Ceritanya Kangen Kuliah.

on
1/30/2014
Tiba-tiba kangen kuliah banget!!!

Mendadak, gue kangen banget kuliah. Jadi anak kuliahan ternyata jauh lebih asik daripada gak jadi anak kuliahan. Meskipun banyak tugas, deadline, bergadang demi nilai, itu jauh lebih menyenangkan daripada jadi pengangguran di rumah. Iya, gue masih nganggur setelah resign dari kantor gue dulu. Bukan gak mau nyari kerjaan. Gue masih kepengen banget kerja di media dan nyokap juga masih kekeuh banget gak ngijinin. Alhasil yaudah, gue masih tetap di rumah. Tapi di rumah, bukan berarti gue gak ngapa-ngapain sih. Gue punya kerjaan, salah satunya adalah mengasah kemampuan gue nulis. Yes, impian gue adalah jadi seorang penulis. Gue lagi mencoba untuk tetap pada keyakinan gue tentang PASSION. Ya, meskipun gue tetep harus kerja. Untuk pendewasaan. (sok bijak deh saidah :D)

Oke, sekarang lupain dulu tentang cita-cita gue. Gue disini lagi mau kangen-kangenan sama masa-masa kuliah gue. Masa-masa yang paling menyenangkan. Dan masa-masa yang sekarang gue rindukan. Meskipun di kampus gue bukan anak "gahol' yang punya banyak temen dimana-mana. Gue cuma anak rantauan (ya, karena SMA gue di Tangerang , etapi Tangerang aja rantau. Hahaha) yang temanan juga sama yang itu-itu aja. Gue gak suka cari muka, kalau gue gak suka ya gak akan gue deketin. Kalau suka ya gue temenin. Kalau gak kenal banget ya gak akan sok akrab, kalau udah akrab ya gue bakal gelendotan. Hahaha

Hari Terakhir MPKMB (Masa Perkenalan Kampus)
Awal semester alias mahasiswa baru (maba). Masa-masa dimana gue berkata "akhirnya mahasiswa...." Masa-masa dimana kita masuk fase dewasa. Iya, dewasa. Masa-masa dimana baru pertama kali lepas seragam putih abu-abu. Masa-masa "cultural shock". "Cultural Shock" alias gegar budaya. Budaya anak SMA yang masih semau gue, sekarang masa-masa kuliah, gak ada lagi tuh semau gue. Masa dimana-mana menjadi dewasa adalah hal menakutkan, masa dimana hidup banyak pertimbangan (menurut gue sih). Tapi, sebenarnya ini awal. Bukan akhir. Sama sekali bukan akhir. Ini awal. Awal kehidupan baru gue.


Organisasi Kampus.

Pertama kali jadi mahasiswa, gue langsung memutuskan untuk ikutan organisasi. Voilaaa, BEM alias Badan Eksekutif Mahasiswa. Gue pikir awalnya, di BEM ini gue akan jadi mahasiswa super formal. Etapi, gak juga loh. BEM ini justru asik banget buat gue. Gak seformal, kaku, atau segaring yang orang-orang awam pikir. Disini, gue punya banyak cerita dan kenangan. Apalagi Dept. KOMINFO, tempat dimana gue bernaung. Super Duper asiiiik banget orang-orangnya. Akevin (kadep), Kak Galang (wakadep), Tiara, Adam, Inggit, Kak Ansi, Kak Rani, Aini, Thifa, Tia, Mia, semuanyaa (Peluk satu-satu) Bahkan mungkin, gue jauh lebih ngerasa nyaman di BEM ketimbang di jurusan gue. Hehehe.... 

Dep. KOMINFO BEM -J IPB
Hari Anti Korupsi bareng aktivis kampus
This is Amazing Moment. Dulu, waktu masih jadi anak sekolahan, sering banget lihat mahasiswa yang suka turun ke jalan. Sekarang, gue pengen banget pernah minimal sekali ngerasain hal yang kaya gitu. Aseli, gak ada anarkis-anarkisnya, justru malah kekeluargaan semua. Dari berbagai macam kampus kita semua melebur jadi satu, atas nama mahasiswa, sang agen perubahan. Waktu itu, kita semua pada aksi di depan Istana Presiden untuk menyuarakan aspirasi kita untuk STOP KORUPSI! di Hari Anti Korupsi. Tapi sayang, aksi mahasiswa rasanya gak dipandang berarti di mata pemimpin negara. Cuma jadi tontonan para pengguna jalan, bahan liputan wartawan, sama ledekan anak-anak gaul yang katanya sih mereka punya solusi lebih cerdas daripada kita yang aksi, tapi aslinya cuma diam aja. Omdo (omong doang). Preeetlah...


OutBond Perwakilan Organisasi Kampus
Kata siapa di BEM urusannya cuma politik. Siapa bilang? Siapa bilang jadi anak BEM kaku dan resmi? Gak kok. Ada waktunya dimana kita serius, ada waktunya kita have fun tanpa mesti mikirin urusan kampus. Contohnya ya ini. OUTBOND! Disini, gue mewakili Dept. Kominfo tercinta tentunya. Disini, seluruh organisasi di Diploma IPB berbaur jadi satu.


Bionic Radio 105,6 FM Crew.


Selain di BEM, gue juga sempet ikutan dua lembaga kemahasiswaan lainnya, yaitu BIONIC (komunitas radio) dan AGRIMOVIE (komunitas pecinta film). Tapi di keduanya, gue hanya berjalan beberapa saat aja. Hanya di awal, selanjutnya gue fokus untuk hanya ada di BEM. Lagipula, kedua komunitas ini isinya kebanyakan temen-temen sejurusan gue, jadi mereka bisa berbagi ilmu sama gue dan karena keduanya pun masuk sebagai mata kuliah gue. Kalau BEM kan gak ada mata kuliahnya. Hehehe ... Tapi sekarang jadi nyesel deh, coba dulu semuanya gue seriusin. Itung-itung buat tabungan pengalaman kan :)))





Program Keahlian Komunikasi.

