Matahari dan senja itu selalu sama…
Angin masih sama lembut menyentuh kulit.
Kala itu Agustus 2013. Menjadi bagian dari perusahaan itu sebenarnya tidak menjadi mimpi besar bagiku, hanya saja satu peluang bagus karena aku tepat mengambil profesi itu, sejalan dengan bidang studi semasa kuliah. Bertemu dengan orang baru berarti harus mampu beradaptasi lagi. Mudah tersenyum, mencairkan diri dan menjalankan tugas sesuai dengan perintah. Di ruangan itu hanya ada dua perempuan, lima sisanya adalah lelaki. Mudah akrab sekali kala itu. Sudah seperti keluarga, ku anggap.
“Marwa, tolong rekapin laporan keuangan bulan Juni sama Agustus ya! Bahannya sudah saya email, mohon dicek.” Hendra atasanku memang tegas kalau soal pekerjaan.
“Baik pak” cukup ucapan tersingkat dengan jawaban bernada siap. Saking akrabnya dengan ruangan ini, mudah sekali mengerjakan segalanya dengan hati ringan sampai tidak terasa bulan berjalan hingga keberadaanku di perusahaan ini sudah hampir 4 bulan.
:.:.:
Pagi menjadi indah, matahari terik meninggi yang kuterjemahkan sebagai hari yang harus semangat mengerjakan segalanya di kantor. Pagi itu sudah lengkap semua, pak Hendra harus dinas keluar kota bersama asistennya, lelaki masih seusia ku, subur, dan sangat ramah. Dito namanya. Tapi biarlah, masih ada yang lain untuk ku ajak ngobrol di sela-sela pekerjaan.
“Wa, bikini dong wa.” Singkat satu bungkus cappuccino mendarat di mejaku
“Ishhh zidan !!! kebiasaan selalu ngagetin orang lagi konsen ish !” nadaku meninggi
“Biasa aja kali wa, bikini wa gih.” Mudahnya zidan tersenyum meminta sambil menaikkan kedua alisnya
Mudah mengaduk secangkir cappuccino di pantry kantor. Hanya menuang bubuk ditambah dengan air panas, lalu diaduk. Selesai ! Mengaduk dengan senyuman membuat cappuccino itu menjadi berbeda. Ku taruh dengan hati-hati cangkir tersebut agar tidak mengotori kertas-kertas di meja Zidan. Ruang kerja itu menjadi “istimewa” bagiku.
Angin masih sama lembut menyentuh kulit.
Kala itu Agustus 2013. Menjadi bagian dari perusahaan itu sebenarnya tidak menjadi mimpi besar bagiku, hanya saja satu peluang bagus karena aku tepat mengambil profesi itu, sejalan dengan bidang studi semasa kuliah. Bertemu dengan orang baru berarti harus mampu beradaptasi lagi. Mudah tersenyum, mencairkan diri dan menjalankan tugas sesuai dengan perintah. Di ruangan itu hanya ada dua perempuan, lima sisanya adalah lelaki. Mudah akrab sekali kala itu. Sudah seperti keluarga, ku anggap.
“Marwa, tolong rekapin laporan keuangan bulan Juni sama Agustus ya! Bahannya sudah saya email, mohon dicek.” Hendra atasanku memang tegas kalau soal pekerjaan.
“Baik pak” cukup ucapan tersingkat dengan jawaban bernada siap. Saking akrabnya dengan ruangan ini, mudah sekali mengerjakan segalanya dengan hati ringan sampai tidak terasa bulan berjalan hingga keberadaanku di perusahaan ini sudah hampir 4 bulan.
:.:.:
Pagi menjadi indah, matahari terik meninggi yang kuterjemahkan sebagai hari yang harus semangat mengerjakan segalanya di kantor. Pagi itu sudah lengkap semua, pak Hendra harus dinas keluar kota bersama asistennya, lelaki masih seusia ku, subur, dan sangat ramah. Dito namanya. Tapi biarlah, masih ada yang lain untuk ku ajak ngobrol di sela-sela pekerjaan.
“Wa, bikini dong wa.” Singkat satu bungkus cappuccino mendarat di mejaku
“Ishhh zidan !!! kebiasaan selalu ngagetin orang lagi konsen ish !” nadaku meninggi
“Biasa aja kali wa, bikini wa gih.” Mudahnya zidan tersenyum meminta sambil menaikkan kedua alisnya
Mudah mengaduk secangkir cappuccino di pantry kantor. Hanya menuang bubuk ditambah dengan air panas, lalu diaduk. Selesai ! Mengaduk dengan senyuman membuat cappuccino itu menjadi berbeda. Ku taruh dengan hati-hati cangkir tersebut agar tidak mengotori kertas-kertas di meja Zidan. Ruang kerja itu menjadi “istimewa” bagiku.
:.:.:
Senja di ibukota hanya terlihat dengan awan dan langit yang meredup. Tidak ada jingga senja di sini, gumamku dalam hati sambil mendongak ke langit.
“Marwaaaa !!!”
Refleks semakin erat ku pegang tas, efek dari tarikan tas yang kencang sembari memanggil namaku. Aishhhhhh hampir copot jantung bisik ku di hati.
“Idihhh bisa kena serangan jantung deket-deket kamu daaan !!!” hanya bisa pasang muka datar
“Hahaha lagian Marwa ngapain sih dangak-dangak ke langit gitu? Minta duit sama langit?” Ledek Zidan
“Udah ah. Mending pulang.”
“eh Wa, tunggu dulu. Mau balik? Zidan tungguin yaa sampai Marwa naik ke Bis.”
“Idihhhh Zidan baik amat ama Marwa. Jangan jangannnnnn hehehe Zidannnnnn….” Sengaja kucoba goda Zidan
“Eng.. Engg.. ishhh apaan sih Wa, tadi kan udah dibikinin cappuccino. Say thanks aja Zidan antar Marwa.”
Senyumku tipis agak memerah kulihat mukanya. Zidan, perawakannya tinggi, hidung mancung, rambutnya tebal hitam, kulit kuning langsat. Indah bukan? Hanya jika dilihat dari luar cenderung pendiam walau iseng, hanya berkata sedikit karena sisanya ia khawatir akan sia-sia jika perkataannya tidak bermanfaat. Ketika mengantar sampai ke halte saja tidak sama sekali ada sentuhan, justru ada jarak di sana. Ah sudahlah.
