Temukan Jalanmu Sendiri!

on
2/25/2015
Dunia ini luas. 
Ruang memiliki batas. 
Kamu tidak menemukan dirimu sendirian. 
Ada banyak orang dengan mimpi dan asa yang sama, berjalan bersama-sama di sampingmu.
Kamu hanya akan bertemu, saling sapa, saling melempar tawa dan sedikit cerita.
Tapi kamu tidak pernah tahu, tentang perjalanan seperti apa yang telah mereka tempuh, begitu pula sebaliknya.
Karena meski berada pada jalan yang sama, sepatu kita berbeda.



Kadang kita terlalu memandang tinggi orang lain dan sibuk menggerutu tentang diri sendiri. Kita sibuk membandingkan. Tentang apa yang mereka punya dan kita tidak punya. Tentang apa yang berhasil mereka capai dan tidak kita capai. Sehingga akhirnya membuat kita mencoba mengorek aib mereka untuk kita jatuhkan agar diri kita ternilai lebih baik dari mereka. Naudzubillah.

Bersyukurlah!
Kita akan selalu merasa tidak cukup dengan apapun yang kita dapatkan jika tidak bersyukur. Setiap hari kita akan selalu berpikiran negatif tentang sesuatu yang sebenarnya tidak butuh diperumit. Be simple! Bersyukur itu menenangkan.

Terimalah!
Jika mungkin diri kita belum sehebat mereka yang kita anggap 'rival', terimalah. Mungkin memang kita butuh untuk bekerja lebih keras, berdoa lebih banyak, dan berpasrah lebih tulus.

Belajarlah!
Membandingkan tidak akan menyelesaikan masalah. Kamu akan selalu terjebak dalam pikiran sempitmu tentang nikmat Tuhan. Bersyukur dan terimalah apapun yang telah kita dapatkan. Jangan pernah berhenti berusaha dan belajar. Setiap hari kita selalu belajar tentang apapun. Setiap hari selalu ada pelajaran baru bagi kita jika kita sadar dan mau memahami. Belajarlah untuk bisa berbagi.
Impian kita boleh saja sama. Tapi kita gak harus jadi sama.
Temukan jalanmu sendiri!



Saidah

SETIA

on
2/22/2015
Apa itu setia?
Tanya itu terus saja menggelayuti pikiranku. Dan setiap kali aku menatap senyumnya yang membuatku jatuh cinta, hatiku kian terusik. Tentang bagaimana caranya aku bisa membuktikan padanya bahwa aku wanita terbaik. Lima belas tahun mungkin belum menjadi bukti tentang betapa aku selalu ingin menjadi orang pertama yang akan dia cari di sepanjang hidupnya. Kadang aku tak paham dengan perasaan ini. Sesakit apapun hatiku saat melihat kemesraannya dengan perempuan yang dia cintai, aku masih terus memikirkan bagaimana aku bisa menjaga persahabatan kami.

Di sudut taman di kota Jakarta. Pukul 22.00 - 40 hari yang lalu.
Aku masih menunggunya. Sudah lima jam dari yang ia janjikan, aku masih tetap menunggunya disini. Mungkin terlihat bodoh, tapi aku yakin dia akan datang. Hari ini aku ingin mengutarakan semua perasaanku. Aku merasa telah cukup menyimpan semuanya sendiri. Dan aku harus menyampaikannya hari ini, di hari ulang tahunku.

Berkali-kali aku menghubunginya, namun sambungan teleponku tetap tak dijawabnya. Malam kian larut dan hatiku semakin kalut. Tak biasanya dia mengacuhkanku. Tak biasanya dia tak menjawab teleponku dan tak biasanya dia mengingkari janjinya. Ada apa dengan kamu, Juna?

