Dan, Paris Tak Lagi Indah di Mataku

on
12/21/2013
Cinta itu berhenti di kamu.

Aku tak paham lagi. Kenapa Tuhan mengembalikan semua yang dulu pernah aku punya. Bukannya aku tidak berterima kasih. Aku hanya tak tahu bagaimana aku harus bersikap. Kamu, laki-laki pertama yang selalu tahu keajaiban-kejaiban kecil yang terjadi di hidupku. Kamu, laki-laki pertama yang selalu jadi tempat aku berbagi. Kamu, bahkan menjadi satu-satunya laki-laki yang mengisi hatiku. Berawal dari kebersamaan kita sejak kecil, kita tumbuh menjadi sahabat yang selalu melengkapi. Buatku, kamu adalah anugerah terindah dari Tuhan, setelah Mama. Hampir setiap waktu, aku habiskan bersamamu. Tanpa terbesit dalam hatiku bahwa suatu saat aku bisa saja jatuh hati. Yang terpikirkan dulu adalah bagaimana keceriaan masa kecil kita tak akan pernah hilang. Waktu itu usiaku baru 13 tahun dan kamu 15 tahun, saat Mama dan Papa kita memutuskan untuk bersatu. Ternyata cinta lebih dulu datang pada mereka. Sehingga pernikahan itu terjadi dan kini aku menjadi adikmu yang manis. Awalnya aku sangat menikmati kebersamaan kita yang jelas tak akan mungkin terpisahkan, kecuali jika Mama dan Papa tak lagi saling mencinta. Kebersamaan kita bisa terancam tak akan berlangsung lama. Namun nyatanya duniaku berubah. Semenjak kamu mulai mengenal apa itu cinta untuk yang pertama kalinya. Sebagian besar waktumu tak lagi untukku. Bahkan kamu sudah mulai tak mendengarkanku. Kamu mulai mengingkari janji untuk bersamaku, demi wanita yang sedang kamu kagumi. Aku mencoba untuk memahami. Mungkin nanti, jika aku merasakan cinta untuk yang pertama kalinya, aku akan bersikap sepertimu. Aku mencoba untuk terus menunggumu. Menunggu kamu sempatkan sedikit waktumu untukku, setidaknya untuk adik kesayanganmu. Jelas, aku cemburu. Jelas, aku iri pada wanitamu yang kini memilikimu. Kamu selalu antusias bercerita padaku tentang pujaanmu itu. Kamu masih tetap kamu, tapi aku tidak merasa hangat seperti dulu. Kebersamaan kita seperti kelabu.



Siang itu, untuk yang pertama kalinya aku menyadari. Aku menyayangimu, lebih dari sahabat. Lebih dari seorang adik. Aku menyanyangimu lebih dari itu. Entah sejak kapan. Hal yang selama ini aku takutkan kini terjadi. Perasaan kita tak lagi sama. Tapi, aku tidak bisa apa-apa. Hingga akhirnya tanpa ku sadari aku mengatakan tentang perasaanku. Dan kamu hanya diam. Kamu tidak menatapku. Aku sibuk dengan tangisku. Malam itu, kamu tidak memelukku. Tidak seperti saat-saat sebelumnya. Saat kamu selalu mampu menenangkanku dengan pelukan hangatmu itu. Setelah malam itu, kita tak lagi saling bicara. Kamu mengacuhkanku. Tak lagi ku lihat senyuman selamat pagi itu. Tak lagi aku merasakan celotehanmu saat membangunkanku. Tidak lagi. Aku tahu, perasaanku mungkin salah. Aku adikmu. Dan mungkin akan selamanya menjadi adikmu. Aku memilih untuk mematikan perasaanku. Akhirnya, meski berat, aku terima tawaran papa. Kuliah di luar negeri. Mungkin bisa membuatku melupakan perasaanku.




Empat tahun sudah aku tinggal di negeri orang. Tak sekalipun aku akan pulang sebelum hatiku seutuhnya baik. Kini, aku merasa hatiku sudah lebih baik. Jauh darimu ternyata mampu mengenyahkan segala perasaanku. Namun ....... semuanya kembali tak baik lagi. Saat kamu datang ke negeri paling romantis di dunia, ke tempat aku memijakkan kaki. Paris dan kamu. Seharusnya menjadi sebuah kombinasi yang membahagiakan. Untuk persahabatan kita. Namun kehadiranmu disini membuatku menyadari, rasaku tak sepenuhnya pergi. Aku pikir, disini kamu akan menghabiskan banyak waktumu denganku seperti saat-saat dulu. Nyatanya, aku justru melihatmu merangkul mesra seorang wanita. Dia ....... calon isterimu.


Dan,Paris tak lagi indah di mataku. 

Be First to Post Comment !
Posting Komentar