:.:.:
Baru saja sampai kamar, sepertinya HP bergetar tanda SMS masuk nih.
“Wa, udah sampai?”
Ha? Tumben amat nih anak SMS hihi, senyum tidak lekas luput dari bibir dengan wajah sumringah ini.
“Alhamdulillah udah dan.” Singkat ku balas.
Genap empat bulan sudah aku bergabung dengan perusahaan ini. Baru kali ini juga mudah beradaptasi dengan satu ruang kerja yang didominasi pria. Tapi bukankah ini menyenangkan? Hmmmmm berbaring dikasur sambil membalas pesan singkat nya pun menjadi satu kegemaranku baru-baru ini. Besok harus lebih semangat, ya kaann?? Hihi senyummmm ohhh senyummm jangan lepas dari wajahku ini.
“Waaaaa, makan yukkkk.”
Ahhh mama mengganggu sejenak kegemaran baruku. Tak apalah, ku tinggal sebentar.
:.:.:
Yang istimewa disini adalah seluruh pegawai yang saling salam, sapa, senyum. Makin semangat dehhhh buru-buru ah nyampe ruang kerja.
Lho, ini siapa yang buatkan secangkir cappuccino? Eh kok ada sticky note segala di bawah cangkir?
“Wa, Zidan hari ini ada dinas pagi dulu ya ke kota tetangga. Diminum supaya makin semangat kerja”
Jangankan kau suruh, tanpa kau minta pun sudah aku cicip hihi Zidan ini aneh. SMS, WA, BBM, Chat kan bisa. Kadang mengejutkan. Kadang terlalu manis berpesan. Ah biarlah, jangan terlalu pede. Itu lebih baik.
Semua berjalan dengan baik di profesi baru ku ini, hampir tidak ada kendala. Atasanku pun sangat apresiasi hasil kerja satu ruangan, tanpa pernah membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya. Jika kami harus mendokumentasikan keakraban dan kekompakan kami dengan foto bersama, maka Zidan yang paling dekat dengan ku tapi tetap ada jarak di sana. Baru kali ini bertemu dengan lelaki yang jarang berbicara saat bekerja, hanya berani akrab lewat chatting atau SMS. Iseng kalau sudah di luar ruang kerja. Zidan setiap sepulang kerja selalu memastikan aku naik bis dengan selamat. Jika tidak sempat mengantarkan, malah Zidan selalu memperhatikan dari jauh sampai aku benar-benar naik Bis arah pulang. Lelaki aneh, buat apa seperti itu pada wanita? Aku hanya takut salah tafsir. Jika makan siang tiba, Zidan hanya ingin pergi keluar denganku berdua, dan makanan yang ia pilih cenderung sederhana, karena ia tau, ada Ibu dan abahnya yang menunggu. Lelaki sunda ini teramat sayang dengan adik perempuan dan lelakinya. Uang yang ia dapatkan pun tidak untuk kesenangan sendiri.
Sering aku bersamanya saat makan siang, pulang kantor, dan kadang weekend kita habiskan bersama dengan berjalan-jalan mencari buku atau hanya sekedar makan malam di luar. Saking dekatnya kami, yang lain mengira ada suatu hubungan spesial antaranya dengan ku. Padahal kedekatan kami pun tidak memiliki status. Ini yang membuat beberapa rekan kami kecewa karena beredar kabar, kami berpacaran dalam satu ruangan. Padahal jelas di ruangan itu tidak hanya kami berdua, ada atasan dan rekan kerja kami. Entahlah, ada saja kabar tidak baik kuterima.
Zidan pun banyak memiliki rekan wanita seprofesi. Lelaki sebaik ia pun masih saja terdengar kabar tidak sedap. Entah si Zidan sok ganteng lah. Entah si Zidan lelaki seribu wanita lah. Padahal jalan dengan wanita di kantor ya karena hanya jalan biasa menuju ruang meeting. Ditambah lagi saat Zidan tempo hari mengantarku hingga halte dan memastikan aku naik bis. Itu saja masih menjadi bahan bagi yang lain untuk menjatuhkan citra Zidan. Dia memang pekerja tangguh penuh prestasi. Hanya orang-orang sirik yang giat menjelek-jelekkannya.
“Kau tau dan? Orang-orang di kantor ramai membicarakan mu, kau habis jalan dengan teman kerja wanita mu tadi siang?”
Penasaran dengan berita itu, aku langsung SMS Zidan.
“Oh, iya itu temenku. Ya ampun, padahal kami Cuma ngobrol biasa lho wa, sambil jalan ke ruang meeting. Biarlah. Yang penting aku gak seperti yang mereka bilang.”
Segera ku mainkan jari manis ku ke atas papan layar sentuh ini dan membalas,
“Kau betah dengan berita-berita yang menjatuhkanmu? Lelaki seribu wanita, itu julukan yang kasar terdengar. Sekali pun, kau amat menjaga jarak mu dengan wanita. Dan aku gak percaya dengan julukan itu, sama sekali gak percaya. Lah kok kamu malah enteng sih nanggepinnya?”
Zidan tidak membalas sms terakhir ku. Mungkin dia sudah istirahat terlebih dahulu. Pusing juga kalau jadi dia, ditengah tuntutan tugas, deadline, laporan, meeting dan mungkin cuek dengan sejuta julukan baginya. Ya, jika perkataan sudah bermain, maka siapapun mudah terhasut.
:.:.:
Sudah seminggu.
Masih saja ku dengar kabar tentang Zidan. Malah ada yang bertanya padaku, wanita keberapa di hati Zidan. Hari ini berbeda dari biasanya. Tidak ada pesan singkat dari Zidan, di ruang kerja pun tidak ada. Di mejaku pun tidak ada pesan tempel darinya. Kemana Zidan? Seharian aku bekerja tetap saja malu untuk bertanya kemana Zidan.
“Kau sudah jenguk Zidan, wa?” Pak Hendra meleburkan lamunku
“Eh? Ha? Ada Apa pak? Zidan sakit?”