Pukul 23.30 - 40 hari yang lalu
Aku memutuskan untuk pulang. Meski aku tahu tak ada yang mencari atau menungguku di rumah. Sebab aku memang sebatang kara, dan Juna satu-satunya yang aku punya. Masa lalu kami kelam. Kami hanya dua anak malang yang ditinggal oleh orang tua kami di panti asuhan. Namun Juna lebih dulu, sampai akhirnya aku datang dengan pilu di usia sepuluh tahun saat itu. Sedikit kenanganku dengan orang tuaku, yang aku ingat aku tinggal bersama ibu kandung dan ayah tiri. Namun ayah tiri tak pernah menyukai keberadaanku. Suatu hari dia mengajakku bertamasya, hanya berdua dan aku mau saja. Tapi pada kenyataannya, ia meninggalkanku di sebuah tempat yang aku tak tahu dimana. Berhari-hari aku mencari jalan untuk kembali pulang, tapi aku tak tahu apakah langkahku mendekati atau justru semakin menjauh dari rumah. Aku menangis dan aku tak tahu harus kemana. Hingga akhirnya, aku bertemu dengan Juna dan ia mengajakku ke panti asuhan itu.

Persahabatan kami indah. Hidupku mulai berwarna semenjak bersamanya. Hitam pekat itu memudar, meski trauma masa lalu kadang masih terus menghantuiku. Namun Juna mengajarkanku untuk tidak mudah menangis meski aku tersakiti. Dan Juna berjanji akan selalu ada untukku, menjadi pelindungku.
Lima tahun kami hidup bersama di panti asuhan. Usia Juna yang sudah tujuh belas tahun saat itu mengharuskannya pergi meninggalkan panti. Juna ingin mandiri, lagipula dia telah berhasil menamatkan pendidikannya hingga menengah atas. Sudah saatnya Juna hidup di belantara bumi yang sebenarnya. Dan aku menyusulnya dua tahun kemudian.

Tak pernah terbayang olehku, selepasnya keluar Panti, hitam pekat itu kembali bertandang.

Aku kembali mencari rumahku, mencari ibu. Dan aku berhasil bertemu. Ayah tiriku telah meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Ibu bilang ayah kecelakaan saat dalam perjalanan pulang sehabis bertamasya denganku, tujuh tahun yang lalu. Dan ketidakberadaanku dalam kecelakaan itu membuat ibu berkesimpulan aku telah hilang dan mati. Tangis kami bersahutan, dekapan yang selalu ku rindukan bisa kembali ku rasakan. Namun tidak lama, di usiaku yang ke dua puluh, ibu pergi menyatu bersama para suaminya. Dan aku kembali sebatang kara.

Aku kembali bertemu Juna, namun keadaannya telah berbeda.

Di suatu pagi di hari pertamaku bekerja di sebuah hotel, seorang lelaki tertangkap pandangan mataku. Aku terus memerhatikannya, entah kenapa aku merasa tak asing. Saat ia berjalan mendekat ke arahku, ku tengok sekilas papan nama yang terjuntai di kantung bajunya, kueja namanya AR-JU-NA. Spontan aku langsung berteriak histeris menyebut namanya. Juna memerhatikan wajahku, sebuah gantungan boneka kain yang tak pernah lepas dari tasku menjadi penentu apakah dia masih mengenaliku atau telah lupa. Dan ternyata ia mengenaliku. Tuhan, rasanya aku seperti kembali hidup. Hitam pekatku kembali memudar karena hadirnya. 

Aku bahagia. Tapi tak lama, saat ku tahu dia menyukai seorang wanita.

Aku tetap di sampingnya karena ia satu-satunya yang ku punya.
Sikap Juna kepadaku tak berubah, masih sama seperti saat kami masih lugu soal rasa. Setidaknya aku tak merasa kehilangannya, meski sadar aku tak berkesempatan mendapatkan hatinya.

Pukul 24.00 - 40 hari yang lalu
Aku tiba sampai rumah. Lelah ini ingin segera ku hantarkan pada nyamannya lelap. Namun, semua itu sirna saat ku lihat sepasang manusia tengah menunggu di depan rumahku. Mereka, Juna dan Bella. Wajah mereka sumringah, terlebih Juna seperti tidak merasa bersalah karena telah ingkar pada janjinya.

"Kamu kemana aja? Kok baru datang?"

Aku diam. Aku ingin memaki tapi tak bisa.

"Maaf ya aku gak jadi ketemu kamu di taman, tapi aku disini. Kita rayain ulang tahun kamu bareng-bareng yuk!"