Antien & Me, pake baju kebanggan.
Di jurusan gue, KOMUNIKASI. Temen yang bisa dibilang deket (sering main) sama gue ya cuma beberapa dan itu-itu aja. Tapi yang akrab, sampe curhat soal cowok itu ada Antien dan Dewi. Dua-duanya wanita luar biasa, apalagi urusan cinta hehe :p. Dewi yang setia banget sama Mas PEGE-nya yang meski jauh tetep 'keep romantic' dan 'longlast'. Antien yang dengan kegalauannya ditarik ulur hati dan perasaannya sama mantan pacarnya, Gilang. Dan gue yang ..... Ah, sudahlah! Hahahaha. (aib sendiri jangan dibongkar :p)

Gue - Antien - Dewi.
Dewi, sosoknya sederhana. Dia periang, apa adanya, dan pandai menulis. Gue super salut sama Dewi. Dia gigih banget orangnya dan gak takut dinyinyirin orang. Meskipun baru buku antologi, tapi udah banyak banget buku antologi yang mencantumkan namanya. Gue sih masih kalau jauh sama dia. Dan ada Antien, temen satu kelas dari semester satu sampai semester empat. Aaaaaaah. Dia temen curhat segala curhat, apalagi curhat cowok. Temen jalan, temen ngerjain tugas, temen bolos. Hehe :p.

Communication Day.

Mahasiswa baru wajib banget ikutan COMDAY, alias Communication Day. Acara makrab (malam keakraban)nya anak KOMUNIKASI. Tempat seluruh mahasiswa komunikasi saling mengenal satu sama lain. Acara ini dipanitiain oleh kakak tingkat. Dan ini kelompok gue saat COMDAY, dengan leader Kak Gea.





Mata Kuliah Super Asik! 


Di Gadis Magazine. 
Narsis di Metro TV.

Narsis habis tapping Hitam Putih.
MEDIA VISIT juga jadi kegiatan paling favorit dan menyenangkan buat gue. Yap, karena kita semua berkunjung ke media televisi untuk tahu proses pembuatan sebuah tayangan. SERU!! Media Visit ini bukan mata kuliah tapi nama kunjungan kita. Mata Kuliahnya sih mata kuliah apa aja yang mewajibkan mahasiswa untuk berkunjung ke media. Kaya mata kuliah sosiologi (kunjungan ke Metro TV - Kick Andy), kunjungan ke Trans|7 buat tapping Hitam Putih, wawancara ke Majalah Gadis, dan masih banyak lagiii. Itu seru!! :)))


Mata Kuliah Fotografi.
FOTOGRAFI, salah satu mata kuliah yang menyenangkan dan memumetkan kepala. Seneng, karena ini pengalaman baru buat gue. Meskipun bukan pertama kali kenal kamera DSLR, tapi ini kali pertama motret pake kamera DSLR. Alhasil, bukannya gue yang motret, eh malah gue yang minta dipotret. Hoalaaaah.

Saat Festival Budaya KMN 47 di Gd. Wanita.
Salah satu mata kuliah yang paling gue tunggu adalah mata kuliah 'Komunikasi Budaya'. Kenapa? Soalnya disini kita akan belajar tentang kebudayaan. Bukan cuma kebudayaan Indonesia, tapi juga kebudayaan asing. Dan kelompok gue pun memilih kebudayaan Indonesia, kebudayaan Sulawesi Tenggara, tepatnya BUTON. Di kelompok KOMBUD ini gue jadi lebih mengenal watak dan karakter temen-temen gue, begitupun mereka. Nyatuin sepuluh kepala dalam satu buah wadah dan satu buah kata sepakat itu emang gak pernah mudah. Apalagi semuanya demi nilai. Kadang yang satu maunya begini, yang satu maunya begitu. Kadang gak adil sama beberapa pihak. Keributan-keributan kecil itu dialamin disini. Dan sempat membuat gue jadi 'cukup tahu' sama kelakuan temen-temen gue. Udah Ah ...



Halim Perdana Kusuma - Liputan Sukhoi.
RSCM - Liputan Meninggalnya Menkes.
Yippieee JURNALISTIK. Mata kuliah paling menguras jiwa, raga, uang, absen, dan buat gue juga menguras hati. Pasalnya, disini gue tiba-tiba jatuh cinta sama salah satu wartawan televisi. Aaaaaakkk!!! (blushing). Tapi dibalik menguras segala-galanya itu, JURNALISTIK adalah mata kuliah TERMENYENANGKAN. Iya. Bukan karena gue jatuh cinta sama wartawan televisi itu, bukan. Tapi ya emang karena disini, gue dapet pengalaman baru yang gak akan pernah dilupain. Dimana untuk pertama kalinya, kita (gue, Antien, Adel, Farra, Buce) ngeliput ke Jakarta, (secara kampus gue kan di Bogor). Awalnya kita mau ngeliput soal sidang perdana Afriani (tersangka yang nabrak orang di tugu tani). Tapi ternyata kita kesiangan, sidang dibatalkan, celingak-celinguk gak ngerti mau cari berita apa. Kita pun cek twitter. Twitter emang media sosial yang paling cepat penyebaran informasinya! Dari twitter gue dapet berita dukacita meninggalnya Menteri Kesehatan, Almh. Endang Rahayu Sedyaningsih. Akhirnya kita pun meluncur ke RSCM. Nyampe sana, udah rame wartawan banget. Desek-desekan buat dapatin gambar. Perjuangan sekali! Tapi, perjalanan gue dan kawan-kawan dalam mencari berita gak berenti sampe situ. Gak lama setelah itu, Indonesia dapat berita duka cita lagi, jatuhnya pesawat sukhoi. Kasus sukhoi ini adalah titik awal dimana gue ngerasain yang namanya perjuangan. Jadi wartawan itu gak gampang broh! Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup gue naik ke gunung salak, pakai motor pulak. Demi dapat sebuah berita. Demi dapat sebuah berita pun kita ikut-ikutan jagain KPK. Sampai akhirnya Farra cinta lokasi sama wartawan Berita Satu. Malah mau nikah!! Sweet yaaa :))). Perjuangan emang gak ada yang sia-sia, Alhamdulillah gue dan kelompok dapat nilai A utk mata kuliah JURNALISTIK. :)))) 





Semester Lima.
Di sela-sela ngerjain tugas periklanan.
Ulang Tahun Ovieta, selesai mata kuliah Multimedia.
Pas mau foto bareng sekelas sebelum pada sibuk sama TA.
Di sela-sela pergantian mata kuliah.