“Iya, semalam dia sms saya. Demam katanya.” Hanya itu kata Pak Hendra
Segera ku ambil HP di dalam tas,
“Kau sakit? Kenapa tidak mengabarkan? Masih di Kosan atau di Rumah sakit? Sudah periksa?”
Hanya itu yang mampu kukirimkan sambil penasaran ku tunggu jawaban darinya. Yang ku tahu, Zidan sendiri di Ibu kota ini. Hanya menyewa sebuah kamar kosan untuk ditinggali. Tapi setelah kuingat-ingat, ada pamannya yang tinggal di Jakarta ini.
“Sudah. Hanya demam biasa.”
Ku tutup dengan do’a agar ia lekas pulih kembali dan besok bisa masuk kerja.
:.:.:
Kembali ku dapati pagi ini tidak ada Zidan di meja rapihnya. Masih sakit kah kau?
Hari itu kebetulan dinas ku di luar kantor, selesai mengawasi tugas di luar, aku hanya perlu laporan dan bisa pulang. Kuurungkan niat untuk pulang. Sudah sedari Senin dan Selasa ini Zidan tidak masuk. Coba ku pastikan di kosannya apakah dia baik-baik saja.
Tanpa ku pegang badannya pun terlihat pucat di wajahnya. Ku bawa periksa darah karena khawatir ini bukan demam biasa. Hasilnya pun tidak lama keluar, “gejala DBD”. Mungkin Zidan lelah, pikirku.
“Kau hanya butuh istirahat ya, Zidan.” Kataku lembut sambil menyelimutinya di kamar Kos yang sederhana. Ia hanya mengangguk. Dan aku berjalan pulang.
Ku ceritakan semua kedekatanku padanya. Ibu menjadi tempat pas dan aman ketika hati ini disesaki perasaan mengganjal. Aku terlanjur nyaman padanya, bu. Apakah ia akan sama merasakan kenyamanan ini?? entahlah….
:.:.:
Rabu berjalan seperti biasa tanpanya. Hingga kamis tiba, aku makin khwatir, sudah dua hari ini tidak ada pesan singkat darinya. Aku izin pulang cepat hari itu. Memastikan kembali apakah ia baik-baik saja.
“Zidaaannn, kenapa gak kabari?” Kudapati tubuhnya berkeringat, ada ruam-ruam merah di sekujur badannya. Langkahnya gontai tidak kuat menanggung beban tubuhnya sendiri. Ku tunggu hingga ia mampu berganti pakaian, ku paksa agar ia lekas di rawat di klinik. Aku terdiam sejenak memikirkan bagaimana membawanya ke Rumah Sakit.
Di lingkungan sini jarang ada taksi, becak pun jarang. Hmmm coba kuingat-ingat…. Oh iya ! ada ojeg di pangkalan depan itu !
Berbicara dengan diri sendiri memang lebih ampuh sebelum melakukan tindakan lainnya. Ku minta padanya untuk menunggu di depan kosan. Dengan terik yang meninggi siang itu, aku harus berlari mencari ojeg yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter dari kosan. Semoga Zidan tetap kuat menahan sakitnya.
Hanya ada satu.
Aku memberitahukan pada mamang ojeg itu klinik yang hendak dituju. Angkutan umum pilihanku, karena tidak mungkin satu motor bertiga.
Pucat pasi berkeringat. Tak ada senyum di wajahnya. Ku papah langsung ke klinik temanku. Ditindak dengan infus, cairan harus terus dipasok kedalam tubuh nya.
“Wa… Jangan tinggalin Zidan. Temani Zidan wa, sepi…”
Ia sudah bisa berbicara walau terbata-bata. Ku balas dengan senyuman. Pikir pasien disana aku adalah isterinya. Padahal aku teman dekatnya hihi . ah sudahlah, kondisinya lebih penting.
Ia sudah bisa mengonsumsi bubur dan buah. Tak lupa obat untuk tubuhnya. Ia masih tertidur hingga pamannya datang kamis sore itu. Aku pernah kenal dengan pamannya. Ramah dan amat baik. Ku tinggal ia pulang dan mengistirahatkan tubuh ku. Ku harap Jumat pagi dapat menemuinya di klinik.
:.:.:
“Marwa, ini Om pakai HP Zidan. Pagi ini dia sudah habiskan bubur nya satu mangkuk. Sudah tertawa melihat kartun di TV. Doakan agar segera pulih ya.”
Alhamdulillah. Senyumku tak luntur Jumat pagi itu. Ah semoga saja kau lekas duduk di meja mu, Zidan.
Pamannya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tenang pagi ini, maka kuputuskan untuk tidak menjenguknya. Mungkin sepulang kerja baru akan kujenguk kembali. Sabar ya Zidan…
14.50 WIB Meeting yang seru. Belum berakhir pertemuan itu, HP ku bergetar berkali-kali, ku coba izin untuk mengangkat.
“Hal, halo , halo? Marwa? Ini om, Marwa? Halo?” Suara om nya Zidan seperti panik diujung sana
“Iya om? Halo? Ini Marwa dengar Om.”
“Marwa… Zidan dilarikan ke Rumah Sakit. Kritis marwa.”
Tercekat. Beku tidak bisa berkata. Segera izin langsung dari pertemuan itu. semoga ia baik-baik saja. Semoga tidak parah. Semoga sembuh, zidan. Semoga kau bisa kembali ke ruang kerjamu, kami rindu, aku rindu padamu Zidan.
Hanya itu yang bisa kukatakan dalam hati sambil berjalan ke IGD di Rumah Sakit itu. Om nya menitipi Zidan padaku, karena Ia harus urus administrasi di RS yang terkenal tak tindak jika belum DP.
“Zidan, ini marwa.” Ku goyangkan tubuhnya
“Wa, dingin… dingin… dingin” hanya beberapa kali ia buka matanya
Aku hanya bisa meminta selimut, lima belas menit kemudian Zidan tidak bisa tahan dengan tubuh yang ia rasakan semakin dingin. Zidan dengan kuat bangun dari tempat tidur di IGD, aku berhasil menahannya walau harus memeluk Zidan.