Aku masih diam. Mulutku tak berkata apapun. Sementara hatiku terus menggerutu. Mengapa bisa setega ini bersikap di depanku? Aku tak menjawab setiap pertanyaan Juna, aku terus saja berjalan melewati mereka, menuju rumahku. Ku lihat sekilas Juna menatap bingung. Untuk kali ini, aku ingin tak peduli apapun lagi tentangnya. Sudah saatnya aku peduli pada hatiku sendiri.

Pukul 08.00 - Hari Ini.
Aku masih tak bisa pejamkan mata. Mengenang detik-detikku sebagai manusia. Kata-kata yang tak sengaja ku ucap namun sungguh dari hati ternyata dikabulkan Tuhan. Kini, aku sedang memandangi wajah Juna yang begitu tegang karena akan segera meminang Bella. Aku bisa menatap Juna selama yang aku mau. Kini aku pahami arti setia dalam perspektifku sendiri. Bahwa saat kamu mampu tetap bersamanya entah menjadi siapa dalam hidupnya.
Mungkin menjadi seikat cincin yang tak pernah terlepas dari jari manisnya.


Saidah


Cerita ini hanyalah fiktif belaka.

Kisah : Arti Memiliki dan Kehilangan

on
2/10/2015
Belakangan ini keuangan keluarga kami sedang goyah. Pertama, karena kebijakan pemerintah yang menerapkan sistem lelang jabatan. Kedua, dua kali kami dikerjai oleh orang yang kami percaya. Hingga menguras sejumlah dana. Yang membuat kami hanya bisa mengelus dada "Ya Allah." Rasanya hati ingin sekali menjerit, terutama sebagai sulung aku merasa tak berguna bagi mama dan papa. Di saat keluarga ini butuh pegangan lain, aku justru masih tertatih dan sering kali kembali bersandar pada kedua orang tuaku, bukan berdiri sendiri dan menjadi sandaran mereka. Pernah aku beprasangka tak baik pada Allah, namun buru-buru ku tepis. Ku kuatkan lagi hati yang merapuh. Ku luruskan lagi jiwa yang menyimpang. Aku percaya bahwa semua yang terjadi telah menjadi rencana-Nya untuk mengajari kami sesuatu. Aku percaya semua ada hikmahnya dan aku percaya bahwa takdir Allah pasti baik. Yang patut kami lakukan adalah berdoa, berusaha, dan bersandar pada-Nya. 

Hari ini kesabaran kami kembali diuji, lagi-lagi kami dikerjai oleh rekanan kami. Mereka saling menyalah dan melempar tanggung jawab. Mereka tak membantu, hanya memperumit keadaan kami. Air mata itu jatuh lagi. Air mata ketidakberdayaanku. Air mata yang jatuh di kala sunyi, di kamarku tengah hari. Bernafas pun rasanya berat. Ada beban yang tertahan di dada. Bersama jutaan air mata yang jatuh tanpa perintah. Lelah, aku larut dalam duka. Bukan pada apa yang terjadi pada kami, tapi pada penyalahan diri yang belum mampu berbakti pada ibu bapak. Yang masih sering menyusahkan, bahkan hingga hari ini.

Perlahan, ku langkahkan kakiku menuju ruang keluarga. Ku lihat Mama sedang menonton televisi. Ku lihat matanya, ku lihat beban disana. Ku lihat kerapuhan yang dibalut ketegaran ragawinya. Ku lihat kesabaran tiada bertepi dari matanya. Ku dalami lagi arti tatapannya, ada kelelahan meliputi namun baktinya sebagai istri dan perannya sebagai ibu membuat lelahnya tak terasa. 

Ku peluk mama, ku ciumi mama. Air mataku luruh dalam dekapnya. Mama menatapku penuh tanya. Sesegukan aku menjelaskan perkara "Maafin ayoh ya Ma. Maafin ayoh nyusahin mama terus. Maafin ayoh belum bisa bantu mama. Maafin ayoh sering bikin mama kesel. Maafin ayoh belum bisa bahagiain mama. Maafin ayoh. Maaf." 

Kemampuanku berkata-kata mendadak senyap dengan air mata. Bibirku kelu, air mata kian membasahi jilbab merah maroon milik mama. Aku merasakan jemarinya mengusap punggungku. Melepaskan satu satu penat yang mengendap. Dekapan itu hangat, saat hati kita bertemu dalam diam dan saling bicara tanpa kata. Kami saling membaca di balik detak. Ada cinta tanpa syarat. Ada cinta tak berbatas.

