Anggrek di Salaka

on
1/18/2015

Buuumm...
Terdengar suara dentuman keras. Beberapa warga panik, mereka berhamburan keluar rumah. Ibu yang sedang menggoreng kerupuk seketika mematikan kompor, ikut keluar mencari tahu.

"Aya naon ieu teh?"

"Abdi oge nteu nyaho."

"Aya bom lain?"

"Lain, kalo aya bom mah udah meledak, kabakaran atuh."

Mereka semua saling tanya dan mencari jawab. Tapi tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Dari arah sawah, Bapak terpogoh-pogoh menghampiri Ibu yang berkerumun di depan rumah.

"Aya naon Pak Usep?" ceu Odah bertanya pada Bapak. Dari gelagatnya, Bapak seperti tahu akan sesuatu.

"Nteu nyaho, ceu Odah. Geus atuh sadayana masuk ka imah masing-masing. Gak ada apa-apa," Bapak menginstruksi warga untuk kembali ke rumah masing-masing. Tak memberi jawaban. Dengan tertib warga membubarkan diri. Mungkin memang tidak ada apa-apa, pikir warga.

Bapak duduk diam di bale-bale depan rumah, tatapan matanya kosong, Bapak seperti memikirkan sesuatu. Raut wajahnya tak biasa, entah panik, takut, atau apa. Ibu sedari tadi sudah melanjutkan menggoreng kerupuk untuk berjualan nasi goreng malam nanti. Tak lagi memikirkan apa yang terjadi.

Usai membereskan perlengkapan untuk berjualan, Ibu menghampiri Bapak yang masih duduk di bale-bale. Ibu menyodorkan segelas teh manis hangat dan sepiring singkong goreng, namun Bapak diam saja. Wajah Bapak memucat. Dadanya naik turun, bola matanya bergerak liar.

Ibu menatap Bapak kebingungan. Berkali-kali Ibu memanggil Bapak, namun Bapak tetap diam. Tiba-tiba, setetes air mata jatuh di pipi Bapak. Bapak menangis. Ibu semakin bingung, tak mengerti.

"Pak, kunaon, Pak?"

Bapak diam dan menjawab Ibu dengan pelukan. Meski tak mengerti, Ibu membalas pelukan Bapak dengan erat.

-

Malam masih muda. Bapak dan Ibu sudah membuka lapaknya di persimpangan jalan. Meski mereka tinggal di desa dekat kaki gunung, tak berarti lapak nasi goreng Bapak sepi pembeli. Rasa nasi goreng buatan Bapak yang enak dan harga yang mampu dijangkau oleh warga desa membuat nasi goreng Bapak selalu laris dinikmati pembeli.

Malam menunjukan pukul delapan, tak seperti biasanya banyak sekali mobil-mobil yang melintas. Sepengamatan Bapak dan Ibu, sekiranya ada lebih dari sepuluh mobil yang sudah melewati lapak mereka. Bahkan motor pun seakan ikut bergerombol mengiringi. Ibu mengamati lebih dekat, dibacanya tulisan yang tertera pada salah satu mobil, BASARNAS. Bapak terdiam mendengarnya, Ibu menoleh ke arah Bapak. Mereka saling pandang. Mata Bapak berkaca-kaca, mengenang sesuatu.

-

Dua belas tahun yang lalu. Sudah cukup lama waktu itu terlewati. Seharusnya sudah cukup waktu bagi seseorang melupakan kenangannya. Namun Bapak tak mampu begitu saja melupakan kenangan itu, kenangan tentang...Anggrek.

Semasa muda dulu, Bapak termasuk pemuda yang aktif. Kecintaannya pada alam dan jelajah membuat Bapak menjadi salah satu anggota unit kegiatan mahasiswa pencinta alam. Disini pulalah Bapak menemukan cinta pertamanya. Seorang gadis bernama Anggrek. Gadis periang dan pemberani. Gadis impian Bapak selama ini. Gadis pertama yang membuat Bapak begitu terbuai asmara, gadis yang mampu membuat Bapak terjaga untuk menulis kata cinta.

Berbulan-bulan Bapak hanya memendam rasa pada Anggrek. Bapak tak berani menyampaikan perasannya, Bapak takut Anggrek akan menjauh dan pertemanan mereka kandas dalam sekejap. Namun, Bapak tak bisa menyimpan lebih lama perasaan di hatinya. Dan Bapak memutuskan untuk menyatakan cinta saat mereka tiba di gunung Salak.

Bukan tanpa alasan Bapak memilih gunung salak sebagai tempat istimewa untuknya menyampaikan perasaan. Sebab, di gunung Salak terdapat bunga Anggrek yang indah. Bapak ingin memetiknya satu dan memberikannya pada Anggrek, gadisnya.