“Zidan tenang !! suster sedang tangani Zidan. Zidan tiduran sekarang !” Terpaksa kutinggikan nada bicaraku agar Ia dengar. Sesekali karena menggigil, ia tidak tahan dan harus kejang-kejang berulang kali. Entah seberapa kuat Allah berikan diri wanita seperti ku mampu menahannya. Tim medis segera membantu. Ku lihat ceceran darah dari selang infusnya yang bergeser.
Zidan… bertahan lah, ku mohon…
Dua suntikan dengan dosis tepat untuk membius nya enggan memiliki efek berarti. Suster sibuk mondar-mandir mengambil selimut besar tiga buah. Mengikatnya di kasur IGD agar tidak semakin berontak dengan serangan kejang-kejang badannya. Belum lagi suster yang mengganti infus harus dengan terpaksa bergerak cepat menurunkan panasnya. Entah kekuatan apa yang ada pada tubuhku. Kulihat dengan seksama berdiri tegak mundur tiga langkah, menggigit bibir ku sendiri. Kelu. Melihatnya memberontak. Sesakit itu kah, Zidan?
Suster yang bertindak cepat mengambil alat yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Ku lihat ia kejang hingga darah keluar dari bibirnya. Alat itu mungkin berfungsi agar ia tidak menggigit bibirnya kembali ketika kejang masih menyerang tanpa ampun.
Ya Allah, bolehkah aku berdo’a? tolong redakan dari sakitnya. Tolong, kumohon ya Rabb…
Bulir air mata jatuh ke pipi tanpa ku sadari. Ku usap pipi basah ini. tapi enggan berhenti ketika ku dengar perbincangan dokter jaga itu,
“ini masa kritisnya. Kalau dia tidak mampu melewati ini. maka kemungkinan terburuk harus dihadapi sus.” Dokter itu sambil mengecek laporan medis Zidan. Ku beranikan diri menghadap dokter jaga itu, ku katakan padanya bahwa hanya pamannya di Jakarta dan sedang mengurus administrasi.
“Apa yang menyerangnya dokter?” ku seka air mata
“Dia punya masalah? Rekap medis menunjukkan tidak ada keparahan dari trombosit dan tekanan darah. DBD yang masih bisa ditangani. Apa ia ada masalah?”
Aku menggeleng tidak tahu. Dokter hanya menjelaskan bahwa DBD yang ia derita diperparah dengan dugaan indikasi masalah yang mengelabuhi pikirannya.
:.:.:
Apa mungkin karena fitnah tempo hari di kantor? Apa karena itu dia terlalu memikirkannya? Apa karena masalah keluarga? Ah kurasa, keluarganya baik-baik saja.
Aku memilih berdiam di teras IGD karena belum bisa menunaikan shalat. Ada halangan. pamannya hanya bilang kalau keluarganya di sana tidak bisa datang ke Jakarta. Dua mobil yang ditumpangi mendadak tidak bisa digunakan. Wajahku sembab. Mulai berdatangan rekan satu ruangan menunggu dan memberi harapan bahwa ia pasti segera pulih dan melewati masa kritisnya. Siapa yang mampu berkehendak? Hanya Allah…
20.00 WIB paman meminta semua masuk ke IGD. Paman setia mendampingi tanpa pernah meninggalkannya kali ini. aku tak kuasa lagi melihat dokter yang mencoba memompa jantungnya, alat hanya menunjukkan gelombang ketika di pacu jantung, lepas dari itu maka datar kembali gelombangnya. Kembali di pacu, namun tidak ada hasil. Hingga keringat dokter itu mengalir pun tidak membuahkan satu harapan.
“Pukul 21.21 WIB ya pak?” Dokter jaga mencatatnya
“Innalillahi wa inna ilahi rajiuun” Paman menyahut
Baru kali ini dari awal kau sakit, sampai kau pergi, aku masih disini Zidan. Beruntunglah ada teman sekantorku yang mampu menenangkan. Siapa sangka jeritan pilu nelangsa keluar dari bibir ku.
Baru saja kemarin kau perhatian. Baru kemarin kau antar aku. Baru kemarin kau buatkan secangkir cappuccino. Baru kemarin kita habiskan akhir minggu bersama. Baru kemarin…..
:.:.:
Kata dokter, DBD itu memang memiliki gejala yang tidak terduga. Jumat pagi itu lah saat kau merasa segar, itu masa kritis mu, Zidan… aku tahu kini betapa sakitnya kau menahan dingin hingga menggigil dan kejang-kejang. Dokter memberitahukan ku bahwa pembuluh darah mu pecah, beriringan dengan diagnosa pendarahan otak. Itulah DBD yang menyerangmu...
Paman memintaku segera pulang mengambil pakaian ganti, sementara tubuh kaku Zidan diantarkan ke dalam ambulans. Aku ikut didalamnya. Mengantarnya pulang ke tempat terakhirnya. Paman memastikan kau lancar mengucap syahadat sebelum kau pamit padanya. Duduk berhadapan dengan keranda terbungkus kain hijau membuatku diam. Tidak menetes sekali pun air mata. Tenang kupandangi. Harus lebih kuat ketika tiba sampai di sana. Sumedang, amat dekat perjalanan. Tak henti gerimis mengantar ambulans menemani dalam perjalanan.
Sesampainya di sana, aku dipeluk entah bagian keluarga mu yang mana yang sedang memeluk ku ini. kami saling menguatkan. Malam ini dingin. Tepat 23.00 WIB. Jarak mampu dibelah dengan sirine ambulans. Sudah disiapkan sebuah kamar untukku. Sejenak ku letakkan tas berisi pakaian. Berbaring memejamkan mata yang mulai terasa panas. Teteh tadi yang memelukku, mengajak ke rumah Zidan tepat di depan rumahnya.
“Ini Marwa.” Pamannya mengenalkan ku pada ibu Zidan.
Karena kesedihan yang tiada henti, ibunya pingsan setelah melihatku. Kembali yang lain memeluk Marwa si wajah sembab ini.
Di sini ramai sekali Zidan, tidak kah kau dengar tangisan keluarga mu? Betapa mereka sayang pada mu Zidan. Mengapa mereka seperti sudah kenal denganku, memelukku tanpa canggung, menguatkanku, ada apa dengan mereka? Zidan… Kau dengar aku?
Ku coba berkata dalam hati sambil melihat nya terbaring di ruang tamu. Sedang didoakan. Besok pagi kami antarkan kamu Zidan.
