bapak. Bapak menangis. Ibu semakin bingung, tak mengerti.
"Pak, kunaon, Pak?"
Bapak diam dan menjawab Ibu dengan pelukan. Meski tak mengerti, Ibu membalas pelukan Bapak dengan erat.
-
Malam masih muda. Bapak dan Ibu sudah membuka lapaknya di persimpangan jalan. Meski mereka tinggal di desa dekat kaki gunung, tak berarti lapak nasi goreng Bapak sepi pembeli. Rasa nasi goreng buatan Bapak yang enak dan harga yang mampu dijangkau oleh warga desa membuat nasi goreng Bapak selalu laris dinikmati pembeli.
Malam menunjukan pukul delapan, tak seperti biasanya banyak sekali mobil-mobil yang melintas. Sepengamatan Bapak dan Ibu, sekiranya ada lebih dari sepuluh mobil yang sudah melewati lapak mereka. Bahkan motor pun seakan ikut bergerombol mengiringi. Ibu mengamati lebih dekat, dibacanya tulisan yang tertera pada salah satu mobil, BASARNAS. Bapak terdiam mendengarnya, Ibu menoleh ke arah Bapak. Mereka saling pandang. Mata Bapak berkaca-kaca, mengenang sesuatu.
-
Dua belas tahun yang lalu. Sudah cukup lama waktu itu terlewati. Seharusnya sudah cukup waktu bagi seseorang melupakan kenangannya. Namun Bapak tak mampu begitu saja melupakan kenangan itu, kenangan tentang...Anggrek.
Semasa muda dulu, Bapak termasuk pemuda yang aktif. Kecintaannya pada alam dan jelajah membuat Bapak menjadi salah satu anggota unit kegiatan mahasiswa pencinta alam. Disini pulalah Bapak menemukan cinta pertamanya. Seorang gadis bernama Anggrek. Gadis periang dan pemberani. Gadis impian Bapak selama ini. Gadis pertama yang membuat Bapak begitu terbuai asmara, gadis yang mampu membuat Bapak terjaga untuk menulis kata cinta.
Berbulan-bulan Bapak hanya memendam rasa pada Anggrek. Bapak tak berani menyampaikan perasannya, Bapak takut Anggrek akan menjauh dan pertemanan mereka kandas dalam sekejap. Namun, Bapak tak bisa menyimpan lebih lama perasaan di hatinya. Dan Bapak memutuskan untuk menyatakan cinta saat mereka tiba di gunung Salak.
Bukan tanpa alasan Bapak memilih gunung salak sebagai tempat istimewa untuknya menyampaikan perasaan. Sebab, di gunung Salak terdapat bunga Anggrek yang indah. Bapak ingin memetiknya satu dan memberikannya pada Anggrek, gadisnya.
-
Mobil-mobil itu berjalan menuju penangkaran sapi desa cipelang. Rupanya firasat Bapak benar. Sore tadi saat sedang menggarap sawah, tiba-tiba hati Bapak jadi gundah. Semenit kemudian terdengar suara dentuman keras dari arah kaki gunung. Bapak tak bisa memastikan apa yang menyebabkan bunyi dentuman itu. Namun rasa gundah di hati Bapak semakin membuat dadanya sesak. Dan ternyata sebuah kecelakaan besar terjadi. Ada sebuah pesawat yang menabrak dinding gunung Salak. Entah bagaimana kronologinya, Bapak belum mencari tahu. Yang Bapak tahu, ia seperti akan kembali kesana. Setelah dua belas tahun.
Firasat itu, bukan baru hari ini dirasakan Bapak. Tiga hari yang lalu entah mengapa tiba-tiba Bapak memimpikan Anggrek. Dalam mimpi, Anggrek memanggil-manggil nama Bapak. Adegan itu persis sama seperti saat terakhir kali Bapak bertemu Anggrek. Anggrek terus saja memanggil nama Bapak, membuat rasa bersalah Bapak semakin menggelisahkan.
"Bu, bapak harus ikut mencari. Selama ini Bapak selalu bersembunyi. Bapak mohon izin sama Ibu untuk jadi sukarelawan."
