Entah aku tidak mengerti apa yang
sedang terjadi kepadaku. Aku tidak tahu siapa aku, darimana aku, dan dimana aku
saat ini. Orang-orang di sekitarku
mengatakan bahwa aku amnesia. Penyakit lupa ingatan, begitu kata mereka. Mereka
juga mengatakan bahwa aku sempat tertidur selama seminggu sebelum akhirnya aku
terbangun kembali. Mukjizat, begitu kata pria paruh baya yang menyebut dirinya
sebagai Dokter Adam. Ketika aku mulai bertanya tentang siapa diriku, mereka
mengatakan bahwa aku adalah seorang putri dari keluarga Latif. Ya, Latif,
ayahku, begitu mereka bilang dan Ila, ibuku. Tapi aku sama sekali tidak mampu
mengingat kedua nama itu. Ketika aku bertanya lagi dimana ayah dan ibuku,
mereka hanya diam dan saling pandang. Mungkin sedang berpikir bagaimana cara
menjelaskannya padaku, mungkin mereka takut aku tak mengerti karena
keterbatasanku untuk mengingat semua hal yang pernah terjadi di hidupku. Aku
mengulang pertanyaan itu.
“Dimana ayah dan ibuku?”
Mereka masih diam. Hingga akhirnya
Dokter Adam memegang pundakku, mencoba menenangkanku yang sedang kebingungan.
“Ayah dan Ibumu meninggal dalam
kecelakaan itu.”
Aku terdiam lama. Mencoba mengingat
apapun yang mampu ku ingat, namun yang terjadi kepalaku justru menjadi sakit.
Aku merintih. Menggigit bibirku untuk meredam sakit yang ku rasa. Aku meronta sambil
terus memegangi kepalaku yang semakin terasa sakit.
“Suster, tolong beri suntikan
penenang!”
Itu kalimat terakhir yang ku dengar
hingga aku tak sadarkan diri.
*
Aku kembali tersadar. Sakit di kepalaku
tidak lagi ku rasakan. Aku menatap sekelilingku. Yang ku lihat hanya tembok
putih, sebuah sofa panjang, meja, alat infuse, dan ranjang yang ku tiduri.
Suasana di tempat ini begitu menakutkan, seperti tidak ada sebuah keceriaan.
Semuanya serasa mati.
Seorang perempuan memakai baju
terusan putih dan topi putih yang menyebut dirinya sebagai Suster Lia masuk ke
tempatku. Ia tersenyum padaku. Tapi aku tidak merasakan ketulusan dari senyuman
itu. Mungkin senyuman itu sebatas prosedur pelayanan yang harus dia lakukan. Ia
memeriksa segala peralatan yang melekat pada diriku. Hanya lima menit ia
memijakan kakinya di tempatku dan ia pergi tanpa bicara sepatah katapun. Tanpa
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.
Tak lama setelah Suster Lia pergi,
seseorang kembali datang ke tempatku. Tebakankku salah, bukan seorang, tapi
lima orang. Orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai keluargaku. Mereka
memperkenalkan diri mereka satu per satu seperti anak sekolah yang baru saja
memulai awal tahun yang baru.
“Laila, ini Om Dimas, Om adik ibu
kamu,” kata seorang laki-laki bertubuh sedang dan berkacamata itu. “Ini istri
Om, Tante Wina,” tambahnya.
Si wanita berambut pendek itu
tersenyum padaku sambil mengulurkan tangannya. Aku diam memerhatikan tangan
berkulit putih itu. Hingga akhirnya Tante Wina menarik kembali tangannya sambil
menyebutkan namanya.
“Wina.”
Om Dimas kembali memperkenalkan
orang-orang yang datang bersamanya. Ia memperkenalkan padaku seorang laki-laki
muda tampan yang sebaya denganku. Ia mengaku sebagai sepupuku. Sepupu yang
paling akrab denganku. Begitu ia bercerita.
“Aku Daru, sepupu kamu. Kamu ingat?”
tanyanya.
