Aku sungguh sangat bermimpi mendampingi hatimu.
Aku masih terus bermimpi, sangat besar harapanku.
Tuk hidup berdua denganmu.
Lima tahun
setelah perpisahan itu. Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Kami memang
tidak tinggal satu kota, hal itu pula yang menjadi salah satu alasanku
memutuskan asmara kami. Aku punya kehidupanku sendiri disini dan tentu saja ia
punya kehidupannya sendiri disana. Beberapa kali memang kami terlibat percakapan
melalui whatsapp. Itu pun tak lebih dari sekedar mengucapkan selamat ulang
tahun. Ia memang tidak pernah absen mengucapkannya setiap tahun, seperti hari ini.
Arian
Selamat ulang tahun Alana. Maaf
terlambat.
Terima
kasih, Arian. Gapapa kok
Arian
Aku dengar hari ini kamu lamaran
ya? Selamat ya.
Wah
ternyata beritanya sudah sampai. Iya, terima kasih sekali lagi.
Arian
Kamu bahagia?
Iya
dong. Pasti. Kok nanyanya gitu?
Aku terdiam
membaca pesan terakhirnya. Lebih tepatnya, karena aku tidak mengerti mengapa ia
mempertanyakan hal yang seharusnya ia sudah tahu jawabannya. Ku lihat kembali
pesan terakhirku padanya. Dua garis centang berwarna hijau menandakan ia telah
membaca pesanku, tetapi aku belum mendapati balasan apapun darinya. Pikiranku
mulai terbang pada prasangka-prasangka tentang sikapnya dalam pesan whatsaap
itu. Apa sebenarnya yang ada dalam benak Arian? Apa ia sedih mendengar kabar
acara lamaranku? Atau mungkin memang seperti itu reaksi seseorang yang mendapat
kabar tentang rencana pernikahan mantan kekasihnya? Arian berhasil menutup
malamku dengan tanya.
Sebuah pesan
whatsapp mendarat di ponselku. Aku membukanya perlahan. Mataku terdiam pada
tiga kata yang diakhiri tanda tanya itu. Bisakah
kita bertemu? Setelah lima tahun, mengapa kali ini ia meminta bertemu. Tentu
saja aku sulit mengabulkan pintanya. Keadaan kami sudah tidak memungkinkan
adanya pertemuan itu, lebih tepatnya keadaanku. Aku telah dipinang oleh seorang
lelaki. Dan kini, mantan kekasihku meminta bertemu.
Maaf,
aku tidak bisa.
Arian
Aku butuh bertemu denganmu.
Sebentar saja. Dimana pun kamu mau, aku akan datang.
Maaf
Arian. Aku benar-benar tidak bisa.
Arian
Aku mohon, Alana. Bukankah kita
teman?
Kita
memang teman. Tetapi, aku tidak bisa bertemu lelaki mana pun yang bukan
mahramku. Aku tidak bisa bertemu denganmu jika hanya berdua. Kalau kamu memang
sangat ingin bertemu, aku akan mengajak adikku dan ku harap kamu juga mengajak
seseorang.
Semoga saja
keputusanku menerima permintaannya bukan sebuah keputusan yang salah. Aku akan
segera menceritakan ini pada calon suamiku. Segera. Sebenarnya mas Fatih, calon
suamiku, sudah tahu bahwa aku pernah mencintai beberapa orang lelaki. Aku sudah
menceritakan padanya tentang masa laluku, tentunya bukan dengan bicara langsung
padanya. Tetapi melalui berlembar-lembar kertas putih yang menjabarkan tentang
riwayat hidupku, melalui proses taaruf.
Aku sudah
sampai di parkiran Botani Square bersama adikku ketika jarum jam menunjukkan
hampir pukul jam 2 siang. Aku langsung menuju ke lantai paling atas Mall yang
terletak tak jauh dari Terminal Baranang Siang ini. Aku melangkah memasuki
restaurant Rice Ball dengan ragu. Namun sesampainya di dalam, aku tidak
menemukan Arian. Yang justru sedang duduk seperti menunggu adalah ... Arsita.
Arsita, adik Arian.
Dengan
langkah bingung aku menghampiri Arsita yang sudah melihat kedatanganku.
“Assalamualaykum," sapaku kikuk.
Arsita
menatapku beberapa detik sebelum mennjawab salamku, “Waalaykumsalam.” Ia langsung
menghampiriku. Arsita cukup terkejut dengan perubahanku yang saat ini telah
memakai gamis dan berhijab panjang, namun tak lama ia memelukku erat sekali.
Dan sesaat dia berbisik sebelum duduk, “Kak Arian masih sayang kamu, kak”.
Aku terkejut
mendengar pernyataan Arsita. Jelas saja aku terkejut. Yang ku tahu selama ini
Arian sudah memiliki kekasih. Meski aku tidak mengenal secara personal siapa
kekasihnya, tetapi Arian selalu memperlihatkan kebahagiaannya dengan kekasihnya
melalui media sosial miliknya. Arian selalu menuliskan kata-kata indah yang
dapat menggambarkan betapa ia sangat mencintai wanitanya itu. Dan mana mungkin
ia masih menyayangi aku?