-

Mobil-mobil itu berjalan menuju penangkaran sapi desa cipelang. Rupanya firasat Bapak benar. Sore tadi saat sedang menggarap sawah, tiba-tiba hati Bapak jadi gundah. Semenit kemudian terdengar suara dentuman keras dari arah kaki gunung. Bapak tak bisa memastikan apa yang menyebabkan bunyi dentuman itu. Namun rasa gundah di hati Bapak semakin membuat dadanya sesak. Dan ternyata sebuah kecelakaan besar terjadi. Ada sebuah pesawat yang menabrak dinding gunung Salak. Entah bagaimana kronologinya, Bapak belum mencari tahu. Yang Bapak tahu, ia seperti akan kembali kesana. Setelah dua belas tahun.

Firasat itu, bukan baru hari ini dirasakan Bapak. Tiga hari yang lalu entah mengapa tiba-tiba Bapak memimpikan Anggrek. Dalam mimpi, Anggrek memanggil-manggil nama Bapak. Adegan itu persis sama seperti saat terakhir kali Bapak bertemu Anggrek. Anggrek terus saja memanggil nama Bapak, membuat rasa bersalah Bapak semakin menggelisahkan.

"Bu, bapak harus ikut mencari. Selama ini Bapak selalu bersembunyi. Bapak mohon izin sama Ibu untuk jadi sukarelawan."

"Bapak yakin? Bertahun-tahun Bapak gak pernah lagi naik gunung, bertahun-tahun Bapak ninggalin masa lalu itu, Bapak yakin sekarang mau ikut jadi sukarelawan?"

"Bapak yakin.

-

Hari itu, Bapak dan tim pencinta alam kampus telah sampai di kaki gunung salak. Mereka sampai saat senja sehingga harus menunggu esok pagi untuk memulai pendakian. Sepanjang malam, Bapak tidak bisa tidur. Ia terus saja memikirkan bagaimana reaksi Anggrek saat Bapak mengutarakan perasaannya. Dan Bapak tetap terjaga hingga keesokan harinya.

Seperti biasa, sebelum memulai pendakian, pemandu memberikan sepatah dua patah wejangan pada para pendaki. Di antara wejangan-wejangan tersebut, salah satunya adalah pendaki dilarang memetik bunga Anggrek yang terdapat di gunung salak. Seketika Bapak langsung lesu, namun ia tidak menghiraukan. Hanya satu, tak akan ada masalah, pikir Bapak sempit.

Pendakian pun dimulai, tim bapak terdiri dari delapan orang. Pria wanita sama jumlahnya, agar pria bisa melindungi wanita. Dan tentu saja Bapak sangat ingin melindungi Anggrek.

Semua berjalan sangat lancar, hingga tiba-tiba kabut turun sangat pekat, membatasi jarak pandang. Tanpa pikir panjang, Bapak langsung menarik tangan Anggrek, menepi dari tim. Karena jika cuaca sedang tidak bersahabat, pemandu akan meminta seluruh pendaki untuk kembali ke pos. Perjalanan mereka yang memang belum jauh dari pos, membuat mereka mau tak mau kembali.

Anggrek kebingungan. Mengapa tiba-tiba Bapak menariknya untuk menepi dari rombongan? Padahal harusnya mereka tetap bersama dan kembali ke pos. Namun, Bapak tak ingin kembali ke pos buru-buru. Ia ingin menyampaikan tentang isi hatinya pada Anggrek sebelum mereka kembali ke pos.

"Loh, kenapa kita nepi dari rombongan, Sep?"

"Sebentar aja, An. Ada yang pengen gue omongin sama lo."

"Apa? Gak sebaiknya nanti aja? Gue takut kita ketinggalan rombongan."

"Tenang aja An, gue hafal kok daerah sini. Gue udah dua kali naik gunung salak, ini ketiga kali. Gue tau kok jalan ke pos."

"Okee. Terus lo mau ngomong apa?"

Bapak terdiam menatap Anggrek. Kemudian, diberikannya setangkai bunga Anggrek berwarna ungu kepada Anggrek.

"An, udah lama gue mau bilang ini. Tapi, gue terlalu takut kalau nantinya pertemanan kita akan jadi bubar jalan. Setelah sekian lama ngeyakinin hati gue sendiri, akhirnya gue berani untuk bilang kalau gue......" Bapak sengaja menggantungkan kalimatnya, untuk mengumpulkan keberani lebih dari sebelumnya.

"Kalau?" Anggrek menunggu Bapak meneruskan kalimatnya.

"Kalau gue sayang banget sama lo. Gue mau lo jadi pacar gue."

Hening. Bapak dan Anggrek sama-sama terdiam. Bapak menatap Anggrek menunggu jawaban. Anggrek terlihat menarik nafas kuat-kuat, sedetik kemudian Anggrek tersenyum.