Aku menggeleng. Daru hanya tersenyum
simpul padaku, sedetik kemudian wajahnya memancarkan kesedihan. Sedih, mungkin
karena aku tidak mengingatnya. Aku tidak ingat siapapun di antara orang-orang
yang datang kepadaku. Tak ada satu pun yang ku kenali. Meski mereka mengaku
begitu mengenal dekat denganku.
“Dan ini…” Om Dimas kembali
berbicara. “Ini pak polisi,” Om Dimas menunjuk kedua orang yang berada di
sampingnya. “Beliau yang menangani kasus
kecelakaan kamu,” ucap Om Dimas hati-hati.
Aku mencoba mengingat kembali. Mungkin
saja kali ini aku mampu mengingatnya. Tapi setiap kali aku mencoba untuk
mengingatnya, kepalaku menjadi terasa sakit. Dan akhirnya aku menyerah.
“Aku tidak ingat apa-apa.”
“Tidak usah dipaksa La. Yang penting
kamu selamat dan sehat,” kata Om Dimas.
Aku terdiam. Dalam hatiku, aku ingin
sekali mengingat siapa aku sebenarnya dan mengapa aku bisa seperti ini. Berulang
kali aku mendengar kalimat ‘kecelakaan’ yang selalu diucapkan setiap kali aku
menanyakan dimana ayah dan ibuku. Hingga akhirnya Daru menceritakan semuanya.
Menceritakan padaku sesuatu yang sudah sangat ingin ku dengar. Tentang aku dan
orang-orang yang mereka sebut ayah dan ibuku yang tak selamat dalam kecelakaan
itu.
“Kecelakaan itu terjadi di jalan tol
dari Bandung menuju Jakarta. Mobil yang kalian tumpangi menabrak pembatas jalan
hingga akhirnya kecelakaan itu terjadi. Ayah dan Ibu kamu meninggal di tempat.
Kami pikir awalnya kamu pun tak selamat. Karena kamu koma selama satu minggu,
tapi syukurlah Tuhan memberikan keajaiban. Kamu selamat, tapi benturan yang
sangat keras saat kejadian membuat kamu amnesia.”
Daru mengenggam tanganku erat. Aku
mencoba mengingat kembali. Mengingat apapun yang harusnya ku ingat. Tapi lagi-lagi, sakit itu terasa. Daru memelukku
begitu erat hingga aku mampu mendengar jantungnya yang berdetak. Aku merasakan
kenyamanan berada di pelukannya, mungkin benar ceritanya bahwa kami memang
dekat. Sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa yang Daru katakan. Kalimat-kalimatnya
begitu rumit untuk bisa ku pahami. Aku tidak bisa mengingat sedetikpun masa
laluku, sekeras apapun aku mencobanya. Yang ada di kepalaku hanya rasa sakit
dan semakin sakit ketika aku semakin berusaha mengingat semuanya.
*
Malam di tempat ini begitu sunyi.
Akhirnya aku tahu, ruang penuh sesak ini bernama rumah sakit. Tempat dimana
orang-orang sakit tinggal, termasuk aku. Tapi aku tak suka tempat ini. Tempat
ini menyiksaku. Aku harus berkali-kali menerima suntikan di tanganku ketika aku
meronta begitu hebat karena rasa sakit di kepalaku. Terlebih saat semua orang
yang datang kepadaku memperkenalkan diri mereka yang seolah memaksaku untuk bisa
mengingat siapa mereka.
Malam ini aku merasa begitu
kesepian. Meskipun banyak orang yang mengaku keluargaku, sahabatku, dan
orang-orang terdekatku. Walau sebenarnya akupun tak tahu apa itu keluarga, apa
itu sahabat. Ku lihat seisi ruangan ini,
ada Daru yang menjagaku. Ia sedang tertidur di sofa panjang dekat ranjangku.
Wajahnya memancarkan keletihan. Mungkin letih karena menemaniku seharian. Dalam
otakku penuh tanda tanya. Pertanyaan yang tak bisa ku deskripsikan tapi mampu
membuat hatiku rasanya tak karuan. Terkadang aku begitu ingin marah, tapi tak
tahu marah kepada siapa. Terkadang aku ingin menangis, tapi tak tahu menangis
karena apa. Itu semua membuat kepalaku semakin terasa sakit. Aku ingin bisa
mengingat semuanya.
