Aku Terlambat, Alana.

on
1/10/2016

Aku sungguh sangat bermimpi mendampingi hatimu.
Aku masih terus bermimpi, sangat besar harapanku.
Tuk hidup berdua denganmu.


Lima tahun setelah perpisahan itu. Aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Kami memang tidak tinggal satu kota, hal itu pula yang menjadi salah satu alasanku memutuskan asmara kami. Aku punya kehidupanku sendiri disini dan tentu saja ia punya kehidupannya sendiri disana. Beberapa kali memang kami terlibat percakapan melalui whatsapp. Itu pun tak lebih dari sekedar mengucapkan selamat ulang tahun. Ia memang tidak pernah absen mengucapkannya setiap tahun, seperti hari ini.

Arian
Selamat ulang tahun Alana. Maaf terlambat.

Terima kasih, Arian. Gapapa kok
Arian
Aku dengar hari ini kamu lamaran ya? Selamat ya.
Wah ternyata beritanya sudah sampai. Iya, terima kasih sekali lagi.
Arian
Kamu bahagia?
Iya dong. Pasti. Kok nanyanya gitu?

Aku terdiam membaca pesan terakhirnya. Lebih tepatnya, karena aku tidak mengerti mengapa ia mempertanyakan hal yang seharusnya ia sudah tahu jawabannya. Ku lihat kembali pesan terakhirku padanya. Dua garis centang berwarna hijau menandakan ia telah membaca pesanku, tetapi aku belum mendapati balasan apapun darinya. Pikiranku mulai terbang pada prasangka-prasangka tentang sikapnya dalam pesan whatsaap itu. Apa sebenarnya yang ada dalam benak Arian? Apa ia sedih mendengar kabar acara lamaranku? Atau mungkin memang seperti itu reaksi seseorang yang mendapat kabar tentang rencana pernikahan mantan kekasihnya? Arian berhasil menutup malamku dengan tanya.

Sebuah pesan whatsapp mendarat di ponselku. Aku membukanya perlahan. Mataku terdiam pada tiga kata yang diakhiri tanda tanya itu. Bisakah kita bertemu? Setelah lima tahun, mengapa kali ini ia meminta bertemu. Tentu saja aku sulit mengabulkan pintanya. Keadaan kami sudah tidak memungkinkan adanya pertemuan itu, lebih tepatnya keadaanku. Aku telah dipinang oleh seorang lelaki. Dan kini, mantan kekasihku meminta bertemu.

Maaf, aku tidak bisa.
Arian
Aku butuh bertemu denganmu. Sebentar saja. Dimana pun kamu mau, aku akan datang.

Maaf Arian. Aku benar-benar tidak bisa.
Arian
Aku mohon, Alana. Bukankah kita teman?
Kita memang teman. Tetapi, aku tidak bisa bertemu lelaki mana pun yang bukan mahramku. Aku tidak bisa bertemu denganmu jika hanya berdua. Kalau kamu memang sangat ingin bertemu, aku akan mengajak adikku dan ku harap kamu juga mengajak seseorang.

Semoga saja keputusanku menerima permintaannya bukan sebuah keputusan yang salah. Aku akan segera menceritakan ini pada calon suamiku. Segera. Sebenarnya mas Fatih, calon suamiku, sudah tahu bahwa aku pernah mencintai beberapa orang lelaki. Aku sudah menceritakan padanya tentang masa laluku, tentunya bukan dengan bicara langsung padanya. Tetapi melalui berlembar-lembar kertas putih yang menjabarkan tentang riwayat hidupku, melalui proses taaruf.

Aku sudah sampai di parkiran Botani Square bersama adikku ketika jarum jam menunjukkan hampir pukul jam 2 siang. Aku langsung menuju ke lantai paling atas Mall yang terletak tak jauh dari Terminal Baranang Siang ini. Aku melangkah memasuki restaurant Rice Ball dengan ragu. Namun sesampainya di dalam, aku tidak menemukan Arian. Yang justru sedang duduk seperti menunggu adalah ... Arsita. Arsita, adik Arian.

Dengan langkah bingung aku menghampiri Arsita yang sudah melihat kedatanganku.

“Assalamualaykum," sapaku kikuk.

Arsita menatapku beberapa detik sebelum mennjawab salamku, “Waalaykumsalam.” Ia langsung menghampiriku. Arsita cukup terkejut dengan perubahanku yang saat ini telah memakai gamis dan berhijab panjang, namun tak lama ia memelukku erat sekali. Dan sesaat dia berbisik sebelum duduk, “Kak Arian masih sayang kamu, kak”.

Aku terkejut mendengar pernyataan Arsita. Jelas saja aku terkejut. Yang ku tahu selama ini Arian sudah memiliki kekasih. Meski aku tidak mengenal secara personal siapa kekasihnya, tetapi Arian selalu memperlihatkan kebahagiaannya dengan kekasihnya melalui media sosial miliknya. Arian selalu menuliskan kata-kata indah yang dapat menggambarkan betapa ia sangat mencintai wanitanya itu. Dan mana mungkin ia masih menyayangi aku?