"Teh, setiap manusia pasti ada ujiannya. Kan Allah bilang belum dikatakan beriman seseorang jika belum Aku uji. Tetap bersyukur sama keadaan yang Allah kasih. Teteh jangan nyerah, terus libatin Allah di setiap langkah kita. Mama selalu berdoa sama Allah supaya anak-anak mama sukses. Jangan ditinggal sholat malamnya ya teh. Meskipun sunnah tapi itu baik. Apalagi di saat kita butuh. Allah gak butuh ibadah kita, tanpa ibadah kita Allah tetap Maha Kuasa. Kita yang justru gak bisa apa-apa tanpa Allah. Harta semua bisa hilang sekejap. Asal jangan iman yang hilang"

Barisan kalimat Mama mengilhamiku. Tentang dunia yang fana. Semuanya bisa hilang sekejap mata. Semua hanya titipan, bukan milik kita. Aku teringat sebuah novel karya Tere Liye tentang apalah arti memiliki. 'Apalah arti memiliki, jika diri kami sendiri bukan milik kami'. Dengan peristiwa ini Allah sedang mengajariku tentang arti memiliki, tentang arti kehilangan, tentang arti ikhlas atas setiap ketentuan-Nya


"Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Jika mendapat kelapangan, maka dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ditimpa kesempitan, maka dia bersabar, dan itu menjadi kebaikan baginya. (HR. Bukhari dari Shuhaib)


Bogor, 10 Februari 2014.
Pukul 21.15
Saidah

Mengapa Kamu Menulis?

on
2/07/2015
Mengapa kamu menulis?
Ketika ada orang yang bertanya hal itu padaku, aku hanya akan menjawab dengan satu kata; suka. Aku suka menulis.

Mengapa kamu suka menulis?
Dan jawabanku tak lagi hanya sekedar satu kata. Ada penjabaran panjang yang aku jelaskan tanpa diminta. Dengan berbinar aku antusias bercerita, tentang sesuatu yang membuatku jatuh cinta. Tak berlebihan jika aku berkata ini tentang rasa, bahwa Tuhan menciptakan cinta bukan hanya sekedar dari manusia kepada manusia.

Aku sedang belajar. Mungkin selama ini aku hanya menyimpannya sebagai sesuatu yang ku suka. Lambat laun ku sadari, aku jatuh cinta. Menulis membuatku bisa merefleksikan rasa, mengungkapkan fakta tanpa bicara, berkata tanpa suara. Ia hanya deretan kalimat yang membentuk satu pola dan bermakna.

Sengaja kutebali pada kata bermakna. Karena setiap baris kalimat yang tertulis tentu saja punya makna. Tentang apa, untuk siapa, bagaimana, kapan, dimana dan mengapa. Pertanyaan yang sudah mahir diolah oleh para pewarta. Dan tentu saja sebagai pemungut hikmah dan penulis cerita kita pun harus mahir meraciknya. Kini, konsep tanya itu milik kita. Tak lagi punya mereka para pencari berita.

Menulis menuntaskan gelisahku yang selama ini hanya menggantung di antara hati dan pikiran. - saidahumaira

Setiap hari aku selalu menulis. Bukan berarti setiap hari aku gelisah. Aku hanya merasa perlu berbagi yang ku punya, meski itu masih sangat minim. Aku pun mudah lupa, hingga aku merasa sangat perlu menulis untuk mengenangnya. Dan aku sepakat, bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Banyak orang yang menyindirku ketika mereka tahu bahwa aku seorang ahli madya komunikasi. Di mata mereka (mungkin) semua orang yang mengambil pendidikan bidang ilmu komunikasi pastilah mahir dalam berbicara, menguasai panggung, dan mudah bergaul.

"Kamu kan anak komunikasi, pasti jago ngomong."

Untuk poin nomor dua, aku membantah. Sejujurnya, aku seseorang yang sangat mudah terserang demam panggung. Di saat semua mata menatap pada titik yang sama, yaitu aku. Aku merasa segala gerak gerikku diawasi, dikomentari, yang membuatku sangat takut berbuat kesalahan sehingga yang terlihat adalah aku kaku. Aku tak nyaman dengan diriku.