Matahari sudah bersinar dengan terik.
Aku terbangun karena cahayanya menyilaukanku. Suster Lia membuka gorden kamarku
sambil berkata bahwa aku perlu terpapar sinar matahari. Aku hanya diam. Ku
lihat Daru sudah tak ada lagi di sofanya, mungkin ia pulang ke rumahnya. Rumah,
kata-kata yang ia janjikan kepadaku ketika aku mengeluh padanya tentang betapa
sesaknya tempat ini.
“Kalau kamu sudah sembuh, kita akan
pulang ke rumah,” ucapnya saat itu.
Aku meminta Suster Lia untuk
membawaku pergi dari tempat ini.
“Sus, aku ingin keluar.”
Suster Lia tak menjawabku. Ia hanya
mengeluarkan sebuah kursi lipat beroda, yang ia sebut kursi roda. Kemudian ia
memapahku untuk duduk di kursi itu, sementara ia berada di belakang, mendorong
kursi roda itu hingga bisa melaju.
Akhirnya aku bisa keluar dari kamar
menyesakkan itu. Tapi Suster Lia tidak membawaku pergi jauh. Ia hanya membawaku
mengitari bagian-bagian rumah sakit ini. Bagian-bagian yang tak kalah
menyesakkan dari tempatku. Aku dan Suster Lia menyusuri sebuah koridor rumah
sakit. Aku melihat seorang gadis yang menangis dalam diam di sebuah kursi
panjang di sudut koridor ini. Tak berapa jauh ku lihat Dokter Adam pergi
menjauh. Mungkin beberapa detik sebelum kedatanganku, ada percakapan di antara
mereka, entahlah. Aku melintasi gadis berambut panjang itu. Ku lihat dadanya
naik turun, mungkin sesak karena tangisnya. Ia melihat ke arahku, beberapa saat
mata kami saling pandang. Namun, aku tidak berani bertanya kepadanya. Aku
mencoba tersenyum, ia tak membalasku.
Aku memasuki bagian rumah sakit yang
lain, disini aku melihat pemandangan yang nyaris sama. Di sebuah kamar yang
sebagian pintunya terbuka, aku melihat seorang wanita dewasa yang mengenakan
rok pendek satu stel dengan blazernya itu meronta-ronta. Samar ku lihat pipinya
sudah basah karena air mata. Di sampingnya ada sebuah ranjang persis sama
seperti ranjangku, di atas ranjang itu terbaring seorang nenek tua. Matanya
terpejam, tubuhnya tak bergerak meski sang wanita menggoyang-goyangkan
tubuhnya. Di belakang sang wanita ku lihat dua orang wanita yang berpakaian
sama seperti Suster Lia mencoba
menenangkannya. Tapi wanita itu tak mau beranjak dari tempatnya. Ia justru
mendorong teman suster lia itu hingga terjatuh. Salah seorang suster melihat
kedatanganku dan Suster Lia. Ia memanggil Suster Lia.
“Sus, bisa bantu kita?”
Suster Lia mendorong kursi rodaku
memasuki kamar itu. Ia segera berlari ke arah wanita dewasa itu dan membantu
menenangkannya. Kini, aku bisa melihat dengan jelas guncangan itu begitu
menyesakannya. Tatapan wanita itu nanar, hampa, kehilangan. Ku dengar rekan
Suster Lia menyebutkan namanya, Ibu Susi.
Aku ingin mencoba mendekat. Namun
aku tak tahu bagaimana menggerakan kursi r0da ini. Aku berusaha bangkit dari
dudukku, namun rasanya lututku lesu. Hingga akhirnya aku hanya melihat pemandangan
ini tanpa bisa berbuat banyak. Wanita bernama Ibu Susi itu akhirnya luluh. Ia
terduduk lemas di sofa dekat ranjang itu. Seorang suster menutup seseorang yang
terbaring di ranjang itu dengan kain putih. Dengan polosnya aku bertanya.
“Kenapa ditutup Sus?”
Suster itu menatapku. Suster Lia
menghampiriku, ia menjelaskan padaku bahwa Ibu dari Bu Susi telah meninggal
dunia. Tubuhnya sudah tak bernyawa.