Terakhir, mata kuliah paling menyenangkan adalah PERFILMAN. Ini juga salah satu matakuliah paling gue tunggu. Yap, apalagi kalau bukan gue mau jadi script writer-nya. Akhirnya, berbekal ide cerita dari temen gue, Putri Fadhilah Fasya alias Uti, tentang psikopat akhirnya jadilah sebuah skenario yang gue tulis, ABNORMAL. Naskah skenario yang bercerita tentang cinta seorang cowok sama cewek psikopat. Selain jadi penulis naskah, disini gue juga berperan sebagai Ibunya pemeran utama. Ibu yang dianiaya, yang dibunuh sama suaminya. Hiks-hiks :((

Poster Film Abnormal
Film ini pun penuh perjuangan. Segala-galanya emang BUTUH PERJUANGAN. Film ini pun akhirnya rampung dalam jangka waktu satu semester. Shooting yang dari pagi sampai pagi lagi. Keribetan sampai keributan kecil yang hampir bikin tim pecah. Tapi semuanya mendapat akhir yang membahagiakan :)))

Salah Satu Scene Film Abnormal.
Selesai Shooting Film Pendek - DOREMI Production.

Akhir & Awal ...

Semester Lima. Emang bukan semester akhir untuk anak diploma. Tapi ini emang semester terakhir untuk belajar, praktikum, UTS, dan UAS. Karena semester enam kita hanya akan fokus pada dua huruf, TA alias Tugas Akhir. Tugas Akhir yang akan menentukan kelulusan. Tugas Akhir yang menentukan tiga tahun gue kuliah di IPB. Tugas Akhir yang gak kalah menguras jiwa, raga, dan uang. Demi sebuah kata LULUS! Demi gelar A, Md. :)))


Tugas Akhir.
Detik-detik SIDANG.


Pose dulu sama teman seperjuangan sebimbingan.


Akhirnya, Saidah Chumairoh A, Md.
Aaaaaaak. KANGEN SEMUA MOMENT!! Kangen kuliah! Kangen JURNALISTIK, kangen BIKIN FILM, kangen KUNJUNGAN MEDIA, kangen temen-temen. KANGEN semua-muanya kangeeeeen :)))))

LOVE.



Saidah

Kisah Sendu di Hari Rabu

on
1/29/2014
"Kenapa harus kamu datang lagi?"

Mungkin itu pertanyaan tepat yang ingin sekali ku tanyakan padamu.
Setelah lima tahun sejak kata perpisahan itu. Kini, kenapa kamu harus hadir lagi? 
Bahkan kamu tak hanya sekedar ada, tapi menawarkan kembali hatimu yang dulu pernah sangat ku pertahankan. Hatimu yang dulu pernah mati-matian ku jaga. Hatimu yang dulu sepenuh jiwa ku cinta. Hatimu yang selalu aku bahagiakan. Hatimu, yang akhirnya melukaiku. Melepaskanku. Pergi. Jauh....
Lalu, kenapa sekarang kamu kembali? 
Kenapa baru sekarang?
Kenapa di saat aku ingin bahagia tanpa kamu.
Kenapa baru sekarang?
Kenapa di saat aku tak lagi ingin kamu ada.
Kenapa tidak dari dulu, di saat aku masih sangat membutuhkanmu. Di saat hatiku masih seutuhnya mencintaimu. Di saat aku memohon-mohon padamu untuk jangan pergi. Di saat aku menangis, mengiba, memintamu tetap tinggal. Kenapa tidak di saat-saat itu?

Aku sudah lama menyerah mencintaimu. Aku sudah lama simpulkan hatiku untuk tidak lagi mencintaimu. Aku sudah lama menutup pintu hatiku untukmu. Sudah lama.

Sejak saat kamu tak pernah perdulikan keberadaanku. Sejak kamu acuhkan perhatianku. Sejak kamu kunci hatimu untukku. Sejak ada dia .... dia yang membuatmu seutuhnya menyerahkan hatimu untuknya. Dia, dia yang menjadi alasanmu mengenyahkanku. Dia, dia yang menjadi pilihanmu. Dia, yang meyakinkanmu untuk meninggalkanku.

Sekarang kenapa kamu harus ada? Kenapa harus kembali? 
Kenapa harus sekarang?

Kenapa harus kamu datang lagi?



Saidah

Celoteh Saya : Kepentingan di Balik Kepentingan.

