Disini
ku pun begitu
Trus
cintaimu di hidupku
Di
dalam hatiku
Sampai
waktu yang pertemukan kita nanti |
Semua bersorak sorai. Detik
semakin cepat melaju, seperempat jam lagi tahun kan beralih. Segala harap terucap,
mengingini hidup yang jauh lebih mulia dari sebelumnya. Di antara senyum
sumringah menyambut perjalanan baru, Aina tak juga mampu mengusir gulana. Ia
terisak, dadanya sesak. Perpisahan itu terbayang di benaknya.
Memang masih sepekan. Namun
itu bukan waktu yang panjang. Untuk pertama kalinya, ia berharap pergantian
tahun jangan dulu ada. Aina masih terisak, sebab Januari telah datang lebih
dari tiga jam. Seandainya ia sedang tidak berhalangan, ia pasti telah menggelar
sajadah, mengadu kepada Yang Maha Memiliki Waktu. Seandainya boleh, ia ingin
berdoa agak sedikit jahat kepada suaminya. Aina ingin Azzam kehilangan beasiswa
dan batal bertolak ke Singapura. Aina tidak pernah membayangkan pernikahan
impiannya yang baru diarungi belum genap sebulan, harus segera terpisahkan oleh
jarak dua negara.
Waktu semakin tua, Aina
masih saja terjaga. Hingga adzan subuh berkumandang dengan perkasa di langit
Jakarta, menyadarkan Aina ia tidak bisa menghentikan waktu meski sedetik saja.
Ia telah pasrah jika memang waktu menginginkan ia dan Azzam berpisah. Berteman jarak,
merindu waktu pertemuan.
“Kamu gak tidur ya?”
Aina terkejut, buru-buru ia
seka air matanya. “Kamu udah bangun?”
Azzam tersenyum, dibelainya
rambut Aina yang hitam. “Aku sholat subuh dulu ya, sayang.” Dikecupnya kening
Aina, semakin deras air mata Aina terurai di pipi.
Aina memandang sendu kepada
Azzam yang tengah melaksanakan kewajibannya sebagai hamba. Air mata itu
ternyata tak juga mau enyah. Drama melankolis seolah-olah mengusik hati Aina.
Apapun yang dilakukan Azzam menjadi butir-butir air mata, yang akan dia
rindukan. Dan segala tentang Azzam akan menjadi segelintir kisah, yang kan dia
nantikan.
“Kenapa takdir
mempermainkan kita?” Aina tak lagi mampu berkata baik-baik saja. Hatinya terus
bergemuruh, meminta meronta agar bisa menghentikan jejak Azzam bergegas menuju
negara tetangga.
“Kenapa kamu bilang begitu?”
Azzam memandangi Aina yang tengah menatap kosong ke arah gelasnya.
“Kenapa kita dijodohkan
tetapi tidak diperkenankan bersama?” Aina menatap Azzam yang tengah memeriksa
segala persiapannya.
Azzam terdiam sejenak,
ditaruhnya beberapa pakaian yang hendak ia bawa. Aina masih menatap Azzam,
bersama sesak yang semakin menghimpit air mata untuk segera mendera. Azzam
duduk di tepi ranjang, menghadap Aina yang tengah menanti jawabannya di atas
sofa putih kesayangannya. Beberapa lama, mereka saling menatap tanpa bicara.
Air mata Aina telah terbawa arus perasaan. Ia semakin tak mampu membendung
kesenduannya.
“Kamu tahu, aku bukan
perempuan yang cengeng. Dan aku paling gak suka dikasihani sama orang lain.
Tapi untuk kali ini, aku gak rela kamu pergi. Kita baru aja memulai hidup baru
dan aku gak mau kita menjalani ini sendiri-sendiri, Azzam.”
Azzam mengusap air mata
Aina. Kini, Azzam duduk bersimpuh di atas lantai, menciumi jemari Aina yang halus.
Didekapnya wajah Aina ke dadanya. Hingga Azzam mampu merasa tetes air mata itu
begitu mencintainya. Dalam dekap, Aina membaca detak jantung Azzam yang seolah
bersuara menenangkan. Azzam tak mampu berbicara apapun pada Aina, selain
meminta kecintaannya itu untuk bersabar menunggu kepulangannya. Perjalanan
akademik itu adalah impian yang Azzam pupuk sebelum mengenal Aina. Perjalanan
itu telah lama ia perjuangkan dengan seluruh hal yang mampu ia lakukan. Meski
terasa menyesakkan, Azzam tak mampu melepaskan.
“Jangan perlakukan aku dengan manis, Azzam. Aku tidak suka menahan rindu karena kenangan manis itu.”
Semakin mendekati hari
perpisahan, Azzam semakin memperlakukan Aina jauh lebih istimewa. Namun hal itu
justru membuat Aina semakin tak kuasa untuk melepas Azzam. Setiap orang memiliki
sepihak cara untuk mengucap salam perpisahan. Azzam yang selalu ingin meninggalkan
jejak agar terbekas dalam ingatan. Sementara Aina tidak suka dibahagiakan untuk
ditinggalkan kemudian. Bagi Aina cara itu terlalu menyakitkan. Bagaimana
hari-harinya akan menjadi seolah suram karena terus tercekam rasa rindu yang ia
tahu masih panjang jarak untuk bertemu.
Malam ini, Aina sengaja
tidur lebih dulu. Melengserkan permintaan Azzam yang ingin menghabiskan malam
terakhir mereka, berdua. Meski sebenarnya, Aina ingin sekali memeluk Azzam
lama-lama. Menghirup kuat-kuat aroma parfum Azzam yang maskulin dan menatap
kekasih halalnya itu dekat-dekat. Tetapi ego terlalu mengakrabinya hingga ia
tetap memilih untuk terlelap bersama gelisahnya yang belum kunjung reda.
Menahan sesaknya.
Azzam masih menangis. Didekapnya
tubuh Aina, erat-erat. Air mata itu jatuh lagi, tepat di mata Aina yang tak
lagi mampu terbuka. Suasana hening, hanya ada isak yang semakin sesak. Hanya
ada air mata yang meminta hati meronta, melepas kepergian. Manusia memang tidak bisa menebak takdir. Sebuah perpisahan
yang tak pernah terduga antara dua hamba yang sedang belajar menerima. Aina,
berpulang pada penciptanya. Meninggalkan Azzam yang menangisinya, tanpa jeda.
Saidah
Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf apabila ada kesamaan kisah dan tokoh.
Ceritanya sangat bagus, saya sampai ikut terbawa suasana,,
BalasHapusWah so sweet banget :) keren alur ceritanya kak
BalasHapuswahh :') bagus banget ceritanya
BalasHapus