"Bapak yakin? Bertahun-tahun Bapak gak pernah lagi naik gunung, bertahun-tahun Bapak ninggalin masa lalu itu, Bapak yakin sekarang mau ikut jadi sukarelawan?"
"Bapak yakin.
-
Hari itu, Bapak dan tim pencinta alam kampus telah sampai di kaki gunung salak. Mereka sampai saat senja sehingga harus menunggu esok pagi untuk memulai pendakian. Sepanjang malam, Bapak tidak bisa tidur. Ia terus saja memikirkan bagaimana reaksi Anggrek saat Bapak mengutarakan perasaannya. Dan Bapak tetap terjaga hingga keesokan harinya.
Seperti biasa, sebelum memulai pendakian, pemandu memberikan sepatah dua patah wejangan pada para pendaki. Di antara wejangan-wejangan tersebut, salah satunya adalah pendaki dilarang memetik bunga Anggrek yang terdapat di gunung salak. Seketika Bapak langsung lesu, namun ia tidak menghiraukan. Hanya satu, tak akan ada masalah, pikir Bapak sempit.
Pendakian pun dimulai, tim bapak terdiri dari delapan orang. Pria wanita sama jumlahnya, agar pria bisa melindungi wanita. Dan tentu saja Bapak sangat ingin melindungi Anggrek.
Semua berjalan sangat lancar, hingga tiba-tiba kabut turun sangat pekat, membatasi jarak pandang. Tanpa pikir panjang, Bapak langsung menarik tangan Anggrek, menepi dari tim. Karena jika cuaca sedang tidak bersahabat, pemandu akan meminta seluruh pendaki untuk kembali ke pos. Perjalanan mereka yang memang belum jauh dari pos, membuat mereka mau tak mau kembali.
Anggrek kebingungan. Mengapa tiba-tiba Bapak menariknya untuk menepi dari rombongan? Padahal harusnya mereka tetap bersama dan kembali ke pos. Namun, Bapak tak ingin kembali ke pos buru-buru. Ia ingin menyampaikan tentang isi hatinya pada Anggrek sebelum mereka kembali ke pos.
"Loh, kenapa kita nepi dari rombongan, Sep?"
"Sebentar aja, An. Ada yang pengen gue omongin sama lo."
"Apa? Gak sebaiknya nanti aja? Gue takut kita ketinggalan rombongan."
"Tenang aja An, gue hafal kok daerah sini. Gue udah dua kali naik gunung salak, ini ketiga kali. Gue tau kok jalan ke pos."
"Okee. Terus lo mau ngomong apa?"
Bapak terdiam menatap Anggrek. Kemudian, diberikannya setangkai bunga Anggrek berwarna ungu kepada Anggrek.
"An, udah lama gue mau bilang ini. Tapi, gue terlalu takut kalau nantinya pertemanan kita akan jadi bubar jalan. Setelah sekian lama ngeyakinin hati gue sendiri, akhirnya gue berani untuk bilang kalau gue......" Bapak sengaja menggantungkan kalimatnya, untuk mengumpulkan keberani lebih dari sebelumnya.
"Kalau?" Anggrek menunggu Bapak meneruskan kalimatnya.
"Kalau gue sayang banget sama lo. Gue mau lo jadi pacar gue."
Hening. Bapak dan Anggrek sama-sama terdiam. Bapak menatap Anggrek menunggu jawaban. Anggrek terlihat menarik nafas kuat-kuat, sedetik kemudian Anggrek tersenyum.
"Gue mau, Sep. Gue mau jadi pacar lo!"
Bapak senang bukan kepalang. Begitu juga Anggrek. Pendakiannya kali ini terasa begitu istimewa dan romantis. Mereka pun memutuskan untuk segera kembali pos, takut kabut semakin lebat.
Sudah lima kali Bapak dan Anggrek berputar-putar di jalan yang sama. Anggrek mulai kesal, takut, tapi jiwa petualangnya jauh lebih dominan daripada rasa takutnya. Ia tetap berpikir positif. Mungkin karena kabut perjalanan yang seharusnya sebentar dan mudah sedikit mendapat hambatan. Akhirnya, Bapak dan Anggrek memutuskan untuk beristirahat di sebuah saung kecil. Menunggu pagi, menunggu kabut reda, menunggu cahaya.