on
1/25/2014
(Repost from my wordpress blog : saidahumairahmat.wordpress.com (http://saidahumairahmat.wordpress.com/2013/06/24/celoteh-saya-kepentingan-di-balik-kepentingan/))
22 juni 2013.
Lagi-lagi, pemerintah memutuskan untuk menaikan harga bbm (bahan bakar minyak). Sudah banyak wacana dan opini yang dirundingkan hingga tercetuslah keputusan yang dirasa banyak orang hanya menguntungkan pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan dalih mengalokasikan dana subsidi bbm ke dana untuk membantu rakyat yang tidak mampu, sejatinya penolakan tidak pernah berhenti. Bukan hanya mahasiswa, tetapi elemen masyarakat lainnya ikut turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Tentu saja dengan satu harapan, yaitu didengarkan. Namun nampaknya para dewan perwakilan rakyat terlampau sibuk menggurusi negara ini hingga tidak sempat memperhatikan mereka-mereka yang seharusnya mendapat perhatian. Atau mungkin mereka lupa, bahwa mereka yang berteriak di depan gedung mewah itu juga merupakan bagian dari negara ini. Jeritan mereka seolah dianggap kebisingan tiada arti, yang hanya sekedar ikut meramaikan pesta demokrasi. Mereka dipersilahkan dengan bebas bersuara, dan hanya sesekali diperdulikan untuk didengarkan aspirasinya. Lantas siapakah yang salah?
Mereka yang turun ke jalan justru mendapat kecaman. Dianggap buang-buang tenaga hingga dicap sebagai perusuh yang merugikan. Pertanyaan saya, jika yang telah beraksi saja diacuhkan, bagaimana berdiam diri mampu menciptakan keajaiban?
Mereka memang kerap kali membuat suasana menjadi tidak kondusif, terkesan anarkis, dan seolah merampas hak-hak sesama pengguna jalan karena sebabkan kemacetan. Mereka yang membela tetapi justru dikecilkan. Mereka yang cerdas tetapi justru dianggap bodoh. Memang terlihat salah ketika mereka bersuara dengan murka, hingga bertindak sesuatu yang membuat resah. Dan mereka yang mencela dengan negatif, pernahkan berada di posisi seperti itu? Atau memberi komentar hanya untuk terlihat pintar?
Keputusan naiknya harga bbm tentu tak pernah terlepas dengan sesuatu yang bernama ‘kepentingan’. Ada kepentingan negara di atas itu semua, yang sudah ditimbang bagaimana baik buruknya. Tetapi yang tak kalah penting yang seharusnya dipentingkan adalah bagaimana kepentingan masyarakat kalangan bawah. Mereka mungkin tidak seberuntung kita yang masih bisa bersekolah, yang masih bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan melanjutkannya ke luar negeri. Tetapi mereka? Jangankan bersekolah, terkadang untuk makan pun susah. Lalu patutkah kita menyalahkan nasib mereka yang mungkin mereka sendiri tidak mengingininya?
Impian mereka sederhana. Bisa makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja rasanya Alhamdulillah, syukur-syukur bisa bersekolahhingga ke perguruan tinggi. Pemerintah memang tidak diam. Telah banyak anggaran yang dikucurkan untuk kepentingan masyarakat kalangan bawah, tetapi terkadang anggaran itu tidak sampai pada mereka yang membutuhkan. Sekali lagi, ini berbicara soal kepentingan. Ada beberapa di antara mereka yang diberi amanah tetapi justru tak amanah. Mementingkan kepentingan pribadi, tanpa peduli bagaimana nasib yang seharusnya berhak memiliki.
Kita mungkin merasa belum berkepentingan mengurusi negara ini. Tetapi satu hal yang harus kita sadari, kita adalah generasi selanjutnya. Generasi yang akan memimpin negeri ini. Apa yang akan kamu jawab nanti seandainya saja Tuhan bertanya ‘apa yang telah kamu lakukan untuk negaramu?’. Karena sebenarnya kita semua bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada negara ini, meksipun kesalahan itu bukan ada pada kita. Lakukanlah apa yang bisa kita lakukan untuk kepentingan orang banyak. Kita memang tidak sempurna, karena sempurna memang tidak pernah ada. Tetapi kita bisa menjadi “lebih baik” dari sebelumnya.
Ini bukan hanya sekedar kepentingan saya dan keluarga saya yang keberatan denga naiknya harga bbm. Tetapi juga kepentingan orang-orang yang yang telah berteriak lantang lebih dulu. Dan mungkin juga kamu, yang sampai saat ini masih berdiam diri. Saya tidak merasa lebih hebat dari kamu, karena nyatanya saya juga masih terlalu pengecut karena hanya berani ‘menulis’ bukan beraksi bersama mereka yang tak pernah lelah bersuara.
Harapan saya sederhana, semoga kita bisa sama-sama saling membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Karena bukan hanya Pemerintah yang bertugas dan berkewajiban untuk itu, tetapi kita juga. Sekecil apapun hal yang bisa kita lakukan untuk kepentingan orang banyak, itu pasti sangat berarti. Bukankah sesuatu yang besar bermula dari hal kecil dan dari diri sendiri?
Hal yang kita anggap gak bernilai, bisa jadi sangat bernilai untuk orang lain.”
S.C

Berjalan atau Beralih.


Berjalan atau Beralih.
Aku tak tahu kemana ku harus putuskan kakiku untuk melangkah
Rasanya sesak harus berada dalam desakan tentang cita dan cinta
Memilih yang tak seharusnya menjadi pilihan
Aku terdiam dalam persimpangan
Merajuk dalam uraian air mata tentang dunia bernama masa depan
Memang tak mudah menjadi seorang dewasa bagi anak yang masih ingin dimanja
Hidup mengharuskan semuanya terjadi
Tanpa bisa ku minta untuk beri waktu persiapan diri
Siap atau pun tidak aku tetap harus memilih
Memilih untuk .....

tetap berjalan pada alur yang (ku anggap) terbaik
                               atau
beralih pada sesuatu (yang) mungkin lebih pasti.