"Gue mau, Sep. Gue mau jadi pacar lo!"

Bapak senang bukan kepalang. Begitu juga Anggrek. Pendakiannya kali ini terasa begitu istimewa dan romantis. Mereka pun memutuskan untuk segera kembali pos, takut kabut semakin lebat.

Sudah lima kali Bapak dan Anggrek berputar-putar di jalan yang sama. Anggrek mulai kesal, takut, tapi jiwa petualangnya jauh lebih dominan daripada rasa takutnya. Ia tetap berpikir positif. Mungkin karena kabut  perjalanan yang seharusnya sebentar dan mudah sedikit mendapat hambatan. Akhirnya, Bapak dan Anggrek memutuskan untuk beristirahat di sebuah saung kecil. Menunggu pagi, menunggu kabut reda, menunggu cahaya.

-

Bapak sudah bergabung bersama tim SAR dan sukarelawan untuk mencari keberadaan pesawat dan para korban. Sebelum memulai pencarian, mereka berdoa terlebih dulu. Dalam hati, rasa bersalah itu semakin menggelisahkan Bapak. Untuk pertama kalinya setelah dua belas tahun, Bapak kembali menginjakan kaki di tempat penuh kenangan ini. Kenangan yang tak bias oleh waktu, kenangan yang terus melekat. Kenangan yang membuat Bapak tertawan dan memutuskan tinggal di sebuah desa. Desa Cipelang, Bogor, Jawa Barat.

Bersama tim pencari dan sukarelawan, Bapak menyusuri jengkal demi jengkal jalan yang memilukan itu. Mata mereka harus waspada, jangan sampai mengabaikan jejak pesawat ataupun korban. Mereka mencari, tak hanya sekedar mendaki.

Berhari-hari Bapak mencari, satu per satu perjalan mereka menemukan hasil. Bangkai pesawat ditemukan dalam keadaan hancur, begitupula dengan korban. Bagaimana bentuknya sudah tak mampu dideskripsikan.

Selama berhari-hari pencarian, entah mengapa Bapak merasakan separuh hatinya merasa tenang. Sedangkan separuhnya lagi tentu saja begitu pedih melihat tragedi ini. Namun, kegelisahannya berhari-hari yang lalu tentang Anggrek seperti menguap tanpa bekas. Rasa bersalah itu seperti sudah termaafkan saat Bapak menyempatkan diri berdoa di tempat terakhir ia bersama Anggrek, di saung itu. Meski tak mampu melihat Anggrek, Bapak bisa merasakan bahwa Anggrek hadir dan melihatnya. Bapak bisa merasakan amarah Anggrek yang selama ini membuatnya tertawan dan tak bisa keluar dari desa itu sudah terhapus. Karena Bapak tak lagi lari dan bersembunyi.

-

Di hari terakhir pencarian, Bapak kembali berdoa untuk Anggrek. Untuk kesalahan Bapak melawan wejangan pemandu untuk tidak memetik Anggrek dan untuk kesalahan Bapak yang memberikan Anggrek itu untuk Anggrek. Entah apa yang terjadi malam itu, saat beristirahat di saung, Bapak merasa lelah sekali dan begitu pulas tertidur. Sebelum tidur, Bapak telah memastikan bahwa Anggrek ada di sisisnya dan menggenggam tangannya. Namun ketika cahaya matahari menyilaukan Bapak, ketika Bapak terbangun dari tidur, Bapak tak lagi melihat Anggrek. Yang ia lihat hanya setangkai bunga Anggrek yang ia beri untuk Anggrek. Seluruh tim telah mencari, tapi Anggrek tak pernah ditemukan hingga saat ini.

"Aku masih cinta kamu sampai saat ini, An."

Cerita ini hanya fiktif belaka. Apabila ada kesamaan tokoh maupun cerita hanya kebetulan semata.

-saidahumaira-

3 komentar on "Anggrek di Salaka"
  1. Mungkin saat dalam satu kalimat kata Bapak bisa diganti dengan nama sebenarnya.. kalau sepintas si Anggrek malah seperti anaknya.. bukan kekasihnya.. dan biar lebih greget lagi kalau dialognya sama menggunakan bahasa sunda di awal cerita. agak janggal tiba tiba ada dialog lo gue nya..

    BalasHapus
  2. Kan beda latar .. Pas di atas pake bahasa sunda karena Bapak lagi ngomong sama penduduk asli dan saat itu usia bapak bukan usia muda. Kalo sama Anggrek itu kan flashback dan mereka memang bukan orang sunda. Di akhir cerita dijelasin kalau Bapak tinggal disana karena tertawan rasa bersalahnya sama Anggrek.

    Makasih ya masukannya :))

    BalasHapus
  3. Bagus banget fiktifnya :D

    http://firstanrude.com

    BalasHapus