-
Bapak sudah bergabung bersama tim SAR dan sukarelawan untuk mencari keberadaan pesawat dan para korban. Sebelum memulai pencarian, mereka berdoa terlebih dulu. Dalam hati, rasa bersalah itu semakin menggelisahkan Bapak. Untuk pertama kalinya setelah dua belas tahun, Bapak kembali menginjakan kaki di tempat penuh kenangan ini. Kenangan yang tak bias oleh waktu, kenangan yang terus melekat. Kenangan yang membuat Bapak tertawan dan memutuskan tinggal di sebuah desa. Desa Cipelang, Bogor, Jawa Barat.
Bersama tim pencari dan sukarelawan, Bapak menyusuri jengkal demi jengkal jalan yang memilukan itu. Mata mereka harus waspada, jangan sampai mengabaikan jejak pesawat ataupun korban. Mereka mencari, tak hanya sekedar mendaki.
Berhari-hari Bapak mencari, satu per satu perjalan mereka menemukan hasil. Bangkai pesawat ditemukan dalam keadaan hancur, begitupula dengan korban. Bagaimana bentuknya sudah tak mampu dideskripsikan.
Selama berhari-hari pencarian, entah mengapa Bapak merasakan separuh hatinya merasa tenang. Sedangkan separuhnya lagi tentu saja begitu pedih melihat tragedi ini. Namun, kegelisahannya berhari-hari yang lalu tentang Anggrek seperti menguap tanpa bekas. Rasa bersalah itu seperti sudah termaafkan saat Bapak menyempatkan diri berdoa di tempat terakhir ia bersama Anggrek, di saung itu. Meski tak mampu melihat Anggrek, Bapak bisa merasakan bahwa Anggrek hadir dan melihatnya. Bapak bisa merasakan amarah Anggrek yang selama ini membuatnya tertawan dan tak bisa keluar dari desa itu sudah terhapus. Karena Bapak tak lagi lari dan bersembunyi.
-
Di hari terakhir pencarian, Bapak kembali berdoa untuk Anggrek. Untuk kesalahan Bapak melawan wejangan pemandu untuk tidak memetik Anggrek dan untuk kesalahan Bapak yang memberikan Anggrek itu untuk Anggrek. Entah apa yang terjadi malam itu, saat beristirahat di saung, Bapak merasa lelah sekali dan begitu pulas tertidur. Sebelum tidur, Bapak telah memastikan bahwa Anggrek ada di sisisnya dan menggenggam tangannya. Namun ketika cahaya matahari menyilaukan Bapak, ketika Bapak terbangun dari tidur, Bapak tak lagi melihat Anggrek. Yang ia lihat hanya setangkai bunga Anggrek yang ia beri untuk Anggrek. Seluruh tim telah mencari, tapi Anggrek tak pernah ditemukan hingga saat ini.
"Aku masih cinta kamu sampai saat ini, An."
Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan tokoh maupun cerita hanya kebetulan semata.
-saidahumaira-
"Semua tergantung pada niat. Pada akhirnya alam pun tahu, mana yang tulus dan mana yang hanya pura-pura."
Kalau kata Pak Jamil Azzaini, seorang trainer dan penulis dalam bukunya berjudul 'ON' -
"Tetapkanlah visi hidup Anda, yang jelas dan menantang. Visi yang tidak jelas dan terlalu normatif tidak akan memiliki pengaruh apapun dalam hidup Anda".
Aku tak tahu harus memulai ini darimana. Tapi aku bersyukur kamu pahami ini dengan bijak. Aku senang dan merasa lega. Meski kini kita harus berjauhan. Meski kini kita harus kembali berteman. Membatasi 'kedekatan' kita karena memang belum waktunya.
Pertemuan itu awalnya biasa. Berteman dan semua sangat biasa. Hidup kita tak saling bersentuhan. Hanya sekedar saling sapa sesama teman dalam organisasi. Intensnya hanya tiga bulan. Selebihnya jarang sekali ada pertemuan. Hingga beberapa tahun kemudian, cerita itu mulai menjadi tak biasa.
Pernahkah aku terpikir untuk jatuh cinta kepadamu? Tidak.
Pernahkah aku membayangkan bahwa kamu akan begitu berarti untukku? Tidak.