Saidah

LAILA

on
1/19/2014

            Entah aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi kepadaku. Aku tidak tahu siapa aku, darimana aku, dan dimana aku saat  ini. Orang-orang di sekitarku mengatakan bahwa aku amnesia. Penyakit lupa ingatan, begitu kata mereka. Mereka juga mengatakan bahwa aku sempat tertidur selama seminggu sebelum akhirnya aku terbangun kembali. Mukjizat, begitu kata pria paruh baya yang menyebut dirinya sebagai Dokter Adam. Ketika aku mulai bertanya tentang siapa diriku, mereka mengatakan bahwa aku adalah seorang putri dari keluarga Latif. Ya, Latif, ayahku, begitu mereka bilang dan Ila, ibuku. Tapi aku sama sekali tidak mampu mengingat kedua nama itu. Ketika aku bertanya lagi dimana ayah dan ibuku, mereka hanya diam dan saling pandang. Mungkin sedang berpikir bagaimana cara menjelaskannya padaku, mungkin mereka takut aku tak mengerti karena keterbatasanku untuk mengingat semua hal yang pernah terjadi di hidupku. Aku mengulang pertanyaan itu.
            “Dimana ayah dan ibuku?”
            Mereka masih diam. Hingga akhirnya Dokter Adam memegang pundakku, mencoba menenangkanku yang sedang kebingungan.
            “Ayah dan Ibumu meninggal dalam kecelakaan itu.”
            Aku terdiam lama. Mencoba mengingat apapun yang mampu ku ingat, namun yang terjadi kepalaku justru menjadi sakit. Aku merintih. Menggigit bibirku untuk meredam sakit yang ku rasa. Aku meronta sambil terus memegangi kepalaku yang semakin terasa sakit.
            “Suster, tolong beri suntikan penenang!”
            Itu kalimat terakhir yang ku dengar hingga aku tak sadarkan diri.
*
            Aku kembali tersadar. Sakit di kepalaku tidak lagi ku rasakan. Aku menatap sekelilingku. Yang ku lihat hanya tembok putih, sebuah sofa panjang, meja, alat infuse, dan ranjang yang ku tiduri. Suasana di tempat ini begitu menakutkan, seperti tidak ada sebuah keceriaan. Semuanya serasa mati.
            Seorang perempuan memakai baju terusan putih dan topi putih yang menyebut dirinya sebagai Suster Lia masuk ke tempatku. Ia tersenyum padaku. Tapi aku tidak merasakan ketulusan dari senyuman itu. Mungkin senyuman itu sebatas prosedur pelayanan yang harus dia lakukan. Ia memeriksa segala peralatan yang melekat pada diriku. Hanya lima menit ia memijakan kakinya di tempatku dan ia pergi tanpa bicara sepatah katapun. Tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.
            Tak lama setelah Suster Lia pergi, seseorang kembali datang ke tempatku. Tebakankku salah, bukan seorang, tapi lima orang. Orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai keluargaku. Mereka memperkenalkan diri mereka satu per satu seperti anak sekolah yang baru saja memulai awal tahun yang baru.
            “Laila, ini Om Dimas, Om adik ibu kamu,” kata seorang laki-laki bertubuh sedang dan berkacamata itu. “Ini istri Om, Tante Wina,” tambahnya.
            Si wanita berambut pendek itu tersenyum padaku sambil mengulurkan tangannya. Aku diam memerhatikan tangan berkulit putih itu. Hingga akhirnya Tante Wina menarik kembali tangannya sambil menyebutkan namanya.
            “Wina.”
            Om Dimas kembali memperkenalkan orang-orang yang datang bersamanya. Ia memperkenalkan padaku seorang laki-laki muda tampan yang sebaya denganku. Ia mengaku sebagai sepupuku. Sepupu yang paling akrab denganku. Begitu ia bercerita.
            “Aku Daru, sepupu kamu. Kamu ingat?” tanyanya.
            Aku menggeleng. Daru hanya tersenyum simpul padaku, sedetik kemudian wajahnya memancarkan kesedihan. Sedih, mungkin karena aku tidak mengingatnya. Aku tidak ingat siapapun di antara orang-orang yang datang kepadaku. Tak ada satu pun yang ku kenali. Meski mereka mengaku begitu mengenal dekat denganku.
            “Dan ini…” Om Dimas kembali berbicara. “Ini pak polisi,” Om Dimas menunjuk kedua orang yang berada di sampingnya.  “Beliau yang menangani kasus kecelakaan kamu,” ucap Om Dimas hati-hati.
            Aku mencoba mengingat kembali. Mungkin saja kali ini aku mampu mengingatnya. Tapi setiap kali aku mencoba untuk mengingatnya, kepalaku menjadi terasa sakit. Dan akhirnya aku menyerah.
            “Aku tidak ingat apa-apa.”
            “Tidak usah dipaksa La. Yang penting kamu selamat dan sehat,” kata Om Dimas.
            Aku terdiam. Dalam hatiku, aku ingin sekali mengingat siapa aku sebenarnya dan mengapa aku bisa seperti ini. Berulang kali aku mendengar kalimat ‘kecelakaan’ yang selalu diucapkan setiap kali aku menanyakan dimana ayah dan ibuku. Hingga akhirnya Daru menceritakan semuanya. Menceritakan padaku sesuatu yang sudah sangat ingin ku dengar. Tentang aku dan orang-orang yang mereka sebut ayah dan ibuku yang tak selamat dalam kecelakaan itu.
            “Kecelakaan itu terjadi di jalan tol dari Bandung menuju Jakarta. Mobil yang kalian tumpangi menabrak pembatas jalan hingga akhirnya kecelakaan itu terjadi. Ayah dan Ibu kamu meninggal di tempat. Kami pikir awalnya kamu pun tak selamat. Karena kamu koma selama satu minggu, tapi syukurlah Tuhan memberikan keajaiban. Kamu selamat, tapi benturan yang sangat keras saat kejadian membuat kamu amnesia.”
            Daru mengenggam tanganku erat. Aku mencoba mengingat kembali. Mengingat apapun yang harusnya ku ingat. Tapi  lagi-lagi, sakit itu terasa. Daru memelukku begitu erat hingga aku mampu mendengar jantungnya yang berdetak. Aku merasakan kenyamanan berada di pelukannya, mungkin benar ceritanya bahwa kami memang dekat. Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa yang Daru katakan. Kalimat-kalimatnya begitu rumit untuk bisa ku pahami. Aku tidak bisa mengingat sedetikpun masa laluku, sekeras apapun aku mencobanya. Yang ada di kepalaku hanya rasa sakit dan semakin sakit ketika aku semakin berusaha mengingat semuanya.