:.:.:
Beruntung sekali malam itu hanya nyenyak ku rasa hingga sudah adzan Subuh ku dengar. Baru ku tahu yang memeluk ku semalam adalah adik pamannya Zidan. Isteri pamannya shalat dikamar yang kutumpangi. Isak tangis masih terdengar. Saking tidak kuat, sekeras apapun aku menahannya, tetap saja air mata ini tidak berkesudahan rela membasahi pipiku, dengan sabar, lembut, isteri pamannya mencium keningku,
“yang Sabar ya teh Marwa.” Lalu ia pergi.
Ku mohon berikan kekuatan agar aku mampu mengantar mu hingga tenang di sana.
Pantas saja kau teduh, tenang, ramah. Lihatlah sekelilingmu, lingkungan di sini sejuk, keluarga mu pun ramah, hanya ibu mu belum mampu beranjak dari sedihnya. Sungguh kau amat disayang, Zidan.
:.:.:
Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Do’a yang kupanjatkan selalu untuk mu, Zidan. Boleh aku bercerita?
Zidan… aku baru tahu sekarang ini, mengapa tak kau bilang dari dulu? Saat kita selalu bersama-sama?
Ibu mu terlalu lemah melihat wajahku, tak tega katanya. Ia bahkan memeluk ku erat, Zidan. Kau memang pernah bilang bahwa kau sisihkan sebagian besar gajimu untuk ditabung. Tapi mengapa aku baru tahu sekarang?
Ibu bilang padaku, bahwa tabunganmu adalah tabungan emas agar segera meminangku. Benarkah itu Zidan?
Sesak sampai pada dadaku, ku peluk erat ibunya, sama sama kami larut dalam isakan.
Jika aku rindu padamu, maka do’a dariku yang akan menyapa mu di sana, Zidan… aku janji…
Tangis ku pun enggan beranjak mengantarkan ku hingga sampai lagi di Ibu Kota. Biar pun kita terpisah ruang dan waktu, aku mohon agar sesekali kau datang dalam mimpiku walau hanya sekedar menyapa. Bolehkah?
Zidan, dua puluh tiga tahun.
Sumedang, 11 April 2014 …
:.:.:
“Marwaaaa !!!”
Refleks semakin erat ku pegang tas, efek dari tarikan tas yang kencang sembari memanggil namaku. Aishhhhhh hampir copot jantung bisik ku di hati.
“Idihhh bisa kena serangan jantung deket-deket kamu daaan !!!” hanya bisa pasang muka datar
“Hahaha lagian Marwa ngapain sih dangak-dangak ke langit gitu? Minta duit sama langit?” Ledek Zidan
“Udah ah. Mending pulang.”
“eh Wa, tunggu dulu. Mau balik? Zidan tungguin yaa sampai Marwa naik ke Bis.”
“Idihhhh Zidan baik amat ama Marwa. Jangan jangannnnnn hehehe Zidannnnnn….” Sengaja kucoba goda Zidan
“Eng.. Engg.. ishhh apaan sih Wa, tadi kan udah dibikinin cappuccino. Say thanks aja Zidan antar Marwa.”
Senyumku tipis agak memerah kulihat mukanya. Zidan, perawakannya tinggi, hidung mancung, rambutnya tebal hitam, kulit kuning langsat. Indah bukan? Hanya jika dilihat dari luar cenderung pendiam walau iseng, hanya berkata sedikit karena sisanya ia khawatir akan sia-sia jika perkataannya tidak bermanfaat. Ketika mengantar sampai ke halte saja tidak sama sekali ada sentuhan, justru ada jarak di sana. Ah sudahlah.
:.:.:
Baru saja sampai kamar, sepertinya HP bergetar tanda SMS masuk nih.
“Wa, udah sampai?”
Ha? Tumben amat nih anak SMS hihi, senyum tidak lekas luput dari bibir dengan wajah sumringah ini.
“Alhamdulillah udah dan.” Singkat ku balas.
Genap empat bulan sudah aku bergabung dengan perusahaan ini. Baru kali ini juga mudah beradaptasi dengan satu ruang kerja yang didominasi pria. Tapi bukankah ini menyenangkan? Hmmmmm berbaring dikasur sambil membalas pesan singkat nya pun menjadi satu kegemaranku baru-baru ini. Besok harus lebih semangat, ya kaann?? Hihi senyummmm ohhh senyummm jangan lepas dari wajahku ini.
“Waaaaa, makan yukkkk.”
Ahhh mama mengganggu sejenak kegemaran baruku. Tak apalah, ku tinggal sebentar.
:.:.:
Yang istimewa disini adalah seluruh pegawai yang saling salam, sapa, senyum. Makin semangat dehhhh buru-buru ah nyampe ruang kerja.
Lho, ini siapa yang buatkan secangkir cappuccino? Eh kok ada sticky note segala di bawah cangkir?
“Wa, Zidan hari ini ada dinas pagi dulu ya ke kota tetangga. Diminum supaya makin semangat kerja”
Jangankan kau suruh, tanpa kau minta pun sudah aku cicip hihi Zidan ini aneh. SMS, WA, BBM, Chat kan bisa. Kadang mengejutkan. Kadang terlalu manis berpesan. Ah biarlah, jangan terlalu pede. Itu lebih baik.
Semua berjalan dengan baik di profesi baru ku ini, hampir tidak ada kendala. Atasanku pun sangat apresiasi hasil kerja satu ruangan, tanpa pernah membanding-bandingkan satu dengan yang lainnya. Jika kami harus mendokumentasikan keakraban dan kekompakan kami dengan foto bersama, maka Zidan yang paling dekat dengan ku tapi tetap ada jarak di sana. Baru kali ini bertemu dengan lelaki yang jarang berbicara saat bekerja, hanya berani akrab lewat chatting atau SMS. Iseng kalau sudah di luar ruang kerja. Zidan setiap sepulang kerja selalu memastikan aku naik bis dengan selamat. Jika tidak sempat mengantarkan, malah Zidan selalu memperhatikan dari jauh sampai aku benar-benar naik Bis arah pulang. Lelaki aneh, buat apa seperti itu pada wanita? Aku hanya takut salah tafsir. Jika makan siang tiba, Zidan hanya ingin pergi keluar denganku berdua, dan makanan yang ia pilih cenderung sederhana, karena ia tau, ada Ibu dan abahnya yang menunggu. Lelaki sunda ini teramat sayang dengan adik perempuan dan lelakinya. Uang yang ia dapatkan pun tidak untuk kesenangan sendiri.
