“Maaf,
aku gak bisa ngelanjutin sama kamu lagi…”
“………”
Aku
terdiam, mematung. Bibirku rasanya kelu, aku tak tahu harus berucap apa. Dadaku
sesak, jelas ada beban disini. Kini semua sudah tak lagi samar, aku bukan
pilihan.
“Kenapa
baru sekarang?”
Aku
gemetar mengatakannya. Aku tak lagi sanggup memandang laki-laki yang berdiri di
hadapanku. Ingin rasanya lari tapi itu tak menenangkanku. Aku tetap butuh
penjelasan.
“Aku
udah usaha untuk bilang sama kamu dari kemarin tapi kamu sulit dihubungi. Maaf.”
Aku
tersenyum kecut. Meski ku lihat ada penyesalan dari raut wajahnya namun tak
begitu saja mampu meluluhkan hatiku untuk memaafkannya, bahkan untuk memaafkan
dirku sendiri. Memaafkan diriku atas kebodohan yang ku buat. Bodoh, karena telah berprasangka baik
kepadanya.
Bodoh,
karena telah membiarkan hatiku berharap tanpa kepastian status. Bodoh, karena telah mencintai laki-laki
yang justru menjadikanku satu dari beberapa wanita yang bisa ia pilih jika pas di
hati.
“Komunikasi kita gak berjalin dengan baik.”
Ia kembali melanjutkan penjelasannya. Aku semakin
menangis karena kebodohanku mencintainya. Selama ini ku pikir ketika ia mulai
tak menghubungiku itu karena kesibukannya dan aku tak ingin terlalu
menganggunya, aku berusaha untuk mengerti dunianya. Tapi ternyata, itu bukan
semata karena karirnya, ada banyak wanita yang juga ia jajaki di saat yang sama,
hingga akhirnya terpilihlah satu wanita yang mungkin pas dengan kriterianya.
Jika saja aku tahu dari semula kalau aku menjadi satu dari sekian banyak
pilihannya, sudah dari semula pula aku akan mundur. Karena aku bukan peserta
dari sebuah kompetisi untuk memperebutkan hati sang pujaan. Karena aku bukan
pilihan, yang bisa tersisih karena pemenang.
“Aku minta maaf udah nyakitin hati kamu.”
“Aku pikir kamu beda. Aku pikir kamu tulus. Aku pikir
aku satu-satunya. Tapi ternyata aku salah…”
“Maaf, tapi aku harus ngelakuin ini. Aku mencari yang
terbaik.”
“Kamu pikir aku baju yang bisa kamu coba dan kalau
gak pas aku gak jadi pilihan kamu. Gak akan kamu beli. Aku pikir kamu pandai
memerlakukan wanita dengan baik, tapi lagi lagi aku salah.”
“Mungkin kamu lupa kalau wanita itu dipilih.”
“Dan aku juga berhak memilih untuk bersedia atau
enggak jadi pilihan kamu.”
“Aku gak tahu kalau kamu akan sesakit ini.”
“Karena kamu emang gak punya hati.”
Kini, lima bulan sudah aku melewati masa itu. Namun
sakitnya masih terasa di hati. Meski ia memberi penjelasan dengan tutur kata
yang terpuji tapi sungguh itu tak mampu membuatnya kembali menjadi sosok
kharismatik di mataku seperti sebelumnya. Rasa sakit itu belum hilang, mungkin
sedikit memudar. Namun, aku belum mampu memaafkan.
Saidah
Saidah