*
            Malam di tempat ini begitu sunyi. Akhirnya aku tahu, ruang penuh sesak ini bernama rumah sakit. Tempat dimana orang-orang sakit tinggal, termasuk aku. Tapi aku tak suka tempat ini. Tempat ini menyiksaku. Aku harus berkali-kali menerima suntikan di tanganku ketika aku meronta begitu hebat karena rasa sakit di kepalaku. Terlebih saat semua orang yang datang kepadaku memperkenalkan diri mereka yang seolah memaksaku untuk bisa mengingat siapa mereka.
            Malam ini aku merasa begitu kesepian. Meskipun banyak orang yang mengaku keluargaku, sahabatku, dan orang-orang terdekatku. Walau sebenarnya akupun tak tahu apa itu keluarga, apa itu sahabat.  Ku lihat seisi ruangan ini, ada Daru yang menjagaku. Ia sedang tertidur di sofa panjang dekat ranjangku. Wajahnya memancarkan keletihan. Mungkin letih karena menemaniku seharian. Dalam otakku penuh tanda tanya. Pertanyaan yang tak bisa ku deskripsikan tapi mampu membuat hatiku rasanya tak karuan. Terkadang aku begitu ingin marah, tapi tak tahu marah kepada siapa. Terkadang aku ingin menangis, tapi tak tahu menangis karena apa. Itu semua membuat kepalaku semakin terasa sakit. Aku ingin bisa mengingat semuanya.
            Matahari sudah bersinar dengan terik. Aku terbangun karena cahayanya menyilaukanku. Suster Lia membuka gorden kamarku sambil berkata bahwa aku perlu terpapar sinar matahari. Aku hanya diam. Ku lihat Daru sudah tak ada lagi di sofanya, mungkin ia pulang ke rumahnya. Rumah, kata-kata yang ia janjikan kepadaku ketika aku mengeluh padanya tentang betapa sesaknya tempat ini.
            “Kalau kamu sudah sembuh, kita akan pulang ke rumah,” ucapnya saat itu.
            Aku meminta Suster Lia untuk membawaku pergi dari tempat ini.
            “Sus, aku ingin keluar.”
            Suster Lia tak menjawabku. Ia hanya mengeluarkan sebuah kursi lipat beroda, yang ia sebut kursi roda. Kemudian ia memapahku untuk duduk di kursi itu, sementara ia berada di belakang, mendorong kursi roda itu hingga bisa melaju.
            Akhirnya aku bisa keluar dari kamar menyesakkan itu. Tapi Suster Lia tidak membawaku pergi jauh. Ia hanya membawaku mengitari bagian-bagian rumah sakit ini. Bagian-bagian yang tak kalah menyesakkan dari tempatku. Aku dan Suster Lia menyusuri sebuah koridor rumah sakit. Aku melihat seorang gadis yang menangis dalam diam di sebuah kursi panjang di sudut koridor ini. Tak berapa jauh ku lihat Dokter Adam pergi menjauh. Mungkin beberapa detik sebelum kedatanganku, ada percakapan di antara mereka, entahlah. Aku melintasi gadis berambut panjang itu. Ku lihat dadanya naik turun, mungkin sesak karena tangisnya. Ia melihat ke arahku, beberapa saat mata kami saling pandang. Namun, aku tidak berani bertanya kepadanya. Aku mencoba tersenyum, ia tak membalasku.
            Aku memasuki bagian rumah sakit yang lain, disini aku melihat pemandangan yang nyaris sama. Di sebuah kamar yang sebagian pintunya terbuka, aku melihat seorang wanita dewasa yang mengenakan rok pendek satu stel dengan blazernya itu meronta-ronta. Samar ku lihat pipinya sudah basah karena air mata. Di sampingnya ada sebuah ranjang persis sama seperti ranjangku, di atas ranjang itu terbaring seorang nenek tua. Matanya terpejam, tubuhnya tak bergerak meski sang wanita menggoyang-goyangkan tubuhnya. Di belakang sang wanita ku lihat dua orang wanita yang berpakaian sama seperti Suster  Lia mencoba menenangkannya. Tapi wanita itu tak mau beranjak dari tempatnya. Ia justru mendorong teman suster lia itu hingga terjatuh. Salah seorang suster melihat kedatanganku dan Suster Lia. Ia memanggil Suster Lia.
            “Sus, bisa bantu kita?”
            Suster Lia mendorong kursi rodaku memasuki kamar itu. Ia segera berlari ke arah wanita dewasa itu dan membantu menenangkannya. Kini, aku bisa melihat dengan jelas guncangan itu begitu menyesakannya. Tatapan wanita itu nanar, hampa, kehilangan. Ku dengar rekan Suster Lia menyebutkan namanya, Ibu Susi.
            Aku ingin mencoba mendekat. Namun aku tak tahu bagaimana menggerakan kursi r0da ini. Aku berusaha bangkit dari dudukku, namun rasanya lututku lesu. Hingga akhirnya aku hanya melihat pemandangan ini tanpa bisa berbuat banyak. Wanita bernama Ibu Susi itu akhirnya luluh. Ia terduduk lemas di sofa dekat ranjang itu. Seorang suster menutup seseorang yang terbaring di ranjang itu dengan kain putih. Dengan polosnya aku bertanya.
            “Kenapa ditutup Sus?”
            Suster itu menatapku. Suster Lia menghampiriku, ia menjelaskan padaku bahwa Ibu dari Bu Susi telah meninggal dunia. Tubuhnya sudah tak bernyawa.
            “Meninggal?”
            Aku seperti pernah mendengar kata itu. Aku berusaha kuat mengingatnya. Kepalaku terasa sakit. Suster Lia menjelaskan sepenggal tentangku kepada Bu Susi.
            “Namanya Laila. Ayah Ibunya meninggal dalam kecelakaan. Ia sebatang kara dan hilang ingatan.”
            Akhirnya aku bisa mengingat kata itu. Ya, meninggal. Ayah Ibuku meninggal. Meninggal, tak bernyawa. Setitik air mata jatuh di pipiku.
            “Jadi ini yang namanya meninggal?”
            Ibu Susi bangkit dari duduknya. Ia berlutut di depanku, kemudian memelukku dengan erat. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan ini. Aku hanya terdiam.