Aku tidak pernah membayangkan apapun tentang kita. Tidak pernah sama sekali. Saat bertemu kamu, aku telah dengan orang lain. Dan aku tidak melihat yang lain saat bersamanya.
Saat aku sudah tidak dengan masa laluku itu, aku pun tak pernah terpikir untuk bisa bersamamu. Tidak pernah. Antara aku dan kamu. Semua berjalan begitu apa adanya.
Aku sudah lama tahu kamu suka menulis. Tapi itu tak berarti apa-apa sampai kita terlibat percakapan seputar dunia itu. Dan untuk pertama kalinya aku bisa menemukan teman berbagi dengan kegemaran yang sama. Kita bicara banyak. Aku bahagia. Rasanya seperti :
Bangkitkan lagi mimpi-mimpi. Cita cinta yang lama ku pendam sendiri. Berdua, ku bisa percaya.
Sejak itu kita dekat. Kita berbagi. Kita mulai merancang mimpi berdua. Mimpi tentang menjadi seorang penulis. Kita saling menyemangati. Kita saling memuji, mengkritik. Lalu, kamu berkata bahwa kita adalah partner. Dan aku antusias dengan kerjasama kita.
Setiap hari, kita saling berbagi kabar. Kita saling menanyakan 'gimana hari ini kamu udah nulis belum?' atau 'cermin-nya udah jadi?' atau 'aku abis posting di blog, baca ya!' dan kalimat serupa itu. Kita teman, kita rekan.
Semakin banyak bicara denganmu. Semakin aku mengenalmu. Semakin aku menyadari sesuatu. Dan semakin aku gelisah tentang itu.
Tiba-tiba engkau ada. Kemudian engkau hadir.
Di matamu ku melihat ada cinta yang tersirat. Tirani hati merebak.
Biar saja waktu nanti yang menikmati kisah ini. Bersamamu aku senang.
Aku mungkin terlihat biasa saja. Namun ternyata kamu peka dan membaca, tentang isi hatiku yang tertulis dalam karya. Begitupun aku. Diam-diam hatiku bertanya, tentang isyarat yang ku baca dari setiap tulisanmu. Apakah kita sama?
Tapi tak satupun dari kita mencoba saling memastikan. Kita terlalu takut merusak semua yang sudah terjalin. Takut merusak pertemanan. Takut merusak impian. Takut saling menyakiti. Semuanya hanya tersimpan dalam diam.
Namun aku kembali berpikir, sampai kapan menunggu? Aku hanya ingin menanti orang yang jelas. Orang yang tepat. Aku takut terjebak dalam cinta sendirian. Aku takut masa lalu itu terulang. Masa lalu yang sempat membuatku begitu 'hati-hati' menaruh hati. Masa lalu yang sempat membuatku curiga pada setiap hati yang ingin mendekati. Aku takut dikecewakan lagi.
Saat pertama kali dekat denganmu, aku telah menyiapkan hati seumpama benar aku akan kembali kecewa. Dengan begitu aku tidak akan 'drama' jika memang semuanya hanya sepihak. Setidaknya itu sudah jelas. Dan aku akan lebih mudah menentukan sikap. Aku tak masalah. Karena menemukanmu sebagai teman bermimpi dan mewujudkan mimpi itu sudah membahagiakan.
Hingga akhirnya.
Maukah kamu mendampingi aku?
Aku terdiam membacanya. Sedari awal, kamu tahu bahwa aku sedang tidak mencari pacar. Aku sedang mencari pendamping, teman hidup. Aku menginginkan pernikahan. Sungguh aku tak main-main soal itu.
Kini, tiba-tiba aku meragu. Kamu kah?
Aku pernah meminta pada Tuhan untuk dipercaya kembali jatuh cinta. Jatuh cinta untuk yang terakhir kali, dengan dia yang Tuhan pilihkan untuk menjadi pendamping hidupku. Apakah itu kamu?
Aku tak menjawab pertanyaanmu. Meski sejujurnya aku senang. Karena sedari awal - semenjak dinyamankan kamu, kepada yang lain aku tidak tertarik - unknown
Aku justru mengembalikan pertanyaanmu dengan pertanyaanku. Jadi, seorang kamu udah resmi nih jatuh cinta sama aku?
