Wina menatap foto ibunda dengan haru. Bulir-bulir air mata jatuh di pipinya. Kenangan itu masih terasa, terus tersimpan dalam ingatan yang terkadang menyesakkan dada.
Kadang hati kecilnya begitu berbangga dengan apa yang dilakukan ibundanya, namun sebelah hatinya tak tega jika mengingat ibunda kondisi ibundanya yang bersatu dengan tanah dalam raga yang tak sempurna.
Wina tahu sejak dulu ibunya seorang penggiat sosial yang senantiasa membantu orang-orang yang membutuhkan. Ibundanya salah seorang pengurus panti asuhan anak-anak dengan keterbatasan fisik. Setiap hari tanpa lelah, selain mengurus rumah tangga, ibunda selalu mau dan rela untuk direpotkan oleh anak-anak asuhnya. Tanpa mengeluh, tanpa berbantah, semua dilakukannya dengan hati bahagia.
Seiring berjalannya waktu. Ketika usia sudah semakin menua, tubuh sudah semakin renta, penyakit silih berganti merasuki raga. Ibunda mulai tak bisa mengasuh para anak asuh. Penyakit yang dideritanya memaksa ia berdiam diri tanpa kesibukan yang dulu. Dalam hati, diam-diam Ibunda berujar sebuah janji bahwa ketika dia mati ia ingin seluruh yang ada di tubuhnya ia ingin berikan pada anak asuhnya yang membutuhkan. Matanya, ginjalnya, jantungnya, atau bagian tubuh manapun yang bisa ia berikan ia rela.
Dan Wina berada di ambang kegelisahan. Ibunda ingin ia bisa memenuhi janji itu, namun ia tak tega. Kini, jasad ibunda sudah terbujur kaku ditimpa tanah. Namun Wina masih mampu melihat tatapannya yang teduh dari sorot mata anak asuh. Tatapan itu tetap sama, menenangkan. Meski bukan lagi Bunda yang ia rasakan.
Saidah
#CeritaMini #PartnerInWrite #EdisiSeninSosial
Be First to Post Comment !
Posting Komentar