            Aku merasa seperti bocah yang tidak tahu apa-apa. Bahkan aku baru tahu bahwa meninggal artinya perpisahan selamanya, begitu kata Bu Susi. Dan selama ini aku hanya diam ketika semua orang berusaha memberi tahu bahkan menenangkanku ketika mereka berkata bahaw ayah dan ibuku meninggal. Namun aku tak merasakan apapun. Bahkan aku tak mampu mengingat siapa ayah dan ibuku. Aku tak mampu mengingatnya. Hingga aku tidak merasakan kehilangan seperti yang dirasakan Bu Susi.
            Tiba-tiba aku merasa begitu kehilangan. Meski aku belum mengingat siapa kedua orang tuaku. Air mataku jatuh satu-satu, semakin lama semakin terasa menyesakkanku. Sungguh menyesakkanku. Ku rasakan lagi rasa sakit di kepalaku, namun kali ini aku mencoba menahan sakitnya. Aku ingin bisa mengingat tentang ayah dan ibuku. Aku ingin bisa mengingat mereka hingga dengan begitu aku bisa mengenang mereka.
            Suster Lia membawaku yang masih menangis dan merintih kembali ke kamar. Disana ku lihat sudah ada Daru menungguku. Melihatku berurai air mata, Daru menghampiriku. Ia memapahku berdiri. Aku memeluknya erat. Menangis di pelukannya. Mungkin ini salah satu jawaban atas pertanyaan tak teruraiku. Daru menuntunku duduk di sofa. Ia kelihatan bingung melihatku seperti ini. Ku lihat Daru menatap ke arah Suster Lia, menuntut penjelasan tentang aku.
            “Laila, ingin mengingat ayah dan ibunya.”
            Daru kemudian menatapku yang masih menangis di pelukannya. Ia kembali mendekapku. Kali ini begitu erat. Ia mencoba menenangkanku. Kini aku tahu arti hangat dari sebuah pelukan. Daru melepaskan pelukanku, ia memperlihatkan kepadaku sebuah liontin berbetuk matahari. Aku seperti tidak asing dengan liontin itu. Daru membuka liontin itu, di dalamnya ku lihat ada dua buah foto di masing-masing sisi.
            “Ini ayah kamu,” Daru menunjuk sebuah foto di sebelah kanan. “ Dan ini ibu kamu,” ia menunjuk foto di sebelah kiri.
            Dadaku naik turun, persis seperti gadis di sudut koridor itu. Sesak itu masih terasa. Kepalaku kembali terasa sakit dan semakin terasa sakit ketika dalam memoryku terputar kisah di balik liontin berbentuk matahari itu. Aku meronta. Aku tak lagi bisa menahan rasa sakit di kepalaku ketika samar ku lihat sosok ayah dan ibuku terlintas dalam bayanganku. Aku merasa seperti mendengar suara Ibu memanggil-manggil namaku dengan begitu lembut.   Sedetik kemudian aku kembali melihat dalam ingatanku Ibu yang sedang menangis karena ulahku yang sering kali membantah nasihat-nasihatnya. Suara tangisan itu terasa nyata.  Aku semakin meronta. Daru berusaha menenangkanku, tangannya meraih tanganku. Namun aku tetap meronta tak bisa diam. Di telingaku terngiang-ngiang kata-kata kasarku kepada Ibu. Entah mengapa kini aku bisa mengingatnya begitu jelas. Sangat jelas. Suara tangisan itu, wajah ratapan Ibu seolah nyata terjadi di depanku. Aku bangkit dari dudukku. Namun kakiku lesu hingga aku terjatuh.
Tiba-tiba semuanya seperti bercahaya. Sinarnya begitu menyilaukanku. Aku seperti berada di tempat asing, entah dimana. Aku melihat jalan setapak yang entah bermuara kemana. Aku menyusuri jalan itu, hingga aku menemukan dua orang yang ku kenal berdiri mematung di ujung jalan. Mereka melihatku dan tersenyum. Itu Ayah dan Ibu!
“Laila, pulang sayang. Ibu rindu.”
Aku mencoba mendekat. Namun sosok mereka justru semakin jauh. Air mataku jatuh. Aku ingin bersama mereka. Disini, di tempat yang tak ku tahu apa namanya. Aku bisa mengingat kembali masa laluku. Aku bisa mengingat dengan jelas. Sangat jelas. Aku ingin bersama ayah dan ibu. Aku ingin meminta maaf pada mereka. Aku ingin memeluk mereka. Aku masih ingin bersama mereka.
Sakit di kepalaku kembali terasa. Rasanya jauh lebih sakit dari sebelumnya. Aku berlutut karena rasa sakit itu. Tiba-tiba aku melihat pemandangan yang sungguh tak mampu ku mengerti. Aku melihat diriku terbaring lemah tanpa daya, tubuhku penuh dengan peralatan medis. Aku mencoba mendekat, wajahku pucat pasi dan penuh dengan luka memar. Kepalaku berbalut perban, terdapat setitik noda merah di perban putih itu. Mungkin darah, mungkin juga obat merah. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Pulanglah Nak.”
Aku mendengar suara itu lagi.  Aku mencoba mencari asal suara itu. Mencari ayah dan Ibu. Dan tiba-tiba aku tak sadarkan diri.
*
Ku buka mata perlahan. Aku merasakan ada air mata menetes di punggung tanganku. Aku melihat sekeliling.
“Ayah.”
Ayah mengelus rambutku. Ia menciumi keningku.
“Ayah disini sayang,” ucap Ayah sambil menyeka air matanya.
Ibu langsung memeluki dan menciumiku tiada henti. “Sayang. Ini Ibu sayang. Kamu ingat Ibu kan?”
Aku mengangguk dan menangis “Ibu.”
Ibu, ayah, dan anggota keluargaku yang lain kebingungan. Aku hanya bisa menangis sambil terus memegangi tangan ayah dan ibu. Aku tidak ingin berpisah dengan mereka. Keluargaku yang lain mulai berdatangan dan langsung memelukku, menciumku, dan mengenggam erat tanganku. Mereka terlihat sangat bahagia saat aku membuka mataku. Aku mencoba mengingat kejadian lalu. Aku ingat, aku ingat saat aku sedang mengendarai mobil, ibu meneleponku, tapi aku mengacuhkannya. Aku bahkan mereject panggilan telepon dari Ibu. Dan saat ku sadari sebuah truk melaju kencang dari arah samping dan aku tak sadarkan diri.
“Laila kenapa Bu?”
Ibu mengelus punggung tanganku dan tersenyum.
“Kami hampir kehilangan harapan untuk kesembuhan kamu. Kamu koma selama 40 hari.”
Aku menangis. Mengingat kejadian yang membuatku tak kuasa bersyukur pada Tuhan. Bersyukur karena ternyata kejadian yang ku alami itu tidak nyata. Hanya pembelajaranku ketika aku mengalami koma selama 40 hari. Aku terus mengenggam tangan Ibu. Aku tak ingin melepaskan Ibu.
“Aku minta maaf Bu, Yah. Laila minta maaf sering kecewain Ayah dan Ibu,” ku ciumi tangan keduanya.