Resmi? Mungkin terdengar aneh. Aku hanya memastikan ini bukan tentang pertemanan. Ini tentang hati.
Lalu, sejak itu kita menjalani semua dengan hati. Entah apa sebutan hubungan kita. Yang sering kita akui adalah 'kita teman luar biasa'. Sebab, kita sama-sama tidak ingin sekedar pacaran.
Entah ini apa namanya. Aku bisa percaya pada orang yang sudah lama tak berjumpa. Bahkan aku bisa jatuh hati tanpa tatap lebih dulu. Hanya karena sering banyak bicara dan mendengarkan. Hanya karena aku nyaman, aku menjadi diriku sendiri. Sebab -
Meski kau kini jauh disana. Kita memandang langit yang sama. Jauh di mata namun dekat di hati.
Dua hari setelah ulang tahunku, kita bertemu. Pertemuan pertama setelah bertahun-tahun tak jumpa. Pertemuan pertama ketika hubungan ini tak lagi sekedar teman biasa.
Bertemu orang tuaku, berbicara banyak sampai larut. Meski mungkin kamu lelah dan mengantuk karena perjalan jauh, tapi kamu tetap berbincang tanpa terburu untuk pamit pulang.
Esoknya. Kamu harus kembali ke tempat rantauanmu. Dan aku hanya bisa mengantarkanmu sampai Damri. Kamu berangkat lebih dulu, aku menyusul dengan adikku. Lima menit saja aku terlambat, aku tak bisa bertemu kamu meski hanya sekedar berucap "hati-hati".
Tahukah kamu betapa aku bersyukur pada Tuhan karena dipertemukan kembali denganmu?
Tahukan kamu betapa aku merasa sangat 'lengkap' bersamamu?
Tahukah kamu betapa aku sangat bahagia menemukanmu?
Aku tak tahu apakah ini terlalu dini. Namun sungguh ku akui, Kamu Yang Ku Tunggu.
Namun sejatinya, cinta tak seperti ini. Semakin aku merasa kamu begitu berarti, semakin aku ingin memilikimu.
Semakin aku mengharapkanmu, menjadi yang terakhir bagiku.
Terima kasih telah yakin padaku. Terima kasih telah mantap menjadikanku teman hidupmu.
Namun, jalan kita belum sampai disana. Dan selama menuju pada yang kita nantikan itu, bagaimana kita sebaiknya?
Aku pernah berkata bahwa tidak ingin pacaran. Aku ingin menikah. Dan sejak awalpun kamu tidak pernah memintaku menjadi pacarmu. Kamu menginginkanku jadi pendampingmu. Namun sepanjang waktu menunggu itu, aku dan kamu masih butuh banyak belajar. Sebab aku tak ingin kamu hanya sesaat. Sebab aku ingin jadi yang terbaik untukmu.
Demi cinta ku pergi, tinggalkanmu, relakanmu.
Untuk cinta, tak pernah ku sesali saat ini.
Ku alami, ku lewati.
Suatu saat ku kan kembali. Sungguh sebelum aku mati.
Dalam mihrab cinta ku berdoa, semoga.
Suatu hari kau kan mengerti siapa yang paling mencintai.
Dalam mihrab cinta ku berdoa pada-Nya.
Karena cinta ku ikhlaskan segalanya kepada-Nya.
Kita memutuskan saling mencintai dengan tidak bersama dulu. Kita saling merindu dalam doa. Saling menjaga dalam harap pada-Nya. Saling membuktikan cinta dengan sama-sama memperbaiki diri. Kita berjauhan untuk berdekatan jika sudah tiba saatnya. Jika Tuhan menghendaki kita berdua bersama dalam ikatan yang diridhoinya, kita akan kembali bersama dengan caranya yang indah.
Maafkan aku yang sering berkata "aku sayang kamu" padahal belum pantas aku mengucapkannya. Maafkan aku yang ingin memilikimu, padahal belum tiba waktunya.
Jika aku memang tercipta untukmu, ku kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu.
Ini dia posternya |
Mas Haris lagi ngajar |
Ini Mas Yudi dar Ezy Travel |
pose pertama |
pose kedua |
Saidah-Kartika-Selviana-Putri Fadhilah |