“Arian
kemana?” aku berkata datar untuk menutupi keterkejutanku.
“Dia ada.
Dia datang kesini. Tapi dia gak berani ketemu sama kamu, kak. Jadi aku yang dia
amanahkan untuk ketemu kamu.”
Aku menatap
Sita bingung. Apa maksudnya? Arian yang memohon padaku untuk menemuinya dan
sekarang dia tidak ada.
“Dia sedih kamu mau menikah.” Sita berkata
tanpa menatapku. Dia menunduk.
“Kenapa?”
tanyaku ragu.
“Karena dia
menunggu kamu, kak. Tapi, kamu terlalu cepat melangkah dan meninggalkan kak Arian yang masih tertatih berubah,” Sita menatapku sendu.
“Maksudnya?”
“Mungkin
kamu lupa atau mungkin kamu tidak menganggapnya. Di buku yang kak Arian beri waktu itu, Kak Arian pernah menuliskan bahwa
dia akan datang lagi. Menjadi sosok laki-laki yang .... siap menikahi Kak Alana,”
Sita melanjutkan kalimatnya dengan terbata. Yang sekaligus membuat air mataku
jatuh tanpa dipinta.
Aku ingat.
Aku baru mengingatnya sekarang. Hari itu, hari dimana aku mengajak Arian untuk
menemaniku mengerjakan tugas liputan di Puncak, juga menjadi hari terakhir kami
sebagai sepasang kekasih. Di tempat seindah hamparan kebun teh nan hijau, aku
membuat hujan di mata seorang lelaki yang telah menemaniku lebih dari empat
tahun.
“Saat itu...,”
Sita melanjutkan kata-katanya. “ Saat kakak memutuskan untuk mengakhiri
hubungan kalian karena jarak. Sebenarnya kak Arian tahu bahwa masalah utamanya
bukan jarak. Kak Arian tahu alasan utama kenapa kakak memutuskan kalian untuk
berpisah.”
Aku terdiam.
Kembali mengenang hari itu. Ketika aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
Arian diam, tidak seperti biasanya. Dia yang selalu memintaku untuk menenangkan
diri lebih dulu dan berkali-kali berkata bahwa dia menyayangiku agar aku
berubah pikiran. Namun, hari itu ia diam saja dan menerima keputusanku. Tanpa
berkata apapun ia pamit pulang setelah mengantarkankku ke rumah. Tetapi sebelum
pulang, ia memberiku sebuah buku catatan berwarna biru. Buku catatan yang
berisikan tentang betapa dia mencintaiku.
“Tapi, bukannya
Arian punya pacar?”
Sita
mengangguk. “Namanya Nasya. Teman kampusnya. Tapi, meskipun sudah sama Nasya, itu
tidak mengubah keputusannya. Keputusan yang sudah ia buat sejak masih menjadi pacar
kakak. Sejak dulu sampai saat ini, di mata dia, kamu perempuan sempurna.
Perempuan yang pantas untuk dia nikahi.”
“Aku gak paham. Aku gak paham maksudnya," ucapku dengan suara bergetar. "Dan
lebih baik aku gak perlu paham. Aku permisi,” sambungku seraya bangkit dari duduk,
lekas pergi.
“Kakak mau kemana?”
Sita menahanku.
Dahita yang
sedari tadi hanya diam dan mengamati ikut menahanku. “Kak, Sita kan belum
selesai bicara.”
“Maaf, Sita. Tolong sampaikan maafku pada Arian. Aku permisi. Aku masih ada urusan.” Dan aku tetap
meninggalkan tempat itu. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi tentang Arian.
Aku tidak ingin mendengar sesuatu yang membuat ingatanku tentangnya kembali
bersemi. Aku tidak ingin merusak perasaanku untuk calon suami. Aku tidak ingin apa yang ku dengar tentang Arian, kembali membuatku jatuh hati padanya. Aku tidak ingin.
kepada : Alana
Alana, maafkan aku yang tidak berani menemuimu.
Dan hanya menitipkan surat ini melalui Sita.
Selamat ulang tahun, Alana.
Satu impianmu akan terlaksana dalam waktu dekat.
Aku memang kecewa, Alana. Bukan padamu, tetapi pada diriku sendiri.
Aku terlambat Alana. Aku terlambat untuk memulainya lagi.
Mungkin memang seharusnya, sudah ku patahkan hati dan harapku tentangmu sejak dulu.
Sehingga aku tidak terluka tentang kabar atas lamaran dan rencana pernikahanmu saat ini.
Selamat berbahagia, Alana.
Doakan aku berbahagia juga, dengan atau tanpamu.
Arian
Saidah
fiksi mba sai badai.. :'D
BalasHapusTerima kasih enieee
BalasHapusmengharu baru ceritanya
BalasHapus