Saidah

Dunia Gue Jungkir Balik.

on
1/16/2014
Hallooooo..
udah lama gak nulis di blog udah hampir seminggu rasanya. Seminggu  gak megang laptop, gak nulis, dan gak mengkhayal, itu rasanya kangeeeeen banget hahaha.
Oke, hari ini gue mau share tentang dunia gue yang mendadak jungkir balik. Hari-hari gue yang mendadak berubah....


Seminggu kemarin, wanita yang sudah mengandung, melahirkan, dan merawat gue hingga sebesar ini, sakit. Ini pertama kalinya dalam sejarah hidup gue, mama sakit cukup lama dan tak berdaya. Biasanya, kalo sakit, mama cuma sakit pusing biasa, cuma sehari, besoknya sembuh udah kaya gak kenapa-napa. Tapi kali ini beda. Mama sakit cukup mengkhawatirkan. Sepanjang hari mama cuma berbaring di tempat tidur, kepalanya berat, perutnya mual, dan terus-terusan muntah, padahal belum ada makanan yang masuk. Jangankan berdiri, duduk pun mama gak kuat. Bahkan untuk ke dokter pun mama gak sanggup. Dalam hal ini Papa bertindak tegas. Semuanya demi kesehatan mama. Kuat gak kuat, harus tetep ke dokter. Akhirnya, mama pun sanggup-sanggupin jalan dari kamar ke garasi mobil dengan dipapah kanan kiri sama Papa dan adik gue. Dokter bilang mama tifus dan juga vertigo. Mama emang sering vertigo, tapi gak pernah separah ini. Hampir seminggu hanya terbaring lemah di tempat tidur, baru dua hari ini bisa duduk, dan kalau jalan harus dituntun. Disinilah awal mula dunia gue yang jungkir balik .......



Terlahir jadi anak pertama tak lantas membuat gue jadi anak yang dewasa dan bertanggung jawab. Gue akuin, gue justru lebih banyak nyusahin, manja, dan egois tingkat tinggi. Satu faktor, karena gue adalah anak perempuan satu-satunya. Yang gue jadikan sebagai alasan paling benar untuk sikap yang gak seharusnya itu.  Menjadi anak perempuan satu-satunya adalah kebaikan Tuhan paling gue syukuri sejak dulu. Apapun yang gue pinta, ABCD sampe Z hampir gak pernah gak diturutin. Kalau belum kesampean, tanpa pake mikir, gue selalu ngambek.



Gue sering mikir, sampe kapan gue gini terus? Jadi anak manja dan egois yang selalu nyusahin keluarga? Siap gak siap, gue emang harus berubah. Entah kapan, pikir gue saat itu. Entah karena persiapan atau keadaan, cuma dua pilihan. Dan seharusnya gue berubah dengan persiapan.... 

Ya, sedikit demi sedikit gue mulai merubah sikap manja dan egois gue. Kadang berhasil, lebih banyak gagal. Keseringan lupa, lupa kalo gue SUDAH SEHARUSNYA BERSIKAP DEWASA! Gue lupa, kalo gue bukan lagi anak kecil. Anak kecil yang semua keinginannya harus dipenuhin. Anak kecil yang manja dan cuma bisa minta. Iya, GUE BUKAN LAGI ANAK KECIL.


Dan sakitnya mama menjadi titik balik gue. Mama sakit yang otomatis, segala hal yang ada di rumah dilimpahkan dan menjadi tanggung jawab gue. Untuk 5 hari, gue belajar jadi ibu buat adik-adik gue. Untuk 5 hari, gue harus bangun super pagi dan tidur larut malem untuk beberes seluruh isi rumah. Dari mulai hal sesepele nyapu, sampai harus mikir 'masak apa' buat keluarga dan gimana cara masaknya. Belom lagi harus rawat mama, harus siap sedia setiap mama manggil "teh...". Jujur, gue rasanya frustasi, pengen banget lari. CAPEK. Harus nyapu, ngepel, nyuci piring, nyuci baju, jemur, nyetrika, dan masak. Tiap hari selama mama sakit. Badan remuk udah pasti, mata ngantuk juga jangan ditanya lagi. Saat itu gue mikir, "SUMPAH MAMA HEBAT BANGET! Tiap hari ngerjain pekerjaan ini tanpa ada hari libur. TIAP HARI. Gue baru segini aja udah nyerah." Dan gue sadar, tentang masa depan yang akan gue lewati, dimana gue akan menjadi 'ibu'.



"kelak gue pun akan ada di posisi mama dan gue gak tahu apakah gue akan bisa sehebat mama dalam mendidik dan merawat anak dan keluarganya?"



Semuanya ngebuka mata gue. Dibalik rasa sakit yang Allah kasih buat mama. Banyak banget hikmah yang berarti. Dunia gue emang seketika jungkir balik. Gue yang jarang banget pegang sapu, masuk dapur, sekarang karena mama lagi sakit harus berteman sangat akrab dengan keduanya. Gue berharap banget sama Allah, semoga ini bukan hanya ketika mama sakit. Semoga penyakit LUPA gue gak kambuh lagi. Penyakit lupa kalo gue sudah seharusnya dewasa. Gue berharap sama diri gue sendiri, jungkir baliknya dunia gue juga jadi titik balik perubahan sikap dan pemikiran gue untuk LEBIH DEWASA. Aamiin.....



Saidah