Sering aku bersamanya saat makan siang, pulang kantor, dan kadang weekend kita habiskan bersama dengan berjalan-jalan mencari buku atau hanya sekedar makan malam di luar. Saking dekatnya kami, yang lain mengira ada suatu hubungan spesial antaranya dengan ku. Padahal kedekatan kami pun tidak memiliki status. Ini yang membuat beberapa rekan kami kecewa karena beredar kabar, kami berpacaran dalam satu ruangan. Padahal jelas di ruangan itu tidak hanya kami berdua, ada atasan dan rekan kerja kami. Entahlah, ada saja kabar tidak baik kuterima.
Zidan pun banyak memiliki rekan wanita seprofesi. Lelaki sebaik ia pun masih saja terdengar kabar tidak sedap. Entah si Zidan sok ganteng lah. Entah si Zidan lelaki seribu wanita lah. Padahal jalan dengan wanita di kantor ya karena hanya jalan biasa menuju ruang meeting. Ditambah lagi saat Zidan tempo hari mengantarku hingga halte dan memastikan aku naik bis. Itu saja masih menjadi bahan bagi yang lain untuk menjatuhkan citra Zidan. Dia memang pekerja tangguh penuh prestasi. Hanya orang-orang sirik yang giat menjelek-jelekkannya.
“Kau tau dan? Orang-orang di kantor ramai membicarakan mu, kau habis jalan dengan teman kerja wanita mu tadi siang?”
Penasaran dengan berita itu, aku langsung SMS Zidan.
“Oh, iya itu temenku. Ya ampun, padahal kami Cuma ngobrol biasa lho wa, sambil jalan ke ruang meeting. Biarlah. Yang penting aku gak seperti yang mereka bilang.”
Segera ku mainkan jari manis ku ke atas papan layar sentuh ini dan membalas,
“Kau betah dengan berita-berita yang menjatuhkanmu? Lelaki seribu wanita, itu julukan yang kasar terdengar. Sekali pun, kau amat menjaga jarak mu dengan wanita. Dan aku gak percaya dengan julukan itu, sama sekali gak percaya. Lah kok kamu malah enteng sih nanggepinnya?”
Zidan tidak membalas sms terakhir ku. Mungkin dia sudah istirahat terlebih dahulu. Pusing juga kalau jadi dia, ditengah tuntutan tugas, deadline, laporan, meeting dan mungkin cuek dengan sejuta julukan baginya. Ya, jika perkataan sudah bermain, maka siapapun mudah terhasut.
:.:.:
Sudah seminggu.
Masih saja ku dengar kabar tentang Zidan. Malah ada yang bertanya padaku, wanita keberapa di hati Zidan. Hari ini berbeda dari biasanya. Tidak ada pesan singkat dari Zidan, di ruang kerja pun tidak ada. Di mejaku pun tidak ada pesan tempel darinya. Kemana Zidan? Seharian aku bekerja tetap saja malu untuk bertanya kemana Zidan.
“Kau sudah jenguk Zidan, wa?” Pak Hendra meleburkan lamunku
“Eh? Ha? Ada Apa pak? Zidan sakit?”
“Iya, semalam dia sms saya. Demam katanya.” Hanya itu kata Pak Hendra
Segera ku ambil HP di dalam tas,
“Kau sakit? Kenapa tidak mengabarkan? Masih di Kosan atau di Rumah sakit? Sudah periksa?”
Hanya itu yang mampu kukirimkan sambil penasaran ku tunggu jawaban darinya. Yang ku tahu, Zidan sendiri di Ibu kota ini. Hanya menyewa sebuah kamar kosan untuk ditinggali. Tapi setelah kuingat-ingat, ada pamannya yang tinggal di Jakarta ini.
“Sudah. Hanya demam biasa.”
Ku tutup dengan do’a agar ia lekas pulih kembali dan besok bisa masuk kerja.
:.:.:
Kembali ku dapati pagi ini tidak ada Zidan di meja rapihnya. Masih sakit kah kau?
Hari itu kebetulan dinas ku di luar kantor, selesai mengawasi tugas di luar, aku hanya perlu laporan dan bisa pulang. Kuurungkan niat untuk pulang. Sudah sedari Senin dan Selasa ini Zidan tidak masuk. Coba ku pastikan di kosannya apakah dia baik-baik saja.
Tanpa ku pegang badannya pun terlihat pucat di wajahnya. Ku bawa periksa darah karena khawatir ini bukan demam biasa. Hasilnya pun tidak lama keluar, “gejala DBD”. Mungkin Zidan lelah, pikirku.
“Kau hanya butuh istirahat ya, Zidan.” Kataku lembut sambil menyelimutinya di kamar Kos yang sederhana. Ia hanya mengangguk. Dan aku berjalan pulang.
Ku ceritakan semua kedekatanku padanya. Ibu menjadi tempat pas dan aman ketika hati ini disesaki perasaan mengganjal. Aku terlanjur nyaman padanya, bu. Apakah ia akan sama merasakan kenyamanan ini?? entahlah….
:.:.:
Rabu berjalan seperti biasa tanpanya. Hingga kamis tiba, aku makin khwatir, sudah dua hari ini tidak ada pesan singkat darinya. Aku izin pulang cepat hari itu. Memastikan kembali apakah ia baik-baik saja.
“Zidaaannn, kenapa gak kabari?” Kudapati tubuhnya berkeringat, ada ruam-ruam merah di sekujur badannya. Langkahnya gontai tidak kuat menanggung beban tubuhnya sendiri. Ku tunggu hingga ia mampu berganti pakaian, ku paksa agar ia lekas di rawat di klinik. Aku terdiam sejenak memikirkan bagaimana membawanya ke Rumah Sakit.
Di lingkungan sini jarang ada taksi, becak pun jarang. Hmmm coba kuingat-ingat…. Oh iya ! ada ojeg di pangkalan depan itu !