Dan aku merasa panggung bukanlah 'panggung' ku. Bukan berarti aku enggan berbicara, namun untuk menjalani profesi berada di atas panggung sesungguhnya, mungkin bukan tempatku, bukan ruangku, dan bukan sesuatu yang aku sukai.

Untuk urusan bicara, aku hanya perlu belajar, bukan untuk menjadikanku seorang ahli. Ada orang-orang yang lebih menyukai perkara itu di banding aku. Biarlah aku menjadi pencatat apa yang mereka katakan. Hidup harus seimbang bukan?

Awal menulis?
Yang ku ingat, saat aku duduk di bangku sekolah menengah pertama, aku sering sekali membaca cerita temanku, Galuh (baca karyanya disini). Aku kagum. Pertama, karena ia menulisnya di buku dan ditulis tangan. Berlembar-lembar ia menulis tanpa merasa jengah, itu sesuatu yang sangat luar biasa untukku. Karena biasanya untuk mencatat materi pelajaran sekolah dari guru sebanyak dua lembar saja rasanya malas. Kedua, ceritanya hidup. Ia menulis secara bersambung, yang selalu membuatku ketagihan dan menunggu kelanjutan ceritanya. Yang membuatku selalu bertanya "udah ada sambungan ceritanya belum, Gal?". Kedua faktor itu cukup membuatku tertarik menulis.
Aku ketagihan.

Sejak saat itu aku mulai menulis. Menulis apa saja, namun yang paling sering adalah menulis puisi atau sekedar catatan hati. Saat di bangku menengah atas, aku mulai membukukan puisi-puisiku dalam sebuah buku tulis yang ku sampul agar menarik (setidaknya di penglihatanku). Disini, aku merasa ketertarikanku pada dunia menulis harus ditingkatkan. Aku mulai belajar menulis naskah, meski saat itu formatnya mungkin hanya 'sekedarnya'. Hal yang tak pernah aku lupakan adalah ketika aku menuliskan naskah video klip untuk tugas kesenian. Dari sekian banyak murid yang mengkonsepkannya, konsepku yang akhirnya terpilih untuk tugas kesenian yang dikerjakan satu kelas. Sederhana namun membahagiakan. Itu apresiasi pertama yang ku terima dan yang akhirnya juga membuatku yakin. Aku suka menulis!

Masa kuliah adalah masa yang paling berharga dalam sejarah menulisku. Disini aku belajar menulis banyak hal, dari yang fiktif hingga bersifat fakta. Dan Alhamdulillahnya, di berbagai tugas kuliah aku dipercaya menjadi script writer / copy writer nya. Begitu pun dalam organisasi kemahasiswaan. Aku diamanahkan untuk mengisi konten di mading. Bukan konten yang bersifat fiktif, namun konten yang bersifat informatif, penyampaian berita; tentang liputan kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa dan kebijakan kampus.

Ingin jadi penulis?
Tentu saja. Itu mimpiku. Mimpi yang ingin sekali aku wujudkan. Dulu, aku sempat berpikiran sempit tentang talenta ini. Siapa manusia di bumi ini yang tidak bisa menulis? Semua orang bisa. Dan aku sempat merasa menjadi orang rata-rata dan tidak istimewa. Aku sempat bingung akan jadi apa ketika dewasa nanti dengan hanya mengandalkan 'menulis'. Aku tak suka dunia sains, meski saat itu orang tuaku berharap sekali aku bisa jadi dokter. Aku suka pelajaran ilmu sosial (sayangnya di sekolahku tidak ada jurusan bahasa), yang akhirnya membuat Mama dan wali kelasku berdebat soal aku harus mengambil jurusan apa? Wali kelas mendukungku yang memilih jurusan ilmu sosial dan Mama terpaksa mengalah.

