SETIA

on
2/22/2015
Apa itu setia?
Tanya itu terus saja menggelayuti pikiranku. Dan setiap kali aku menatap senyumnya yang membuatku jatuh cinta, hatiku kian terusik. Tentang bagaimana caranya aku bisa membuktikan padanya bahwa aku wanita terbaik. Lima belas tahun mungkin belum menjadi bukti tentang betapa aku selalu ingin menjadi orang pertama yang akan dia cari di sepanjang hidupnya. Kadang aku tak paham dengan perasaan ini. Sesakit apapun hatiku saat melihat kemesraannya dengan perempuan yang dia cintai, aku masih terus memikirkan bagaimana aku bisa menjaga persahabatan kami.

Di sudut taman di kota Jakarta. Pukul 22.00 - 40 hari yang lalu.
Aku masih menunggunya. Sudah lima jam dari yang ia janjikan, aku masih tetap menunggunya disini. Mungkin terlihat bodoh, tapi aku yakin dia akan datang. Hari ini aku ingin mengutarakan semua perasaanku. Aku merasa telah cukup menyimpan semuanya sendiri. Dan aku harus menyampaikannya hari ini, di hari ulang tahunku.

Berkali-kali aku menghubunginya, namun sambungan teleponku tetap tak dijawabnya. Malam kian larut dan hatiku semakin kalut. Tak biasanya dia mengacuhkanku. Tak biasanya dia tak menjawab teleponku dan tak biasanya dia mengingkari janjinya. Ada apa dengan kamu, Juna?

Pukul 23.30 - 40 hari yang lalu
Aku memutuskan untuk pulang. Meski aku tahu tak ada yang mencari atau menungguku di rumah. Sebab aku memang sebatang kara, dan Juna satu-satunya yang aku punya. Masa lalu kami kelam. Kami hanya dua anak malang yang ditinggal oleh orang tua kami di panti asuhan. Namun Juna lebih dulu, sampai akhirnya aku datang dengan pilu di usia sepuluh tahun saat itu. Sedikit kenanganku dengan orang tuaku, yang aku ingat aku tinggal bersama ibu kandung dan ayah tiri. Namun ayah tiri tak pernah menyukai keberadaanku. Suatu hari dia mengajakku bertamasya, hanya berdua dan aku mau saja. Tapi pada kenyataannya, ia meninggalkanku di sebuah tempat yang aku tak tahu dimana. Berhari-hari aku mencari jalan untuk kembali pulang, tapi aku tak tahu apakah langkahku mendekati atau justru semakin menjauh dari rumah. Aku menangis dan aku tak tahu harus kemana. Hingga akhirnya, aku bertemu dengan Juna dan ia mengajakku ke panti asuhan itu.

Persahabatan kami indah. Hidupku mulai berwarna semenjak bersamanya. Hitam pekat itu memudar, meski trauma masa lalu kadang masih terus menghantuiku. Namun Juna mengajarkanku untuk tidak mudah menangis meski aku tersakiti. Dan Juna berjanji akan selalu ada untukku, menjadi pelindungku.
Lima tahun kami hidup bersama di panti asuhan. Usia Juna yang sudah tujuh belas tahun saat itu mengharuskannya pergi meninggalkan panti. Juna ingin mandiri, lagipula dia telah berhasil menamatkan pendidikannya hingga menengah atas. Sudah saatnya Juna hidup di belantara bumi yang sebenarnya. Dan aku menyusulnya dua tahun kemudian.

Tak pernah terbayang olehku, selepasnya keluar Panti, hitam pekat itu kembali bertandang.

Aku kembali mencari rumahku, mencari ibu. Dan aku berhasil bertemu. Ayah tiriku telah meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Ibu bilang ayah kecelakaan saat dalam perjalanan pulang sehabis bertamasya denganku, tujuh tahun yang lalu. Dan ketidakberadaanku dalam kecelakaan itu membuat ibu berkesimpulan aku telah hilang dan mati. Tangis kami bersahutan, dekapan yang selalu ku rindukan bisa kembali ku rasakan. Namun tidak lama, di usiaku yang ke dua puluh, ibu pergi menyatu bersama para suaminya. Dan aku kembali sebatang kara.

