AKU BUKAN PILIHAN

on
5/23/2014


“Maaf, aku gak bisa ngelanjutin sama kamu lagi…”
“………”
Aku terdiam, mematung. Bibirku rasanya kelu, aku tak tahu harus berucap apa. Dadaku sesak, jelas ada beban disini. Kini semua sudah tak lagi samar, aku bukan pilihan.
“Kenapa baru sekarang?”
Aku gemetar mengatakannya. Aku tak lagi sanggup memandang laki-laki yang berdiri di hadapanku. Ingin rasanya lari tapi itu tak menenangkanku. Aku tetap butuh penjelasan.
“Aku udah usaha untuk bilang sama kamu dari kemarin tapi kamu sulit dihubungi. Maaf.”
Aku tersenyum kecut. Meski ku lihat ada penyesalan dari raut wajahnya namun tak begitu saja mampu meluluhkan hatiku untuk memaafkannya, bahkan untuk memaafkan dirku sendiri. Memaafkan diriku atas kebodohan yang ku buat. Bodoh, karena telah berprasangka baik kepadanya. 
Bodoh, karena telah membiarkan hatiku berharap tanpa kepastian status. Bodoh, karena telah mencintai laki-laki yang justru menjadikanku satu dari beberapa wanita yang bisa ia pilih jika pas di hati.
                “Komunikasi kita gak berjalin dengan baik.”
               Ia kembali melanjutkan penjelasannya. Aku semakin menangis karena kebodohanku mencintainya. Selama ini ku pikir ketika ia mulai tak menghubungiku itu karena kesibukannya dan aku tak ingin terlalu menganggunya, aku berusaha untuk mengerti dunianya. Tapi ternyata, itu bukan semata karena karirnya, ada banyak wanita yang juga ia jajaki di saat yang sama, hingga akhirnya terpilihlah satu wanita yang mungkin pas dengan kriterianya. Jika saja aku tahu dari semula kalau aku menjadi satu dari sekian banyak pilihannya, sudah dari semula pula aku akan mundur. Karena aku bukan peserta dari sebuah kompetisi untuk memperebutkan hati sang pujaan. Karena aku bukan pilihan, yang bisa tersisih karena pemenang.
                “Aku minta maaf udah nyakitin hati kamu.”
             “Aku pikir kamu beda. Aku pikir kamu tulus. Aku pikir aku satu-satunya. Tapi ternyata aku salah…”
                “Maaf, tapi aku harus ngelakuin ini. Aku mencari yang terbaik.”
               “Kamu pikir aku baju yang bisa kamu coba dan kalau gak pas aku gak jadi pilihan kamu. Gak akan kamu beli. Aku pikir kamu pandai memerlakukan wanita dengan baik, tapi lagi lagi aku salah.”
                “Mungkin kamu lupa kalau wanita itu dipilih.”
                “Dan aku juga berhak memilih untuk bersedia atau enggak jadi pilihan kamu.”
                “Aku gak tahu kalau kamu akan sesakit ini.”
                “Karena kamu emang gak punya hati.”
             Kini, lima bulan sudah aku melewati masa itu. Namun sakitnya masih terasa di hati. Meski ia memberi penjelasan dengan tutur kata yang terpuji tapi sungguh itu tak mampu membuatnya kembali menjadi sosok kharismatik di mataku seperti sebelumnya. Rasa sakit itu belum hilang, mungkin sedikit memudar. Namun, aku belum mampu memaafkan.



Saidah

TENTANG HAK & KEWAJIBAN

Halloo guys. Ada yang nonton TONIGHT SHOW NET TV yang bintang tamunya Kamgga Tangga? Gue lupa sih itu pas hari apa & tanggal berapa, yang pasti belum lama ini. Gue nontonnya pun gak full, cuma sepotong. Tapi dari yang sepotong itu ada kata-kata yang ngena banget!! Jadi waktu itu Arie Untung lagi nanya tanggapan Kamgga tentang transportasi umum di Indonesia, khususnya Jakarta. Yang menarik dari perbincangan itu, Kamgga menyinggung tentang HAK & KEWAJIBAN.