“Arian kemana?” aku berkata datar untuk menutupi keterkejutanku.

“Dia ada. Dia datang kesini. Tapi dia gak berani ketemu sama kamu, kak. Jadi aku yang dia amanahkan untuk ketemu kamu.”

Aku menatap Sita bingung. Apa maksudnya? Arian yang memohon padaku untuk menemuinya dan sekarang dia tidak ada.

 “Dia sedih kamu mau menikah.” Sita berkata tanpa menatapku. Dia menunduk.

“Kenapa?” tanyaku ragu.

“Karena dia menunggu kamu, kak. Tapi, kamu terlalu cepat melangkah dan meninggalkan kak Arian yang masih tertatih berubah,” Sita menatapku sendu.

“Maksudnya?”

“Mungkin kamu lupa atau mungkin kamu tidak menganggapnya. Di buku yang kak Arian beri waktu itu, Kak Arian pernah menuliskan bahwa dia akan datang lagi. Menjadi sosok laki-laki yang .... siap menikahi Kak Alana,” Sita melanjutkan kalimatnya dengan terbata. Yang sekaligus membuat air mataku jatuh tanpa dipinta.

Aku ingat. Aku baru mengingatnya sekarang. Hari itu, hari dimana aku mengajak Arian untuk menemaniku mengerjakan tugas liputan di Puncak, juga menjadi hari terakhir kami sebagai sepasang kekasih. Di tempat seindah hamparan kebun teh nan hijau, aku membuat hujan di mata seorang lelaki yang telah menemaniku lebih dari empat tahun.

“Saat itu...,” Sita melanjutkan kata-katanya. “ Saat kakak memutuskan untuk mengakhiri hubungan kalian karena jarak. Sebenarnya kak Arian tahu bahwa masalah utamanya bukan jarak. Kak Arian tahu alasan utama kenapa kakak memutuskan kalian untuk berpisah.”

Aku terdiam. Kembali mengenang hari itu. Ketika aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Arian diam, tidak seperti biasanya. Dia yang selalu memintaku untuk menenangkan diri lebih dulu dan berkali-kali berkata bahwa dia menyayangiku agar aku berubah pikiran. Namun, hari itu ia diam saja dan menerima keputusanku. Tanpa berkata apapun ia pamit pulang setelah mengantarkankku ke rumah. Tetapi sebelum pulang, ia memberiku sebuah buku catatan berwarna biru. Buku catatan yang berisikan tentang betapa dia mencintaiku.

“Tapi, bukannya Arian punya pacar?”

Sita mengangguk. “Namanya Nasya. Teman kampusnya. Tapi, meskipun sudah sama Nasya, itu tidak mengubah keputusannya. Keputusan yang sudah ia buat sejak masih menjadi pacar kakak. Sejak dulu sampai saat ini, di mata dia, kamu perempuan sempurna. Perempuan yang pantas untuk dia nikahi.”

“Aku gak paham. Aku gak paham maksudnya," ucapku dengan suara bergetar. "Dan lebih baik aku gak perlu paham. Aku permisi,” sambungku seraya bangkit dari duduk, lekas pergi.

“Kakak mau kemana?” Sita menahanku.

Dahita yang sedari tadi hanya diam dan mengamati ikut menahanku. “Kak, Sita kan belum selesai bicara.”

“Maaf, Sita. Tolong sampaikan maafku pada Arian. Aku permisi. Aku masih ada urusan.” Dan aku tetap meninggalkan tempat itu. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi tentang Arian. Aku tidak ingin mendengar sesuatu yang membuat ingatanku tentangnya kembali bersemi. Aku tidak ingin merusak perasaanku untuk calon suami. Aku tidak ingin apa yang ku dengar tentang Arian, kembali membuatku jatuh hati padanya. Aku tidak ingin.



kepada : Alana

Alana, maafkan aku yang tidak berani menemuimu.
Dan hanya menitipkan surat ini melalui Sita.
Selamat ulang tahun, Alana.
Satu impianmu akan terlaksana dalam waktu dekat.
Aku memang kecewa, Alana. Bukan padamu, tetapi pada diriku sendiri.
Aku terlambat Alana. Aku terlambat untuk memulainya lagi.
Mungkin memang seharusnya, sudah ku patahkan hati dan harapku tentangmu sejak dulu.
Sehingga aku tidak terluka tentang kabar atas lamaran dan rencana pernikahanmu saat ini.
Selamat berbahagia, Alana.
Doakan aku berbahagia juga, dengan atau tanpamu.

Arian




 Saidah
3 komentar on "Aku Terlambat, Alana."