Sudah dua kali aku ikut test pumping talent dan keduanya menyatakan bahwa minat dan bakatku mengarah pada ilmu bahasa dan ilmu sosial. Beberapa macam pilihan karir disebutkan yang kesemuanya ku iyakan dalam hati; sesuai. Dari pumping talent itu aku baru mengetahui tentang melankolis, plegmatis, sanguinis, dan koleris. Dan kesemua hasil testku menyatakan; AKU MELANKOLIS! Aku mudah terhanyut perasaan, aku murahan dalam menangis. Sedikit saja sebuah peristiwa menyentuh hati, aku mati-matian menahan air mata agar tak tumpah.

Menangis menenangkanku dan menulis membuatku mampu membebaskan emosiku. - saidahumaira
Kini, aku bersyukur dengan talenta yang Allah swt beri. Penulis kini lebih dihargai dan mulai punya tempat sendiri. Terlebih ku sadari, menjadi penulis tak hanya perkara berkarya tapi beramal dengan goresan pena.

Menulis sampai kapan?
Menulis sampai tutup usia. Sampai tak ada lagi waktuku di dunia. Sampai tak ada lagi hembusan nafas yang menandakan aku masih punya nyawa. Sampai tak ada lagi detak dalam nadi dan jantung, sampai semuanya berhenti dan aku meninggalkan semua. Hingga yang bisa ku wariskan bukan harta benda. Hanya lembaran kertas yang punya nama, buku. Semoga ia bisa bermakna.

"Apa yang dari hati akan sampai ke hati."



Saidah

Sungguh Tak Mudah Bagiku

on
2/04/2015
Hai. Apa kabar kamu?
Basikah pertanyaanku? Semoga kamu tak jenuh membalasnya, meski sekedar menjawab 'baik'.

Hai. Kita memang berjarak.

Jawa - Sumatera jauh dalam tempuh, namun sebenarnya kamu begitu dekat. Selalu di sekitarku, tak kemana-mana.


Setiap hari, selalu ku lihat namamu dalam layar ponselku. Bukan bercakap denganku, namun dengan mereka-mereka yang menjadi penyanjungmu yang baru. Yang senantiasa memuja setiap bait-bait sajakmu. Bahkan mungkin di antara mereka yang membaca bait-baitmu, telah ada yang jatuh cinta dalam diam padamu. Dan semua itu, tak lagi cuma aku.

Maaf jika aku begitu berlebihan. Bukan aku tidak suka, aku hanya cemburu. Aku ingin bisa dekat dan bercengkrama denganmu seperti dulu. Tapi tak bisa. Kita saling asing semenjak hari itu.

Berpura-pura menjadi teman biasa pun tak mudah untukku. Aku tak selalu berhasil. Terlebih jika ku baca sajak-sajakmu. Terlalu percaya dirikah aku, jika aku menebak setiap bait yang tertulis itu untukku?

Kadang, ingin rasanya aku menghilang dari radarmu. Sesekali aku berhasil, selebihnya aku tak kuasa. Aku merindumu saat ini.

Sebenarnya, perpisahan kita bukan karena saling tak suka. Tapi untuk saling menjaga. Aku tak menyesal melakukannya, namun bukan berarti aku bisa secepat itu. Membuatmu kembali menjadi teman biasa, setelah beberapa lama menjadi yang teristimewa.

Sungguh tak mudah bagiku, menghentikan segala khayalan gila. Jika kau ada dan ku cuma bisa meradang menjadi yang di sisimu. - Tahu Diri, Maudy Ayunda.
Dan, upayaku tahu diri ...



Saidah

Sebuah Tanya

Bagaimana kau merasa bangga, akan dunia yang sementara.
Bagaimanakah bila semua, hilang dan pergi meninggalkan dirimu?


Mengapa banyak manusia yang begitu keras berjuang demi mewujudkan mimpi-mimpinya. Namun di saat yang sama terkadang mereka begitu ringkih dan rapuh dalam pemahaman agama?

Banyak orang yang ketika tersungkur dalam lara, ia tak absen untuk terus berupaya. Hingga ia mereguk bahagia dalam pandangan manusia. Namun kenapa? Ia tak menyadari terkikisnya iman yang harus terjaga dalam hati. Yang setiap hari seharusnya diperbaharui. Yang setiap hari harusnya dijaga hingga mati, bukan dibiarkan mati.