Berbicara dengan diri sendiri memang lebih ampuh sebelum melakukan tindakan lainnya. Ku minta padanya untuk menunggu di depan kosan. Dengan terik yang meninggi siang itu, aku harus berlari mencari ojeg yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter dari kosan. Semoga Zidan tetap kuat menahan sakitnya.
Hanya ada satu.
Aku memberitahukan pada mamang ojeg itu klinik yang hendak dituju. Angkutan umum pilihanku, karena tidak mungkin satu motor bertiga.
Pucat pasi berkeringat. Tak ada senyum di wajahnya. Ku papah langsung ke klinik temanku. Ditindak dengan infus, cairan harus terus dipasok kedalam tubuh nya.
“Wa… Jangan tinggalin Zidan. Temani Zidan wa, sepi…”
Ia sudah bisa berbicara walau terbata-bata. Ku balas dengan senyuman. Pikir pasien disana aku adalah isterinya. Padahal aku teman dekatnya hihi . ah sudahlah, kondisinya lebih penting.
Ia sudah bisa mengonsumsi bubur dan buah. Tak lupa obat untuk tubuhnya. Ia masih tertidur hingga pamannya datang kamis sore itu. Aku pernah kenal dengan pamannya. Ramah dan amat baik. Ku tinggal ia pulang dan mengistirahatkan tubuh ku. Ku harap Jumat pagi dapat menemuinya di klinik.
:.:.:
“Marwa, ini Om pakai HP Zidan. Pagi ini dia sudah habiskan bubur nya satu mangkuk. Sudah tertawa melihat kartun di TV. Doakan agar segera pulih ya.”
Alhamdulillah. Senyumku tak luntur Jumat pagi itu. Ah semoga saja kau lekas duduk di meja mu, Zidan.
Pamannya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tenang pagi ini, maka kuputuskan untuk tidak menjenguknya. Mungkin sepulang kerja baru akan kujenguk kembali. Sabar ya Zidan…
14.50 WIB Meeting yang seru. Belum berakhir pertemuan itu, HP ku bergetar berkali-kali, ku coba izin untuk mengangkat.
“Hal, halo , halo? Marwa? Ini om, Marwa? Halo?” Suara om nya Zidan seperti panik diujung sana
“Iya om? Halo? Ini Marwa dengar Om.”
“Marwa… Zidan dilarikan ke Rumah Sakit. Kritis marwa.”
Tercekat. Beku tidak bisa berkata. Segera izin langsung dari pertemuan itu. semoga ia baik-baik saja. Semoga tidak parah. Semoga sembuh, zidan. Semoga kau bisa kembali ke ruang kerjamu, kami rindu, aku rindu padamu Zidan.
Hanya itu yang bisa kukatakan dalam hati sambil berjalan ke IGD di Rumah Sakit itu. Om nya menitipi Zidan padaku, karena Ia harus urus administrasi di RS yang terkenal tak tindak jika belum DP.
“Zidan, ini marwa.” Ku goyangkan tubuhnya
“Wa, dingin… dingin… dingin” hanya beberapa kali ia buka matanya
Aku hanya bisa meminta selimut, lima belas menit kemudian Zidan tidak bisa tahan dengan tubuh yang ia rasakan semakin dingin. Zidan dengan kuat bangun dari tempat tidur di IGD, aku berhasil menahannya walau harus memeluk Zidan.
“Zidan tenang !! suster sedang tangani Zidan. Zidan tiduran sekarang !” Terpaksa kutinggikan nada bicaraku agar Ia dengar. Sesekali karena menggigil, ia tidak tahan dan harus kejang-kejang berulang kali. Entah seberapa kuat Allah berikan diri wanita seperti ku mampu menahannya. Tim medis segera membantu. Ku lihat ceceran darah dari selang infusnya yang bergeser.
Zidan… bertahan lah, ku mohon…
Dua suntikan dengan dosis tepat untuk membius nya enggan memiliki efek berarti. Suster sibuk mondar-mandir mengambil selimut besar tiga buah. Mengikatnya di kasur IGD agar tidak semakin berontak dengan serangan kejang-kejang badannya. Belum lagi suster yang mengganti infus harus dengan terpaksa bergerak cepat menurunkan panasnya. Entah kekuatan apa yang ada pada tubuhku. Kulihat dengan seksama berdiri tegak mundur tiga langkah, menggigit bibir ku sendiri. Kelu. Melihatnya memberontak. Sesakit itu kah, Zidan?
Suster yang bertindak cepat mengambil alat yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Ku lihat ia kejang hingga darah keluar dari bibirnya. Alat itu mungkin berfungsi agar ia tidak menggigit bibirnya kembali ketika kejang masih menyerang tanpa ampun.
Ya Allah, bolehkah aku berdo’a? tolong redakan dari sakitnya. Tolong, kumohon ya Rabb…
Bulir air mata jatuh ke pipi tanpa ku sadari. Ku usap pipi basah ini. tapi enggan berhenti ketika ku dengar perbincangan dokter jaga itu,
“ini masa kritisnya. Kalau dia tidak mampu melewati ini. maka kemungkinan terburuk harus dihadapi sus.” Dokter itu sambil mengecek laporan medis Zidan. Ku beranikan diri menghadap dokter jaga itu, ku katakan padanya bahwa hanya pamannya di Jakarta dan sedang mengurus administrasi.
“Apa yang menyerangnya dokter?” ku seka air mata
“Dia punya masalah? Rekap medis menunjukkan tidak ada keparahan dari trombosit dan tekanan darah. DBD yang masih bisa ditangani. Apa ia ada masalah?”
Aku menggeleng tidak tahu. Dokter hanya menjelaskan bahwa DBD yang ia derita diperparah dengan dugaan indikasi masalah yang mengelabuhi pikirannya.
:.:.:
Apa mungkin karena fitnah tempo hari di kantor? Apa karena itu dia terlalu memikirkannya? Apa karena masalah keluarga? Ah kurasa, keluarganya baik-baik saja.