“Meninggal?”
Aku seperti pernah mendengar kata
itu. Aku berusaha kuat mengingatnya. Kepalaku terasa sakit. Suster Lia
menjelaskan sepenggal tentangku kepada Bu Susi.
“Namanya Laila. Ayah Ibunya
meninggal dalam kecelakaan. Ia sebatang kara dan hilang ingatan.”
Akhirnya aku bisa mengingat kata
itu. Ya, meninggal. Ayah Ibuku meninggal. Meninggal, tak bernyawa. Setitik air
mata jatuh di pipiku.
“Jadi ini yang namanya meninggal?”
Ibu Susi bangkit dari duduknya. Ia
berlutut di depanku, kemudian memelukku dengan erat. Aku tak mengerti mengapa
ia melakukan ini. Aku hanya terdiam.
Aku merasa seperti bocah yang tidak
tahu apa-apa. Bahkan aku baru tahu bahwa meninggal artinya perpisahan
selamanya, begitu kata Bu Susi. Dan selama ini aku hanya diam ketika semua
orang berusaha memberi tahu bahkan menenangkanku ketika mereka berkata bahaw
ayah dan ibuku meninggal. Namun aku tak merasakan apapun. Bahkan aku tak mampu
mengingat siapa ayah dan ibuku. Aku tak mampu mengingatnya. Hingga aku tidak
merasakan kehilangan seperti yang dirasakan Bu Susi.
Tiba-tiba aku merasa begitu
kehilangan. Meski aku belum mengingat siapa kedua orang tuaku. Air mataku jatuh
satu-satu, semakin lama semakin terasa menyesakkanku. Sungguh menyesakkanku. Ku
rasakan lagi rasa sakit di kepalaku, namun kali ini aku mencoba menahan
sakitnya. Aku ingin bisa mengingat tentang ayah dan ibuku. Aku ingin bisa
mengingat mereka hingga dengan begitu aku bisa mengenang mereka.
Suster Lia membawaku yang masih
menangis dan merintih kembali ke kamar. Disana ku lihat sudah ada Daru
menungguku. Melihatku berurai air mata, Daru menghampiriku. Ia memapahku berdiri.
Aku memeluknya erat. Menangis di pelukannya. Mungkin ini salah satu jawaban
atas pertanyaan tak teruraiku. Daru menuntunku duduk di sofa. Ia kelihatan
bingung melihatku seperti ini. Ku lihat Daru menatap ke arah Suster Lia,
menuntut penjelasan tentang aku.
“Laila, ingin mengingat ayah dan
ibunya.”
Daru kemudian menatapku yang masih
menangis di pelukannya. Ia kembali mendekapku. Kali ini begitu erat. Ia mencoba
menenangkanku. Kini aku tahu arti hangat dari sebuah pelukan. Daru melepaskan
pelukanku, ia memperlihatkan kepadaku sebuah liontin berbetuk matahari. Aku
seperti tidak asing dengan liontin itu. Daru membuka liontin itu, di dalamnya
ku lihat ada dua buah foto di masing-masing sisi.
“Ini ayah kamu,” Daru menunjuk
sebuah foto di sebelah kanan. “ Dan ini ibu kamu,” ia menunjuk foto di sebelah
kiri.
Dadaku naik turun, persis seperti
gadis di sudut koridor itu. Sesak itu masih terasa. Kepalaku kembali terasa
sakit dan semakin terasa sakit ketika dalam
memoryku terputar kisah di balik liontin berbentuk matahari itu. Aku
meronta. Aku tak lagi bisa menahan rasa sakit di kepalaku ketika samar ku lihat
sosok ayah dan ibuku terlintas dalam bayanganku. Aku merasa seperti mendengar
suara Ibu memanggil-manggil namaku dengan begitu lembut. Sedetik
kemudian aku kembali melihat dalam ingatanku Ibu yang sedang menangis karena
ulahku yang sering kali membantah nasihat-nasihatnya. Suara tangisan itu terasa
nyata. Aku semakin meronta. Daru
berusaha menenangkanku, tangannya meraih tanganku. Namun aku tetap meronta tak
bisa diam. Di telingaku terngiang-ngiang kata-kata kasarku kepada Ibu. Entah
mengapa kini aku bisa mengingatnya begitu jelas. Sangat jelas. Suara tangisan
itu, wajah ratapan Ibu seolah nyata terjadi di depanku. Aku bangkit dari
dudukku. Namun kakiku lesu hingga aku terjatuh.