HAK. Bener banget kalo kebanyakan orang Indonesia (termasuk gue sih), lebih peduli untuk nuntut HAK-nya daripada menunaikan kewajibannya, meskipun harus berebutan.  Kita merasa memiliki HAK untuk dapat ini, dapat itu, melakukan ini, melakukan itu. Tapiiiii, kita lupa kalo kita punya KEWAJIBAN. Antara HAK & KEWAJIBAN itu harus seimbang. Karena keseimbangan adalah kesempurnaan. Coba aja kalo lingkaran setengahnya gede sebelah, jadinya justru cacat, bukan sempurna kan?

Gue mengakui kalo gue emang lebih sering ‘minta hak’ daripada ‘ngasih kewajiban’. Minta untuk dimengerti padahal gue sendiri jarang bisa ngerti keadaan orang lain. Dan kata-kata Kamgga malam itu nampar gue banget. Selama ini gue sering egois dan mentingin kepentingan gue doang. Gue jadi mikir, kalo gue jadi orang yang punya kekuasaan tertinggi, bisa-bisa amburadul kali ya Negara yang gue pimpin. Mungkin faktor itu juga yang bikin Indonesia sekarang jadi kaya gini….. Mungkin.

Semoga kita bisa nyeimbangin antara hak & kewajiban yah. Semoga kita bisa lebih peka sama orang lain, selayaknya kita juga ingin orang lain peka sama keadaan kita. Semoga kita gak hanya cuma minta tapi juga memberi..






TITIK, KOMA.

on
5/04/2014
                Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Aku kehilangan gairah. Pipiku sudah sedari tadi basah. Hatiku sudah sedari tadi menjerit. Di titik ini, aku merasa sangat tidak berguna. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Aku merasa hampa. Aku ingin menyerah, aku sudah lelah. Berbagai macam buku motivasi memberiku banyak arti namun hanya  bertahan sekian hari, sisanya aku kembali pada diriku yang tak ku sukai ini.
Rasanya aku ingin marah. Namun pantaskah seorang hamba memaki Tuhannya? Tentu saja tidak. Dan aku tidak ingin melakukan itu. Aku masih tahu diri. Aku marah, marah pada diriku sendiri. Aku kecewa, kecewa pada diriku sendiri. Jika saja tak mustahil, aku ingin dilahirkan kembali, menjadi aku yang lebih baik dari ini.
Aku mencoba menguatkan hati. Aku mencoba menata diri. Aku tahu tak ada yang mampu menolongku selain diriku sendiri. Aku yang harus bergerak, aku yang harus melangkah, aku yang harus mengubah, dan aku yang harus memperbaiki diri dan Tuhan yang meridhoi. Aku hanya terpeleset, bukan terjatuh atau terperosok hingga titik terdalam. Aku masih bisa bangkit. Namun rasanya sulit sekali bagiku untuk berdiri apalagi berlari.
Hening. Pening. Aku butuh waktu untuk memahami semua kerumitan ini. Aku butuh dikuatkan, aku butuh pelukan, dekapan, dan kenyamanan. Aku butuh diyakinkan bahwa aku mampu. Aku butuh didoakan. Aku butuh kebaikan. Aku butuh.

“Selama hidup belum berakhir, semuanya masih koma. Jika kamu terhenti pada suatu titik, ingatlah masih ada koma setelahnya, kamu masih bisa meneruskannya. Kecuali Tuhan menakdirkan hidupmu usai. Disanalah cerita berakhir  dengan titik.”

Malam tak bertuah, siang tanpa pesan.
Sinisnya hari menyapa diriku.
 Manusia biasa mungkin takkan sanggup meranami nasib gelap gulita.
 Bentangkan hatiku Tuhan peluk aku.
Cinta sahabat menafkahi jiwa.
 Jika aku menjadi seperti yang lain hidup bercahaya. Mungkin saja aku kehilangan rasa syukur tak tersenyum dalam damai.
 Coba kau jadi aku, sanggupkah bernafas tanpa udara, namun ku nikmati nasib  dan takdir hidup ini bila Tuhan yang mau.
Jika aku menjadi merubah melawan garis yang tertulis, bukan Tuhan tak mendengar doa kita.
Dia tahu yang terbaik.
JIKA AKU MENJADI – Melly Goeslaw.