Sampai Waktu yang Pertemukan Kita Nanti

on
1/17/2016
Disini ku pun begitu
Trus cintaimu di hidupku
Di dalam hatiku
Sampai waktu yang pertemukan kita nanti

Semua bersorak sorai. Detik semakin cepat melaju, seperempat jam lagi tahun kan beralih. Segala harap terucap, mengingini hidup yang jauh lebih mulia dari sebelumnya. Di antara senyum sumringah menyambut perjalanan baru, Aina tak juga mampu mengusir gulana. Ia terisak, dadanya sesak. Perpisahan itu terbayang di benaknya.

Memang masih sepekan. Namun itu bukan waktu yang panjang. Untuk pertama kalinya, ia berharap pergantian tahun jangan dulu ada. Aina masih terisak, sebab Januari telah datang lebih dari tiga jam. Seandainya ia sedang tidak berhalangan, ia pasti telah menggelar sajadah, mengadu kepada Yang Maha Memiliki Waktu. Seandainya boleh, ia ingin berdoa agak sedikit jahat kepada suaminya. Aina ingin Azzam kehilangan beasiswa dan batal bertolak ke Singapura. Aina tidak pernah membayangkan pernikahan impiannya yang baru diarungi belum genap sebulan, harus segera terpisahkan oleh jarak dua negara.

Waktu semakin tua, Aina masih saja terjaga. Hingga adzan subuh berkumandang dengan perkasa di langit Jakarta, menyadarkan Aina ia tidak bisa menghentikan waktu meski sedetik saja. Ia telah pasrah jika memang waktu menginginkan ia dan Azzam berpisah. Berteman jarak, merindu waktu pertemuan.

“Kamu gak tidur ya?”

Aina terkejut, buru-buru ia seka air matanya. “Kamu udah bangun?”

Azzam tersenyum, dibelainya rambut Aina yang hitam. “Aku sholat subuh dulu ya, sayang.” Dikecupnya kening Aina, semakin deras air mata Aina terurai di pipi.

Aina memandang sendu kepada Azzam yang tengah melaksanakan kewajibannya sebagai hamba. Air mata itu ternyata tak juga mau enyah. Drama melankolis seolah-olah mengusik hati Aina. Apapun yang dilakukan Azzam menjadi butir-butir air mata, yang akan dia rindukan. Dan segala tentang Azzam akan menjadi segelintir kisah, yang kan dia nantikan.

“Kenapa takdir mempermainkan kita?” Aina tak lagi mampu berkata baik-baik saja. Hatinya terus bergemuruh, meminta meronta agar bisa menghentikan jejak Azzam bergegas menuju negara tetangga.

“Kenapa kamu bilang begitu?” Azzam memandangi Aina yang tengah menatap kosong ke arah gelasnya.

“Kenapa kita dijodohkan tetapi tidak diperkenankan bersama?” Aina menatap Azzam yang tengah memeriksa segala persiapannya.

Azzam terdiam sejenak, ditaruhnya beberapa pakaian yang hendak ia bawa. Aina masih menatap Azzam, bersama sesak yang semakin menghimpit air mata untuk segera mendera. Azzam duduk di tepi ranjang, menghadap Aina yang tengah menanti jawabannya di atas sofa putih kesayangannya. Beberapa lama, mereka saling menatap tanpa bicara. Air mata Aina telah terbawa arus perasaan. Ia semakin tak mampu membendung kesenduannya.

“Kamu tahu, aku bukan perempuan yang cengeng. Dan aku paling gak suka dikasihani sama orang lain. Tapi untuk kali ini, aku gak rela kamu pergi. Kita baru aja memulai hidup baru dan aku gak mau kita menjalani ini sendiri-sendiri, Azzam.”

Azzam mengusap air mata Aina. Kini, Azzam duduk bersimpuh di atas lantai, menciumi jemari Aina yang halus. Didekapnya wajah Aina ke dadanya. Hingga Azzam mampu merasa tetes air mata itu begitu mencintainya. Dalam dekap, Aina membaca detak jantung Azzam yang seolah bersuara menenangkan. Azzam tak mampu berbicara apapun pada Aina, selain meminta kecintaannya itu untuk bersabar menunggu kepulangannya. Perjalanan akademik itu adalah impian yang Azzam pupuk sebelum mengenal Aina. Perjalanan itu telah lama ia perjuangkan dengan seluruh hal yang mampu ia lakukan. Meski terasa menyesakkan, Azzam tak mampu melepaskan.

“Jangan perlakukan aku dengan manis, Azzam. Aku tidak suka menahan rindu karena kenangan manis itu.”

Semakin mendekati hari perpisahan, Azzam semakin memperlakukan Aina jauh lebih istimewa. Namun hal itu justru membuat Aina semakin tak kuasa untuk melepas Azzam. Setiap orang memiliki sepihak cara untuk mengucap salam perpisahan. Azzam yang selalu ingin meninggalkan jejak agar terbekas dalam ingatan. Sementara Aina tidak suka dibahagiakan untuk ditinggalkan kemudian. Bagi Aina cara itu terlalu menyakitkan. Bagaimana hari-harinya akan menjadi seolah suram karena terus tercekam rasa rindu yang ia tahu masih panjang jarak untuk bertemu.

Malam ini, Aina sengaja tidur lebih dulu. Melengserkan permintaan Azzam yang ingin menghabiskan malam terakhir mereka, berdua. Meski sebenarnya, Aina ingin sekali memeluk Azzam lama-lama. Menghirup kuat-kuat aroma parfum Azzam yang maskulin dan menatap kekasih halalnya itu dekat-dekat. Tetapi ego terlalu mengakrabinya hingga ia tetap memilih untuk terlelap bersama gelisahnya yang belum kunjung reda. Menahan sesaknya.

Azzam masih menangis. Didekapnya tubuh Aina, erat-erat. Air mata itu jatuh lagi, tepat di mata Aina yang tak lagi mampu terbuka. Suasana hening, hanya ada isak yang semakin sesak. Hanya ada air mata yang meminta hati meronta, melepas kepergian. Manusia memang tidak bisa menebak takdir. Sebuah perpisahan yang tak pernah terduga antara dua hamba yang sedang belajar menerima. Aina, berpulang pada penciptanya. Meninggalkan Azzam yang menangisinya, tanpa jeda. 



Saidah


Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan kisah dan tokoh.








3 komentar on "Sampai Waktu yang Pertemukan Kita Nanti"