Tak sedikit yang berlomba untuk mengejar gelar dunia. Mencari ilmu hingga ke negeri china. Itu tak salah sebenarnya, namun kenapa ilmu agama yang seharusnya utama selalu diesok-esok?
Apakah keduanya berbeda sehingga tak dijalankan di saat yang sama?
Apakah begitu sulit dan rumit perkara agama hingga belajarnya menunggu tua?
Mengapa kamu selalu memikirkan apa yang telah Tuhan beri? 
Tak cukup buktikah hari ini kamu bisa bernafas dan beraktivitas sebagai nikmat yang luar biasa?
Mengapa kamu memikirkan nanti? Bagaimana nanti terjadi jika hari ini saja kamu lalai benahi?


Bukan maksudku menggurui, ini hanya bentuk perenungan diri. Sebab aku mudah lupa dan menulis membuatku ingat bahwa aku pernah ada di titik ini.



Saidah

Tentang 42 Bulan

on
2/03/2015

Hari ini dapet challenge dari teman-teman oneweekonepaper.com untuk menuliskan kisah paling wow yang ada di facebook. So, sebenernya kalo gak penting-penting banget, rasanya gue gak mau lagi berhubungan sama facebook. Because what? Karena gue gak mau melihat lagi 42 bulan yang pernah gue lewatin bersama seorang laki-laki yang hari ini tepat berusia 23 tahun. Bukan. Bukan karena gue belum move on dari doi. Tapi karena sesuatu yang pernah gue tulis di dinding facebook dengan begitu mesranya selama 42 bulan kebersamaan sama dia, bisa jadi racun di kala hati resah. Gue sadar, gue gak bisa sepenuhnya lepas dari facebook. Karena pekerjaan dan pertemanan masih sangat membutuhkan facebook. Ya setidaknya gue hanya membuka ketika 'harus'. Tapi hari ini, gue terpaksa sedikit mengungkit masa lalu itu. Tentang cinta yang bukan monyet, tentang jarak, tentang setia, tentang menerima apa adanya, tentang diberi dan memberi kebahagiaan, tentang pengorbanan, tentang pertanyaan menyelidiki, dan  tentang gue yang gak bisa mendeskripsikan mengapa gue bisa jatuh cinta sama laki-laki itu. 

Laki-laki itu kakak kelas gue di SMA. FYI aja, sebelum memutuskan untuk sendiri (yang inshaAllah diridhoi Allah) gue sudah pernah pacaran beberapa kali. Dan pacaran sama kakak kelas itu adalah yang terlama buat gue, 42 bulan alias 3 tahun 6 bulan (bahkan sebenernya lebih). Dan facebook, bisa dibilang penulis sejarah itu. Mulai dari tahun 2008 sampai 2012. Setiap gue menghabiskan waktu sama dia, gue akan menuliskannya di dinding facebook atau di catatan. Dan sepanjang tahun itu, kolom about me tertulis in relationship with. Sampai akhirnya di bulan Mei 2012, gue meniadakan kolom status relationship itu. Dan berusaha meniadakan apa yang pernah gue lewatin sama dia. Semua foto berdua berhasil gue hapus, namun sayangnya apa yang pernah gue tulis dalam dinding facebook, termasuk semua commentnya luput dari 'pembersihan'. Huh.... Sekarang sih, apapun yang pernah gue tulis itu sudah menjadi sejarah. Bahwa dulu, gue pernah begitu sangat disayangi dan menyayangi seorang laki-laki. Bahwa dulu gue pernah begitu dijaga dengan kesetiaan, dirapatkan meski jarak memisahkan, dan diistimewakan. Bahwa dulu pernah ada yang berjuang begitu keras untuk mendapatkan lagi hati gue. Bahwa dulu pernah ada yang memahami gue sampai gue gak paham tentang betapa baiknya dia. Bahwa dulu pernah ada yang selalu bisa maafin gue betapa menyebalkannya tingkah gue. Tanpa masa lalu itu, tentu gak akan ada gue yang sekarang. Semua cerita cinta yang pernah gue lewatin, gue jadiin inspirasi buat menulis. 

"Patah hati, sakit hati, gak melulu bikin kita jadi negatif. Kalau kamu kreatif, kamu bisa bikin itu jadi cerita yang menarik dan ekslusif" -



Saidah