Aku kembali bertemu Juna, namun keadaannya telah berbeda.

Di suatu pagi di hari pertamaku bekerja di sebuah hotel, seorang lelaki tertangkap pandangan mataku. Aku terus memerhatikannya, entah kenapa aku merasa tak asing. Saat ia berjalan mendekat ke arahku, ku tengok sekilas papan nama yang terjuntai di kantung bajunya, kueja namanya AR-JU-NA. Spontan aku langsung berteriak histeris menyebut namanya. Juna memerhatikan wajahku, sebuah gantungan boneka kain yang tak pernah lepas dari tasku menjadi penentu apakah dia masih mengenaliku atau telah lupa. Dan ternyata ia mengenaliku. Tuhan, rasanya aku seperti kembali hidup. Hitam pekatku kembali memudar karena hadirnya. 

Aku bahagia. Tapi tak lama, saat ku tahu dia menyukai seorang wanita.

Aku tetap di sampingnya karena ia satu-satunya yang ku punya.
Sikap Juna kepadaku tak berubah, masih sama seperti saat kami masih lugu soal rasa. Setidaknya aku tak merasa kehilangannya, meski sadar aku tak berkesempatan mendapatkan hatinya.

Pukul 24.00 - 40 hari yang lalu
Aku tiba sampai rumah. Lelah ini ingin segera ku hantarkan pada nyamannya lelap. Namun, semua itu sirna saat ku lihat sepasang manusia tengah menunggu di depan rumahku. Mereka, Juna dan Bella. Wajah mereka sumringah, terlebih Juna seperti tidak merasa bersalah karena telah ingkar pada janjinya.

"Kamu kemana aja? Kok baru datang?"

Aku diam. Aku ingin memaki tapi tak bisa.

"Maaf ya aku gak jadi ketemu kamu di taman, tapi aku disini. Kita rayain ulang tahun kamu bareng-bareng yuk!"

Aku masih diam. Mulutku tak berkata apapun. Sementara hatiku terus menggerutu. Mengapa bisa setega ini bersikap di depanku? Aku tak menjawab setiap pertanyaan Juna, aku terus saja berjalan melewati mereka, menuju rumahku. Ku lihat sekilas Juna menatap bingung. Untuk kali ini, aku ingin tak peduli apapun lagi tentangnya. Sudah saatnya aku peduli pada hatiku sendiri.

Pukul 08.00 - Hari Ini.
Aku masih tak bisa pejamkan mata. Mengenang detik-detikku sebagai manusia. Kata-kata yang tak sengaja ku ucap namun sungguh dari hati ternyata dikabulkan Tuhan. Kini, aku sedang memandangi wajah Juna yang begitu tegang karena akan segera meminang Bella. Aku bisa menatap Juna selama yang aku mau. Kini aku pahami arti setia dalam perspektifku sendiri. Bahwa saat kamu mampu tetap bersamanya entah menjadi siapa dalam hidupnya.
Mungkin menjadi seikat cincin yang tak pernah terlepas dari jari manisnya.


Saidah


Cerita ini hanyalah fiktif belaka.
4 komentar on "SETIA"
  1. Kak saiii. Percakapannya dibanyakin lagii. Biar cerita fiksinya makin hidup. Kirain teh ini kisah pribadi, hehe

    BalasHapus
  2. Kak saiii. Percakapannya dibanyakin lagii. Biar cerita fiksinya makin hidup. Kirain teh ini kisah pribadi, hehe

    BalasHapus
  3. Hehe iyaya kurang greget ya. jadinya kaya curhat. Oke deeeh makasih masukannya Fitri cantik ;)

    BalasHapus
  4. Pedih banget :')
    Juna ga peka gitu ada sahabat yg memendan rasa..

    Keren mbak Sai, konflik nya unik

    BalasHapus