Aku memilih berdiam di teras IGD karena belum bisa menunaikan shalat. Ada halangan. pamannya hanya bilang kalau keluarganya di sana tidak bisa datang ke Jakarta. Dua mobil yang ditumpangi mendadak tidak bisa digunakan. Wajahku sembab. Mulai berdatangan rekan satu ruangan menunggu dan memberi harapan bahwa ia pasti segera pulih dan melewati masa kritisnya. Siapa yang mampu berkehendak? Hanya Allah…
20.00 WIB paman meminta semua masuk ke IGD. Paman setia mendampingi tanpa pernah meninggalkannya kali ini. aku tak kuasa lagi melihat dokter yang mencoba memompa jantungnya, alat hanya menunjukkan gelombang ketika di pacu jantung, lepas dari itu maka datar kembali gelombangnya. Kembali di pacu, namun tidak ada hasil. Hingga keringat dokter itu mengalir pun tidak membuahkan satu harapan.
“Pukul 21.21 WIB ya pak?” Dokter jaga mencatatnya
“Innalillahi wa inna ilahi rajiuun” Paman menyahut
Baru kali ini dari awal kau sakit, sampai kau pergi, aku masih disini Zidan. Beruntunglah ada teman sekantorku yang mampu menenangkan. Siapa sangka jeritan pilu nelangsa keluar dari bibir ku.
Baru saja kemarin kau perhatian. Baru kemarin kau antar aku. Baru kemarin kau buatkan secangkir cappuccino. Baru kemarin kita habiskan akhir minggu bersama. Baru kemarin…..
:.:.:
Kata dokter, DBD itu memang memiliki gejala yang tidak terduga. Jumat pagi itu lah saat kau merasa segar, itu masa kritis mu, Zidan… aku tahu kini betapa sakitnya kau menahan dingin hingga menggigil dan kejang-kejang. Dokter memberitahukan ku bahwa pembuluh darah mu pecah, beriringan dengan diagnosa pendarahan otak. Itulah DBD yang menyerangmu...
Paman memintaku segera pulang mengambil pakaian ganti, sementara tubuh kaku Zidan diantarkan ke dalam ambulans. Aku ikut didalamnya. Mengantarnya pulang ke tempat terakhirnya. Paman memastikan kau lancar mengucap syahadat sebelum kau pamit padanya. Duduk berhadapan dengan keranda terbungkus kain hijau membuatku diam. Tidak menetes sekali pun air mata. Tenang kupandangi. Harus lebih kuat ketika tiba sampai di sana. Sumedang, amat dekat perjalanan. Tak henti gerimis mengantar ambulans menemani dalam perjalanan.
Sesampainya di sana, aku dipeluk entah bagian keluarga mu yang mana yang sedang memeluk ku ini. kami saling menguatkan. Malam ini dingin. Tepat 23.00 WIB. Jarak mampu dibelah dengan sirine ambulans. Sudah disiapkan sebuah kamar untukku. Sejenak ku letakkan tas berisi pakaian. Berbaring memejamkan mata yang mulai terasa panas. Teteh tadi yang memelukku, mengajak ke rumah Zidan tepat di depan rumahnya.
“Ini Marwa.” Pamannya mengenalkan ku pada ibu Zidan.
Karena kesedihan yang tiada henti, ibunya pingsan setelah melihatku. Kembali yang lain memeluk Marwa si wajah sembab ini.
Di sini ramai sekali Zidan, tidak kah kau dengar tangisan keluarga mu? Betapa mereka sayang pada mu Zidan. Mengapa mereka seperti sudah kenal denganku, memelukku tanpa canggung, menguatkanku, ada apa dengan mereka? Zidan… Kau dengar aku?
Ku coba berkata dalam hati sambil melihat nya terbaring di ruang tamu. Sedang didoakan. Besok pagi kami antarkan kamu Zidan.
:.:.:
Beruntung sekali malam itu hanya nyenyak ku rasa hingga sudah adzan Subuh ku dengar. Baru ku tahu yang memeluk ku semalam adalah adik pamannya Zidan. Isteri pamannya shalat dikamar yang kutumpangi. Isak tangis masih terdengar. Saking tidak kuat, sekeras apapun aku menahannya, tetap saja air mata ini tidak berkesudahan rela membasahi pipiku, dengan sabar, lembut, isteri pamannya mencium keningku,
“yang Sabar ya teh Marwa.” Lalu ia pergi.
Ku mohon berikan kekuatan agar aku mampu mengantar mu hingga tenang di sana.
Pantas saja kau teduh, tenang, ramah. Lihatlah sekelilingmu, lingkungan di sini sejuk, keluarga mu pun ramah, hanya ibu mu belum mampu beranjak dari sedihnya. Sungguh kau amat disayang, Zidan.
:.:.:
Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Do’a yang kupanjatkan selalu untuk mu, Zidan. Boleh aku bercerita?
Zidan… aku baru tahu sekarang ini, mengapa tak kau bilang dari dulu? Saat kita selalu bersama-sama?
Ibu mu terlalu lemah melihat wajahku, tak tega katanya. Ia bahkan memeluk ku erat, Zidan. Kau memang pernah bilang bahwa kau sisihkan sebagian besar gajimu untuk ditabung. Tapi mengapa aku baru tahu sekarang?
Ibu bilang padaku, bahwa tabunganmu adalah tabungan emas agar segera meminangku. Benarkah itu Zidan?
Sesak sampai pada dadaku, ku peluk erat ibunya, sama sama kami larut dalam isakan.
Jika aku rindu padamu, maka do’a dariku yang akan menyapa mu di sana, Zidan… aku janji…
Tangis ku pun enggan beranjak mengantarkan ku hingga sampai lagi di Ibu Kota. Biar pun kita terpisah ruang dan waktu, aku mohon agar sesekali kau datang dalam mimpiku walau hanya sekedar menyapa. Bolehkah?
Zidan, dua puluh tiga tahun.
Sumedang, 11 April 2014 …
:.:.:
NB :
Ini kisah nyata dari seorang sahabatku yang tinggal di Jakarta. Ia ingin sekali meluapkan apa yang ada di hatinya melalui tulisan ini. Semoga bisa bermanfaat untuk semua.
Ini kisah nyata dari seorang sahabatku yang tinggal di Jakarta. Ia ingin sekali meluapkan apa yang ada di hatinya melalui tulisan ini. Semoga bisa bermanfaat untuk semua.
#PartnerInWrite
Be First to Post Comment !
Posting Komentar