Tiba-tiba semuanya seperti bercahaya. Sinarnya
begitu menyilaukanku. Aku seperti berada di tempat asing, entah dimana. Aku
melihat jalan setapak yang entah bermuara kemana. Aku menyusuri jalan itu,
hingga aku menemukan dua orang yang ku kenal berdiri mematung di ujung jalan.
Mereka melihatku dan tersenyum. Itu Ayah dan Ibu!
“Laila, pulang sayang. Ibu rindu.”
Aku mencoba mendekat. Namun sosok mereka justru
semakin jauh. Air mataku jatuh. Aku ingin bersama mereka. Disini, di tempat
yang tak ku tahu apa namanya. Aku bisa mengingat kembali masa laluku. Aku bisa
mengingat dengan jelas. Sangat jelas. Aku ingin bersama ayah dan ibu. Aku ingin
meminta maaf pada mereka. Aku ingin memeluk mereka. Aku masih ingin bersama
mereka.
Sakit di kepalaku kembali terasa. Rasanya jauh lebih
sakit dari sebelumnya. Aku berlutut karena rasa sakit itu. Tiba-tiba aku
melihat pemandangan yang sungguh tak mampu ku mengerti. Aku melihat diriku
terbaring lemah tanpa daya, tubuhku penuh dengan peralatan medis. Aku mencoba
mendekat, wajahku pucat pasi dan penuh dengan luka memar. Kepalaku berbalut
perban, terdapat setitik noda merah di perban putih itu. Mungkin darah, mungkin
juga obat merah. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Pulanglah Nak.”
Aku mendengar suara itu lagi. Aku mencoba mencari asal suara itu. Mencari
ayah dan Ibu. Dan tiba-tiba aku tak sadarkan diri.
*
Ku buka mata perlahan. Aku merasakan ada air mata
menetes di punggung tanganku. Aku melihat sekeliling.
“Ayah.”
Ayah mengelus rambutku. Ia menciumi keningku.
“Ayah disini sayang,” ucap Ayah sambil menyeka air
matanya.
Ibu langsung memeluki dan menciumiku tiada henti.
“Sayang. Ini Ibu sayang. Kamu ingat Ibu kan?”
Aku mengangguk dan menangis “Ibu.”
Ibu, ayah, dan anggota keluargaku yang lain
kebingungan. Aku hanya bisa menangis sambil terus memegangi tangan ayah dan
ibu. Aku tidak ingin berpisah dengan mereka. Keluargaku yang lain mulai
berdatangan dan langsung memelukku, menciumku, dan mengenggam erat tanganku.
Mereka terlihat sangat bahagia saat aku membuka mataku. Aku mencoba mengingat
kejadian lalu. Aku ingat, aku ingat saat aku sedang mengendarai mobil, ibu
meneleponku, tapi aku mengacuhkannya. Aku bahkan mereject panggilan telepon dari Ibu. Dan saat ku sadari sebuah truk
melaju kencang dari arah samping dan aku tak sadarkan diri.
“Laila kenapa Bu?”
Ibu mengelus punggung tanganku dan tersenyum.
“Kami hampir kehilangan harapan untuk kesembuhan
kamu. Kamu koma selama 40 hari.”
Aku menangis. Mengingat kejadian yang membuatku tak
kuasa bersyukur pada Tuhan. Bersyukur karena ternyata kejadian yang ku alami
itu tidak nyata. Hanya pembelajaranku ketika aku mengalami koma selama 40 hari.
Aku terus mengenggam tangan Ibu. Aku tak ingin melepaskan Ibu.
“Aku minta maaf Bu, Yah. Laila minta maaf sering
kecewain Ayah dan Ibu,” ku ciumi tangan keduanya.
Saidah
Be First to Post Comment !
Posting Komentar